A.
Sejarah dan Asal-usul Orang Sakai
di Kepulaun Riau
Suku Sakai merupakan suku terasing yang mendiami
provinsi Riau. Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan
menjadi sakai Luar dan sakai Dalam. Nama sakai dalam sebutan bagi penduduk
pengembara yang terpencil dari lalu lintas kehidupan dunia kekinian di Riau.
Mereka tinggal di bagian hulu sungai Siak. Menurut Boehari Hasmmy, mengatakan
bahwa orang Sakai datang dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau Sumatera Barat
dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar
abad ke 14 langsung ke daerah Mandau. Sedangkan yang datang kemudian
diperkirakan tiba di Riau abad ke 18, yang datang di kerajaan Gasib dan
kemudian hancur diserang oleh kerajaan Aceh, sehingga penduduknya lari ke dalam
hutan belantara dan masing-masing membangun rumah dan ladangnya secara terpisah
satu sama lainnya di bawah kepemimpinan salah seorang diantara mereka. Ada
beberapa pendapat asal-usul orang Sakai di Riau diantaranya:
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa
Suku Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan
orang-orang Melayu Tua.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa
orang-orang Sakai berasal dari Pagaruyung dan Batusangkar Suku asli di Riau yang pertama akan kita bahas
adalah suku Sakai. Kata Sakai sendiri konon merupakan singkatan dari Sungai,
Kampung, Anak, Ikan. Hal ini memiliki makna bahwa mereka adalah orang-orang
yang hidup di sekitar sungai dan menggantungkan hidup mereka pada hasil
kekayaan sungai seperti ikan.Suku Sakai adalah orang-orang yang tergolong dalam
ras Veddoid. Umumnya mereka memiliki ciri-ciri fisik berkulit cokelat agak
gelap dengan rambut keriting atau berombak. Asal-usul
suku Sakai sendiri masih menjadi perdebatan, namun banyak yang meyakini bahwa
suku Sakai berasal dari keturunan Pagaruyung, Minangkabau, yang berabad-abad
lalu telah hijrah ke Riau.[1]
B.
Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
Salah
satu di antara ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai yang juga dianggap oleh
orang Melayu atau oleh golongan suku bangsa lainnya sebagai ciri-ciri orang
Sakai, adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada “animisme”, kekuatan magi dan tenung. Adapun
inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap
keberadaan ‘antu‘, atau makhluk gaib yang ada di sekitar mereka.
Hantu
dalam Konsepsi Orang Sakai
Dalam
pandangan masyarakat Sakai, hantu atau antu juga memiliki karakter yang sama
dengan manusia, yaitu ada yang baik dan ada yang jahat. Namun, masyarakat Sakai
tidak memiliki konsep yang jelas tentang jenis-jenis hantu yang baik dan yang
jahat. Hantu dalam pandangan masyarakat Sakai sebenarnya memiliki karakter yang
netral. Kecenderungan menjadi baik atau jahat tergantung dari situasi-situasi
khusus.
Dalam
pandangan masyarakat Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga menjadi
bagian dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai sangat takut dengan arwah anggota
keluarga yang baru saja meninggal, kecuali arwah bayi dan anak kecil. Ketakutan
itu disebabkan adanya keyakinan bahwa arwah orang yang baru saja meninggal
sebenarnya sudah hidup di alam lain tetapi masih berada dan tinggal di tempat-tempat
anggota keluarga yang masih hidup.
Arwah
orang yang meninggal ini berada di sekeliling anggota keluarga, dan karena
hubungan yang dekat semasa hidup arwah tersebut selalu ikut campur
urusan-urusan dan kegiatan-kegiatan anggota keluarganya. Campur tangan arwah
tersebut tidak selamanya selaras dengan keinginan anggota keluarga yang masih
hidup. Karena keduanya tidak dapat melakukan komunikasi, maka campur tangan
dari arwah tersebut sering berujung pada kesialan pada anggota keluarganya yang
masih hidup, misalnya selalu gagal dalam melakukan sesuatu. Intinya, keberadaan
arwah tersebut dapat membawa sial. Oleh karena itu, orang Sakai biasanya
meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga mereka
yang meninggal dunia.
Berikut
ini metode pengobatan yang dilakukan yang disebabkan oleh gangguan hantu:
a.
Cara pengobatan Uras
b. Cara pengobatan Jungkul
c.
Cara pengobatan Zdikir.
C.
Upacara
Adat dan Keagamaan Suku Sakai
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan
upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara
tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh
masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
1. Upacara
kematian
2. Upacara
kelahiran
3. Upacara
pernikahan
4. Upacara
penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan
hidup (ife cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam
diantaranya:
1. Upacara
menanam padi
2. Upacara
menyiang
3. Upacara
sorang sirih
4. Upacara
tolak bala.
Upacara
Membuka Hutan dan Ladang
Tahapan setelah
memilih lokasi untuk berladang suku sakai biasanya melakukan tahapan persiapan
dalam membuka hutan untuk berladang. Biasanya dalam membuka hutan ini, suku
sakai melaporkan kepada ketua adat atau batin ( batin merupakan Penghulu atau
Kepala desa pada sekarang ini ). Tujuan atau maksud dalam melaporkan ini untuk
menunjukan wilayah hutan yang akan dibuka. Dalam pembuatan membuka hutan untuk
berladang biasanya suku sakai mempunyai tradisi yang unik yaitu, hutan yang
telah mereka bersihkan atau mereka tebas mempunyai ukuran tertentu.
Masing-masing panjangnya 50 M dan lebar 20 M, dalam aturan perladangan orang
sakai jarak ladang muka-belakang tergabung dalam sebuah ke tetanggaan haruslah
sama. Sedangkan bedanya dapat berbeda-beda. Orang sakai mengikuti secara ketat
aturan ini, bila sekiranya batas muka tidak merupakan garis lurus tertapi
bagian ladang akan ikut bengkok mengikuti bengkok garis muka. Aturan-aturan
atau tradisi seperti ini sanagat di patuhi oleh suku sakai. Karena jika mereka
tidak mengikuti aturan yang telah menjadi tradisi ini maka sebutan suku sakai
yaitu HANTU TANAH atau penunggu ladang akan marah. Dengan akibat sipeladang
akan sakit dan hasil ladangnya akan jelek di serang hama, babi hutan, dan
binatang lainnya.[2]
D.
Interaksi Kepercayaan Orang Sakai
dengan Agama-agama Lain
Suku Sakai meskipun masyarakat terasing tetapi telah ada agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan suku mereka yaitu seperti agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi dengan agama-agama lain yaitu diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan Mandau ada yang memeluk agama Kristen, di samping mayoritasnya beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis, dan Belutu. Walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Kristen amat sedikit bila dibandingkan dengan pemeluk agama Islam, tetapi tokoh-tokoh Islam di kecamatan Mandau mengkhawatirkan perluasan jumlah mereka. Sebagian dari orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa kalau sehari-hari orang-orang Sakai beragam Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak penduduk Sakai yang memeluk agama Islam. Meski begitu, peralihan kepercayaan itu tak memupus kebiasaan mereka mempraktekkan ajaran nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur animisme, dinamisne, magis, dan makhluk halus.
Interaksi dengan manusia luar membuat pekerjaan mereka kini menjadi beragam, seperti guru, pegawai negeri, dan pedagang. Keinginan untuk berubah yang dipadu dengan program beasiswa dari pemerintah setempat membuat beberapa anak-anak suku Sakai menempuh pendidikan, bahkan hingga perguruan tinggi.[3]
Suku Sakai meskipun masyarakat terasing tetapi telah ada agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan suku mereka yaitu seperti agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi dengan agama-agama lain yaitu diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan Mandau ada yang memeluk agama Kristen, di samping mayoritasnya beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis, dan Belutu. Walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Kristen amat sedikit bila dibandingkan dengan pemeluk agama Islam, tetapi tokoh-tokoh Islam di kecamatan Mandau mengkhawatirkan perluasan jumlah mereka. Sebagian dari orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa kalau sehari-hari orang-orang Sakai beragam Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak penduduk Sakai yang memeluk agama Islam. Meski begitu, peralihan kepercayaan itu tak memupus kebiasaan mereka mempraktekkan ajaran nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur animisme, dinamisne, magis, dan makhluk halus.
Interaksi dengan manusia luar membuat pekerjaan mereka kini menjadi beragam, seperti guru, pegawai negeri, dan pedagang. Keinginan untuk berubah yang dipadu dengan program beasiswa dari pemerintah setempat membuat beberapa anak-anak suku Sakai menempuh pendidikan, bahkan hingga perguruan tinggi.[3]
REFERENSI
Saputra, Syahrial De. Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Upacara
Tradisional Kepercayaan Masyarakat
Sakai-Riau. Jakarta : Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestaian Sejarah dan Nilai Tradisional
Tanjung Pinang ,.2010
[1]
http://metroterkini.com/berita-8710-mengenal-lebih-dekat--tentang-keunikan-suku-asli-di-riau.html
[2] Syahrial De Saputra, Kearifan Lokal yang
Terkandung Dalam Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau, (Jakarta
: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestaian Sejarah dan Nilai
Tradisional Tanjung Pinang , 2010) h.56.
[3] Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2012/09/17/203430033/sakai-potret-suku-pedalaman-melayu-yang-berubah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar