Kamis, 19 Mei 2016

RESPONDING PAPER SUKU SAKAI DI RIAU



A.    Sejarah dan Asal-usul Orang Sakai di Kepulaun Riau
Suku Sakai merupakan suku terasing yang mendiami provinsi Riau.  Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam. Nama sakai dalam sebutan bagi penduduk pengembara yang terpencil dari lalu lintas kehidupan dunia kekinian di Riau. Mereka tinggal di bagian hulu sungai Siak. Menurut Boehari Hasmmy, mengatakan bahwa orang Sakai datang dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau Sumatera Barat dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14 langsung ke daerah Mandau. Sedangkan yang datang kemudian diperkirakan tiba di Riau abad ke 18, yang datang di kerajaan Gasib dan kemudian hancur diserang oleh kerajaan Aceh, sehingga penduduknya lari ke dalam hutan belantara dan masing-masing membangun rumah dan ladangnya secara terpisah satu sama lainnya di bawah kepemimpinan salah seorang diantara mereka. Ada beberapa pendapat asal-usul orang Sakai di Riau diantaranya:
1.   Pendapat pertama mengatakan bahwa Suku Sakai merupakan percampuran            antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua.
2.  Pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari        Pagaruyung dan Batusangkar                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Suku asli di Riau yang pertama akan kita bahas adalah suku Sakai. Kata Sakai sendiri konon merupakan singkatan dari Sungai, Kampung, Anak, Ikan. Hal ini memiliki makna bahwa mereka adalah orang-orang yang hidup di sekitar sungai dan menggantungkan hidup mereka pada hasil kekayaan sungai seperti ikan.Suku Sakai adalah orang-orang yang tergolong dalam ras Veddoid. Umumnya mereka memiliki ciri-ciri fisik berkulit cokelat agak gelap dengan rambut keriting atau berombak.                                                                                                                                                                          Asal-usul suku Sakai sendiri masih menjadi perdebatan, namun banyak yang meyakini bahwa suku Sakai berasal dari keturunan Pagaruyung, Minangkabau, yang berabad-abad lalu telah hijrah ke Riau.[1]
B.    Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
                         Salah satu di antara ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai yang juga dianggap oleh orang Melayu atau oleh golongan suku bangsa lainnya sebagai ciri-ciri orang Sakai, adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada “animisme”,  kekuatan magi dan tenung.       Adapun inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau makhluk gaib yang ada di sekitar mereka.
Hantu dalam Konsepsi Orang Sakai
                         Dalam pandangan masyarakat Sakai, hantu atau antu juga memiliki karakter yang sama dengan manusia, yaitu ada yang baik dan ada yang jahat. Namun, masyarakat Sakai tidak memiliki konsep yang jelas tentang jenis-jenis hantu yang baik dan yang jahat. Hantu dalam pandangan masyarakat Sakai sebenarnya memiliki karakter yang netral. Kecenderungan menjadi baik atau jahat tergantung dari situasi-situasi khusus.
                         Dalam pandangan masyarakat Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga menjadi bagian dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai sangat takut dengan arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal, kecuali arwah bayi dan anak kecil. Ketakutan itu disebabkan adanya keyakinan bahwa arwah orang yang baru saja meninggal sebenarnya sudah hidup di alam lain tetapi masih berada dan tinggal di tempat-tempat anggota keluarga yang masih hidup.
                         Arwah orang yang meninggal ini berada di sekeliling anggota keluarga, dan karena hubungan yang dekat semasa hidup arwah tersebut selalu ikut campur urusan-urusan dan kegiatan-kegiatan anggota keluarganya. Campur tangan arwah tersebut tidak selamanya selaras dengan keinginan anggota keluarga yang masih hidup. Karena keduanya tidak dapat melakukan komunikasi, maka campur tangan dari arwah tersebut sering berujung pada kesialan pada anggota keluarganya yang masih hidup, misalnya selalu gagal dalam melakukan sesuatu. Intinya, keberadaan arwah tersebut dapat membawa sial. Oleh karena itu, orang Sakai biasanya meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia.
Berikut ini metode pengobatan yang dilakukan yang disebabkan oleh gangguan hantu:
a.                  Cara pengobatan Uras
b.  Cara pengobatan Jungkul
c.                  Cara pengobatan Zdikir.
C.      Upacara Adat dan Keagamaan Suku Sakai
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
1.     Upacara kematian
2.     Upacara kelahiran
3.     Upacara pernikahan
4.     Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (ife cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya:
1.     Upacara menanam padi
2.     Upacara menyiang
3.     Upacara sorang sirih
4.     Upacara tolak bala.
Upacara Membuka Hutan dan Ladang
Tahapan setelah memilih lokasi untuk berladang suku sakai biasanya melakukan tahapan persiapan dalam membuka hutan untuk berladang. Biasanya dalam membuka hutan ini, suku sakai melaporkan kepada ketua adat atau batin ( batin merupakan Penghulu atau Kepala desa pada sekarang ini ). Tujuan atau maksud dalam melaporkan ini untuk menunjukan wilayah hutan yang akan dibuka. Dalam pembuatan membuka hutan untuk berladang biasanya suku sakai mempunyai tradisi yang unik yaitu, hutan yang telah mereka bersihkan atau mereka tebas mempunyai ukuran tertentu. Masing-masing panjangnya 50 M dan lebar 20 M, dalam aturan perladangan orang sakai jarak ladang muka-belakang tergabung dalam sebuah ke tetanggaan haruslah sama. Sedangkan bedanya dapat berbeda-beda. Orang sakai mengikuti secara ketat aturan ini, bila sekiranya batas muka tidak merupakan garis lurus tertapi bagian ladang akan ikut bengkok mengikuti bengkok garis muka. Aturan-aturan atau tradisi seperti ini sanagat di patuhi oleh suku sakai. Karena jika mereka tidak mengikuti aturan yang telah menjadi tradisi ini maka sebutan suku sakai yaitu HANTU TANAH atau penunggu ladang akan marah. Dengan akibat sipeladang akan sakit dan hasil ladangnya akan jelek di serang hama, babi hutan, dan binatang lainnya.[2]
D.      Interaksi Kepercayaan Orang Sakai dengan Agama-agama Lain
     Suku Sakai meskipun masyarakat terasing tetapi telah ada agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan suku mereka yaitu seperti agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi dengan agama-agama lain yaitu diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan Mandau ada yang memeluk agama Kristen, di samping mayoritasnya beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis, dan Belutu. Walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Kristen amat sedikit bila dibandingkan dengan pemeluk agama Islam, tetapi tokoh-tokoh Islam di kecamatan Mandau mengkhawatirkan perluasan jumlah mereka. Sebagian dari orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa kalau sehari-hari orang-orang Sakai beragam Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.
     Seiring dengan perkembangan zaman, banyak penduduk Sakai yang memeluk agama Islam. Meski begitu, peralihan kepercayaan itu tak memupus kebiasaan mereka mempraktekkan ajaran nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur animisme, dinamisne, magis, dan makhluk halus.
     Interaksi dengan manusia luar membuat pekerjaan mereka kini menjadi beragam, seperti guru, pegawai negeri, dan pedagang. Keinginan untuk berubah yang dipadu dengan program beasiswa dari pemerintah setempat membuat beberapa anak-anak suku Sakai menempuh pendidikan, bahkan hingga perguruan tinggi.[3]

REFERENSI
Saputra, Syahrial De. Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Upacara Tradisional   Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau. Jakarta : Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata   Balai Pelestaian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjung Pinang ,.2010




[1] http://metroterkini.com/berita-8710-mengenal-lebih-dekat--tentang-keunikan-suku-asli-di-riau.html
[2] Syahrial De Saputra, Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau, (Jakarta : Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestaian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjung Pinang , 2010) h.56.
[3] Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2012/09/17/203430033/sakai-potret-suku-pedalaman-melayu-yang-berubah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar