Kamis, 19 Mei 2016

RESPONDING PAPER SUKU SAKAI DI RIAU



A.    Sejarah dan Asal-usul Orang Sakai di Kepulaun Riau
Suku Sakai merupakan suku terasing yang mendiami provinsi Riau.  Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam. Nama sakai dalam sebutan bagi penduduk pengembara yang terpencil dari lalu lintas kehidupan dunia kekinian di Riau. Mereka tinggal di bagian hulu sungai Siak. Menurut Boehari Hasmmy, mengatakan bahwa orang Sakai datang dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau Sumatera Barat dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14 langsung ke daerah Mandau. Sedangkan yang datang kemudian diperkirakan tiba di Riau abad ke 18, yang datang di kerajaan Gasib dan kemudian hancur diserang oleh kerajaan Aceh, sehingga penduduknya lari ke dalam hutan belantara dan masing-masing membangun rumah dan ladangnya secara terpisah satu sama lainnya di bawah kepemimpinan salah seorang diantara mereka. Ada beberapa pendapat asal-usul orang Sakai di Riau diantaranya:
1.   Pendapat pertama mengatakan bahwa Suku Sakai merupakan percampuran            antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua.
2.  Pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari        Pagaruyung dan Batusangkar                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Suku asli di Riau yang pertama akan kita bahas adalah suku Sakai. Kata Sakai sendiri konon merupakan singkatan dari Sungai, Kampung, Anak, Ikan. Hal ini memiliki makna bahwa mereka adalah orang-orang yang hidup di sekitar sungai dan menggantungkan hidup mereka pada hasil kekayaan sungai seperti ikan.Suku Sakai adalah orang-orang yang tergolong dalam ras Veddoid. Umumnya mereka memiliki ciri-ciri fisik berkulit cokelat agak gelap dengan rambut keriting atau berombak.                                                                                                                                                                          Asal-usul suku Sakai sendiri masih menjadi perdebatan, namun banyak yang meyakini bahwa suku Sakai berasal dari keturunan Pagaruyung, Minangkabau, yang berabad-abad lalu telah hijrah ke Riau.[1]
B.    Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
                         Salah satu di antara ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai yang juga dianggap oleh orang Melayu atau oleh golongan suku bangsa lainnya sebagai ciri-ciri orang Sakai, adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada “animisme”,  kekuatan magi dan tenung.       Adapun inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau makhluk gaib yang ada di sekitar mereka.
Hantu dalam Konsepsi Orang Sakai
                         Dalam pandangan masyarakat Sakai, hantu atau antu juga memiliki karakter yang sama dengan manusia, yaitu ada yang baik dan ada yang jahat. Namun, masyarakat Sakai tidak memiliki konsep yang jelas tentang jenis-jenis hantu yang baik dan yang jahat. Hantu dalam pandangan masyarakat Sakai sebenarnya memiliki karakter yang netral. Kecenderungan menjadi baik atau jahat tergantung dari situasi-situasi khusus.
                         Dalam pandangan masyarakat Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga menjadi bagian dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai sangat takut dengan arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal, kecuali arwah bayi dan anak kecil. Ketakutan itu disebabkan adanya keyakinan bahwa arwah orang yang baru saja meninggal sebenarnya sudah hidup di alam lain tetapi masih berada dan tinggal di tempat-tempat anggota keluarga yang masih hidup.
                         Arwah orang yang meninggal ini berada di sekeliling anggota keluarga, dan karena hubungan yang dekat semasa hidup arwah tersebut selalu ikut campur urusan-urusan dan kegiatan-kegiatan anggota keluarganya. Campur tangan arwah tersebut tidak selamanya selaras dengan keinginan anggota keluarga yang masih hidup. Karena keduanya tidak dapat melakukan komunikasi, maka campur tangan dari arwah tersebut sering berujung pada kesialan pada anggota keluarganya yang masih hidup, misalnya selalu gagal dalam melakukan sesuatu. Intinya, keberadaan arwah tersebut dapat membawa sial. Oleh karena itu, orang Sakai biasanya meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia.
Berikut ini metode pengobatan yang dilakukan yang disebabkan oleh gangguan hantu:
a.                  Cara pengobatan Uras
b.  Cara pengobatan Jungkul
c.                  Cara pengobatan Zdikir.
C.      Upacara Adat dan Keagamaan Suku Sakai
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
1.     Upacara kematian
2.     Upacara kelahiran
3.     Upacara pernikahan
4.     Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (ife cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya:
1.     Upacara menanam padi
2.     Upacara menyiang
3.     Upacara sorang sirih
4.     Upacara tolak bala.
Upacara Membuka Hutan dan Ladang
Tahapan setelah memilih lokasi untuk berladang suku sakai biasanya melakukan tahapan persiapan dalam membuka hutan untuk berladang. Biasanya dalam membuka hutan ini, suku sakai melaporkan kepada ketua adat atau batin ( batin merupakan Penghulu atau Kepala desa pada sekarang ini ). Tujuan atau maksud dalam melaporkan ini untuk menunjukan wilayah hutan yang akan dibuka. Dalam pembuatan membuka hutan untuk berladang biasanya suku sakai mempunyai tradisi yang unik yaitu, hutan yang telah mereka bersihkan atau mereka tebas mempunyai ukuran tertentu. Masing-masing panjangnya 50 M dan lebar 20 M, dalam aturan perladangan orang sakai jarak ladang muka-belakang tergabung dalam sebuah ke tetanggaan haruslah sama. Sedangkan bedanya dapat berbeda-beda. Orang sakai mengikuti secara ketat aturan ini, bila sekiranya batas muka tidak merupakan garis lurus tertapi bagian ladang akan ikut bengkok mengikuti bengkok garis muka. Aturan-aturan atau tradisi seperti ini sanagat di patuhi oleh suku sakai. Karena jika mereka tidak mengikuti aturan yang telah menjadi tradisi ini maka sebutan suku sakai yaitu HANTU TANAH atau penunggu ladang akan marah. Dengan akibat sipeladang akan sakit dan hasil ladangnya akan jelek di serang hama, babi hutan, dan binatang lainnya.[2]
D.      Interaksi Kepercayaan Orang Sakai dengan Agama-agama Lain
     Suku Sakai meskipun masyarakat terasing tetapi telah ada agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan suku mereka yaitu seperti agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi dengan agama-agama lain yaitu diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan Mandau ada yang memeluk agama Kristen, di samping mayoritasnya beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis, dan Belutu. Walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Kristen amat sedikit bila dibandingkan dengan pemeluk agama Islam, tetapi tokoh-tokoh Islam di kecamatan Mandau mengkhawatirkan perluasan jumlah mereka. Sebagian dari orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa kalau sehari-hari orang-orang Sakai beragam Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.
     Seiring dengan perkembangan zaman, banyak penduduk Sakai yang memeluk agama Islam. Meski begitu, peralihan kepercayaan itu tak memupus kebiasaan mereka mempraktekkan ajaran nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur animisme, dinamisne, magis, dan makhluk halus.
     Interaksi dengan manusia luar membuat pekerjaan mereka kini menjadi beragam, seperti guru, pegawai negeri, dan pedagang. Keinginan untuk berubah yang dipadu dengan program beasiswa dari pemerintah setempat membuat beberapa anak-anak suku Sakai menempuh pendidikan, bahkan hingga perguruan tinggi.[3]

REFERENSI
Saputra, Syahrial De. Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Upacara Tradisional   Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau. Jakarta : Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata   Balai Pelestaian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjung Pinang ,.2010




[1] http://metroterkini.com/berita-8710-mengenal-lebih-dekat--tentang-keunikan-suku-asli-di-riau.html
[2] Syahrial De Saputra, Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau, (Jakarta : Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestaian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjung Pinang , 2010) h.56.
[3] Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2012/09/17/203430033/sakai-potret-suku-pedalaman-melayu-yang-berubah

Responding Paper Suku Toraja



A.      Asal-Usul Suku Toraja
Kepercayaan  aluk to dolo adalah kepercaayaan asli tanah toraja yang terletak kurang lebih 300 km, disebelah utara ujung pandang, sulawesi selatan. Secara harfiah, aluk artinya kepercayaan to artinya orang dolo artinya dulu jadi aluk todolo artinya kepercayaan orang dulu atau kepercayaan peninggalan nenek moyang
DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut. Ketika bangsa Bugis sekian lama berkembang di daratan Sulawesi, barulah mereka mengetahui bahwa ada suatu penduduk yang bermukim di sekitar pegunungan, yang memiliki budaya dan peradaban yang berkembang lebih lama dari kehadiran suku Bugis di wilayah ini. Menurut cerita Bugis istilah Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.[1]
B.      Pokok-Pokok Ajaran Aluk To Dolo
Dalam konsep Ketuhanan, tidak berbeda dengan konsep anemisme lainya, aluk to dolo mempercayai adanya kekuatan gaib pada alam, iya berada dimana-mana, seperti dipinggir langit, ditepi laut, disungai, dalam lapisan tanah, lapisan batu, didalam matahari, di hutan, di laut, di poju, di tempat para arwah yang sudah meninggal.
Ajaran Aluk Todolo,selain memuja dan menyembah kepada Puang Matua juga memuja dan menyembah pula kepada Deata – Deata yang mana Deata – deata ini terbagia atas 3 ( tiga ) golongan yang masing – masing :Deata Tangngana Langi’( Sang Pemelihara di Langit ) yaitu Deata atau Dewa yang menguasai seluruh isi langit dan cakrawala.
1       Deata Kapadanganna( Sang Pemelihara Permukaan Bumi ) Yaitu Deata atau Dewa yang menguasai seluruh apa yangterdapat diatas muka bumi.
2       Deata Tangngana Padang( Sang Pemelihara dibawah permukaan bumi atau didalam perut bumi ) yaitu Dewa atau Deata yang menguasai segala isi tanah, lautan dan sungai.[2]
C.      Upacara Keagamaan Masyarakat Toraja
Toraja sangat dikenal dengan upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara dikenal 2 (dua) macam pembagian yaitu Upacara kedukaan disebut Rambu Solo'.
Upacara ini meliputi 7 (tujuh) tahapan,yaitu :
a. Rapasan
b. Barata Kendek
c. Todi Balang
d. Todi Rondon.
e. Todi Sangoloi
f.  Di Silli'
g. Todi Tanaan.
Upacara kegembiraan disebut Rambu Tuka'.
Upacara ini juga meliputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu
a. Tananan Bua’
b. Tokonan Tedong
c. Batemanurun
d. Surasan Tallang
e. Remesan Para
f. Tangkean Suru
g. Kapuran Pangugan
Upacara Pernikahan Suku Toraja
Pernikahan bagi orang Toraja harus dengan restu kedua pasang orang tua, jika itu dilanggar maka pria dan wanita yang menikah tersebut akan diasingkan atau tidak diakui sebagai anak. Pada jaman dahulu pernikahan tentu belum seperti sekarang, pria dan wanita belum bebas dan orang tua serta keluarga besar memegang kendali dalam proses perjodohan tersebut. Perjodohan atau pernikahan diawali dengan sebuah hantaran berinteraksi sirih dari keluarga pria ke keluarga calon mempelai wanita. Ini sebagai langkah awal untuk mengetahui apakah ada jalan untuk meneruskan ke jenjang berikutnya atau tidak. Keluarga pria akan mengutus orang yang dipercaya untuk membawa sirih ke rumah perempuan. Bila diterima dengan baik maka artinya keluarga pihak pria bisa melanjutkan dengan acara lamaran.
Pelamaran
Pada waktu melamar disebutkan tentang ganti kerugian yang nilainya juga akan disebutkan pada upacara resmi perkawinan. Pembayaran tersebut dinilai dengan kerbau. Dalam adat pernikahan orang Toraja tidak ada disebutkan tentang mas kawin, kecuali jika sang wanita menikah dengan pria yang tidak disetujui orang tuanya. Si pria harus membayar mas kawin yang terdiri dari:
1. Untuk wanita golongan puang 1-12 ekor kerbau.
2. Wanita golongan tumakaka 1-3 ekor kerbau.
3. Wanita golongan hamba 1 ekor kerbau.[3]
D.      Interaksi Orang Tanah Toraja Dengan Agama Lain
Injil yang disemai sejak 100 tahun silam di Tana Toraja telah memberikan berkat melimpah bagi orang Toraja. Seperti dikatakan Jonathan L. Parapak, “sebelum Injil masuk, suasana masyarakat Toraja tidaklah ramah. Ada jual beli budak dan perebutan anak dimana-mana” jelasnya. Tapi dengan datangnya Injil, terutama yang masuk melalui pendidikan, keadaan masyarakat berubah total.
Injil yang ditaburkan oleh GZB (Gereformerde Zendingsbond) di tana Toraja tumbuh dan dibina selama 34 tahun lamanya. Paham Teologi GZB yang pietis itu banyak mempengaruhi paham teologi warga Gereja Toraja, bahkan sampai saat ini.[4]

Referensi
YAPAMA. Tabloid Reformata. Yayasan Pelayanan Media Anthiokhia. 2013
http://bugismakassartrip.com/upacara-pernikahan-suku-toraja.html
http://asiantribal.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-asal-usul-suku-toraja.html





[1] Diakses pada 28 April 2016 dari http://asiantribal.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-asal-usul-suku-toraja.html
[2] Diakses pada 28 April 2016 dari  http://toraja-culture.blogspot.co.id/2013/11/ajaran-percaya-dan-memuja-kepada-tiga-oknum-dalam-ajaran-aluk-todolo.html
[3] Diakses pada 28 April 2016 dari http://bugismakassartrip.com/upacara-pernikahan-suku-toraja.html
[4] YAPAMA, Tabloid Reformata, (Yayasan Pelayanan Media Anthiokhia, 2013), h. 4

Responding Paper Suku Tengger




A.      Asal-Usul Orang Tengger          
Menurut sebagian kepercayaan masyarakat Tengger, namanya diambil dari dua orang suami isteri yang merupakan cikal bakal penduduk Tengger yang menetap di suatu tempat antara gunung Bromo dan Semeru, isteri bandsawan itu melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik rupawan yang di beri nama Roro Anteng. Tidak jauh dari tempat itu, tinggalah seorang pendeta dengan isterinya, isteri pendeta itu melahirkan seorang laki-laki yang bagus rupanya dan sehat tubuhnya (seger) karena itu diberi nama Joko Seger dan menjadi pemuda yang tampan. Keduanya akhirnya mengikat perkawinan dan kemudian membuka kampung baru, kampung itu diberi nama Tengger. Dari nama Roro Anteng untuk awalan “Teng” dan dari Joko Seger yang diambil untuk akhiran “Ger”.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.[1]
B.      Pandangan Hidup, Kepercayaan Orang Tengger
            Hal yang penting lainnya dari masyarakat Tengger adalah pandangan tentang Perilaku sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
1       Prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya
2       Prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana
3       Pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau       pemerintah
4       Prasetya berarti setya
5       Prayitna berarti waspada.[2]
Kepercayaan masyarakat Tengger diantaranya :
a.       Animisme, berasal dari kata anima yang artinya roh, nyawa, badan halus. Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan penting.
b.       Konsep Tentang Tuhan
c.       Sembahyang dan Semedi, Di samping melaksanakan sesaji dan upacara selamatan agama Budha Tengger mengenal pula tata cara sembahyang yang ia sebut semedi. Praktek semedi bisa dilakukan dirumah, sanggar pemujaan, tempat-tempat sepi seperti gunung, gua dan sebagainya.           Berdeda dengan sesaji, pada semedi tidak ada ketentuan tentang hukum kewajiban yang mengandung sangsi. Karena itu pelaksanaa semedi tidak merupakan peribadatan yang bersifat massal, meskipun dilaksanakan masal di sanggar pemujaan. Pelaksanaan semedi lebih menjurus kearah mengheningkan cipta kepada Gusti Kang Maho Agung, dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa.
d.       Konsep Alam, Di samping alam yang terlihat nyata, mereka pun mempercayai alam lain dibalik kehidupanyang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka ditempatkan di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang dianggap suci.
e.       Tujuh Ajaran Tentang Kehidupan
1)          “Hong maniro sak sampune dumerek ing sasi kasodo maningo ing temah”
2)          Milango ing sarining potro kanggo milar panjenengan ing minah”
3)          “Kang adoh pinarekaken, kang parek tinariko nang aron-aron”
4)          “Angrasuko ajang kang pinuju ing Sang Hyang Sukmo”
5)          “Jiwo raga sinusupan babahan werno songo”
6)          “Ngelingono jiwo premono hanimboho binyu karabayuan”
7)       “Dewiru neediyo nyondro nitis sepisan kerto rahayu palinggihanetiti yang lura, lurah kyahi dukun sagung anak putu andoyo puluh”


C.      Ritus dan Upacara Keagamaan Masyarakat Tengger
1)      Hari Raya Karo, adalah hari raya pemeluk agama Budha Tengger yang dirayakan bersama-sama secara besar-besaran dan diadakan pada pertengahan bulan Karo (bulan kedua) setiap tahun. Upacara dilaksanakan selama 7 hari, selama itu mereka saling kunjung mengunjungi untuk mempererat tali persaudaraan yang disebutnya dengan istilah sambung batin.
2)      Hari Raya Kesodo, adalah hari raya yang diadakan oleh masyarakat Tengger pada bulan ke 12 (saddo) pada pertengahan bulan.
3)      Entas-entas : Acara untuk mensucikan arwah orang-orang yang sudah meninggal dunia.
4)      Unang-unang : upacara Unang-unang dilakukan dengan tujuan membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan juga membersihkan arwah yang belum sempurna setelah kematian fisiknya.
5)                Pujaan Mubeng : upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan dusun dan dilakukan dengan memberikan sesajin-sesajin.
D.      Upacara Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian
1) Upacara Kelahiran, Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang berkaitan. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamtan nyayut atau upacara sesayut. kemudian ditaruh di sanggar.Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung. Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar telah kering dan akan lepas. Pada waktu diberi nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras).Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan daun rumput ilalang. Rangakaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat.
2) Upacara Perkawinan
Orang Tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Puncak dari upacara perkawinan adalah upacara walagara, yakni akad nikah yang dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada 10 tungku, pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar pada tamu memberi doa restu.
3) Upacara Kematian
                   Dalam Upacara Kematian , setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu menyiramkan air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang tersiram air itulah yang digali untuk liang kubur. Mayat orang Tengger dibaringkan dengan kepala membujur ke selatan ke arah Gunung Bromo. Petang harinya keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan. Orang yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa, terbuat dari bunga dan dedaunan. Bespa diletakkan di atas balai-balai bersama berbagai macam sajian

E.      Interaksi Kepercayaan Orang Tengger dengan Agama-Agama lain
Sekarang ini agama Hindu makin berkembang di Tengger. Sebagian besar pemuka adat Tengger mendukung diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar. Maraknya revitalisasi Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama guru agama dari Bali tiba di Tengger. Rombongan ini membentuk kelas-kelas baru untuk anak-anak dan orang dewasa, dan mengajar generasi muda Tengger membaca doa-doa dalam bahasa Sansekerta.
Adapun pengaruh Agama Islam, Mulanya penduduk asli suku Tengger tinggal di pesisir pantai di Probolinggo dan Lumajang. Mereka tinggal di sana selama masa kerajaan Majapahit masih menganut ajaran agama Hindu, kemudian Islam mulai masuk di kerajaan Majapahit.lama kelamaan agama Islam mulai berkembang pesat di wilayah Suku Tengger karena keterbukaan dan kesenangan orang Tengger dengan kegiatan berdagang.[3]


Referensi

R.P. Suyono. Mistisme Tengger. PT LKIS Pelangi Aksara. 2009

https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger



[1] Diakses pada 21 April 2016 dari https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/
[2] Diakses pada 21 April 2016 dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger
[3]  R.P. Suyono, Mistisme Tengger, (PT LKIS Pelangi Aksara, 2009), h. 26
gama 4B

A.      Asal-Usul Orang Tengger          
Menurut sebagian kepercayaan masyarakat Tengger, namanya diambil dari dua orang suami isteri yang merupakan cikal bakal penduduk Tengger yang menetap di suatu tempat antara gunung Bromo dan Semeru, isteri bandsawan itu melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik rupawan yang di beri nama Roro Anteng. Tidak jauh dari tempat itu, tinggalah seorang pendeta dengan isterinya, isteri pendeta itu melahirkan seorang laki-laki yang bagus rupanya dan sehat tubuhnya (seger) karena itu diberi nama Joko Seger dan menjadi pemuda yang tampan. Keduanya akhirnya mengikat perkawinan dan kemudian membuka kampung baru, kampung itu diberi nama Tengger. Dari nama Roro Anteng untuk awalan “Teng” dan dari Joko Seger yang diambil untuk akhiran “Ger”.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.[1]
B.      Pandangan Hidup, Kepercayaan Orang Tengger
            Hal yang penting lainnya dari masyarakat Tengger adalah pandangan tentang Perilaku sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
1       Prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya
2       Prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana
3       Pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau       pemerintah
4       Prasetya berarti setya
5       Prayitna berarti waspada.[2]
Kepercayaan masyarakat Tengger diantaranya :
a.       Animisme, berasal dari kata anima yang artinya roh, nyawa, badan halus. Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan penting.
b.       Konsep Tentang Tuhan
c.       Sembahyang dan Semedi, Di samping melaksanakan sesaji dan upacara selamatan agama Budha Tengger mengenal pula tata cara sembahyang yang ia sebut semedi. Praktek semedi bisa dilakukan dirumah, sanggar pemujaan, tempat-tempat sepi seperti gunung, gua dan sebagainya.           Berdeda dengan sesaji, pada semedi tidak ada ketentuan tentang hukum kewajiban yang mengandung sangsi. Karena itu pelaksanaa semedi tidak merupakan peribadatan yang bersifat massal, meskipun dilaksanakan masal di sanggar pemujaan. Pelaksanaan semedi lebih menjurus kearah mengheningkan cipta kepada Gusti Kang Maho Agung, dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa.
d.       Konsep Alam, Di samping alam yang terlihat nyata, mereka pun mempercayai alam lain dibalik kehidupanyang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka ditempatkan di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang dianggap suci.
e.       Tujuh Ajaran Tentang Kehidupan
1)          “Hong maniro sak sampune dumerek ing sasi kasodo maningo ing temah”
2)          Milango ing sarining potro kanggo milar panjenengan ing minah”
3)          “Kang adoh pinarekaken, kang parek tinariko nang aron-aron”
4)          “Angrasuko ajang kang pinuju ing Sang Hyang Sukmo”
5)          “Jiwo raga sinusupan babahan werno songo”
6)          “Ngelingono jiwo premono hanimboho binyu karabayuan”
7)       “Dewiru neediyo nyondro nitis sepisan kerto rahayu palinggihanetiti yang lura, lurah kyahi dukun sagung anak putu andoyo puluh”


C.      Ritus dan Upacara Keagamaan Masyarakat Tengger
1)      Hari Raya Karo, adalah hari raya pemeluk agama Budha Tengger yang dirayakan bersama-sama secara besar-besaran dan diadakan pada pertengahan bulan Karo (bulan kedua) setiap tahun. Upacara dilaksanakan selama 7 hari, selama itu mereka saling kunjung mengunjungi untuk mempererat tali persaudaraan yang disebutnya dengan istilah sambung batin.
2)      Hari Raya Kesodo, adalah hari raya yang diadakan oleh masyarakat Tengger pada bulan ke 12 (saddo) pada pertengahan bulan.
3)      Entas-entas : Acara untuk mensucikan arwah orang-orang yang sudah meninggal dunia.
4)      Unang-unang : upacara Unang-unang dilakukan dengan tujuan membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan juga membersihkan arwah yang belum sempurna setelah kematian fisiknya.
5)                Pujaan Mubeng : upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan dusun dan dilakukan dengan memberikan sesajin-sesajin.
D.      Upacara Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian
1) Upacara Kelahiran, Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang berkaitan. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamtan nyayut atau upacara sesayut. kemudian ditaruh di sanggar.Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung. Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar telah kering dan akan lepas. Pada waktu diberi nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras).Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan daun rumput ilalang. Rangakaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat.
2) Upacara Perkawinan
Orang Tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Puncak dari upacara perkawinan adalah upacara walagara, yakni akad nikah yang dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada 10 tungku, pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar pada tamu memberi doa restu.
3) Upacara Kematian
                   Dalam Upacara Kematian , setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu menyiramkan air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang tersiram air itulah yang digali untuk liang kubur. Mayat orang Tengger dibaringkan dengan kepala membujur ke selatan ke arah Gunung Bromo. Petang harinya keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan. Orang yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa, terbuat dari bunga dan dedaunan. Bespa diletakkan di atas balai-balai bersama berbagai macam sajian

E.      Interaksi Kepercayaan Orang Tengger dengan Agama-Agama lain
Sekarang ini agama Hindu makin berkembang di Tengger. Sebagian besar pemuka adat Tengger mendukung diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar. Maraknya revitalisasi Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama guru agama dari Bali tiba di Tengger. Rombongan ini membentuk kelas-kelas baru untuk anak-anak dan orang dewasa, dan mengajar generasi muda Tengger membaca doa-doa dalam bahasa Sansekerta.
Adapun pengaruh Agama Islam, Mulanya penduduk asli suku Tengger tinggal di pesisir pantai di Probolinggo dan Lumajang. Mereka tinggal di sana selama masa kerajaan Majapahit masih menganut ajaran agama Hindu, kemudian Islam mulai masuk di kerajaan Majapahit.lama kelamaan agama Islam mulai berkembang pesat di wilayah Suku Tengger karena keterbukaan dan kesenangan orang Tengger dengan kegiatan berdagang.[3]


Referensi

R.P. Suyono. Mistisme Tengger. PT LKIS Pelangi Aksara. 2009

https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger



[1] Diakses pada 21 April 2016 dari https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/
[2] Diakses pada 21 April 2016 dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger
[3]  R.P. Suyono, Mistisme Tengger, (PT LKIS Pelangi Aksara, 2009), h. 26


Responding Paper Suku Tengger

Nama  : Shabrina Ghaisani
NIM    : 11140321000051
Kelas   : Perbandingan Agama 4B

A.      Asal-Usul Orang Tengger          
Menurut sebagian kepercayaan masyarakat Tengger, namanya diambil dari dua orang suami isteri yang merupakan cikal bakal penduduk Tengger yang menetap di suatu tempat antara gunung Bromo dan Semeru, isteri bandsawan itu melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik rupawan yang di beri nama Roro Anteng. Tidak jauh dari tempat itu, tinggalah seorang pendeta dengan isterinya, isteri pendeta itu melahirkan seorang laki-laki yang bagus rupanya dan sehat tubuhnya (seger) karena itu diberi nama Joko Seger dan menjadi pemuda yang tampan. Keduanya akhirnya mengikat perkawinan dan kemudian membuka kampung baru, kampung itu diberi nama Tengger. Dari nama Roro Anteng untuk awalan “Teng” dan dari Joko Seger yang diambil untuk akhiran “Ger”.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.[1]
B.      Pandangan Hidup, Kepercayaan Orang Tengger
            Hal yang penting lainnya dari masyarakat Tengger adalah pandangan tentang Perilaku sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
1       Prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya
2       Prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana
3       Pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau       pemerintah
4       Prasetya berarti setya
5       Prayitna berarti waspada.[2]
Kepercayaan masyarakat Tengger diantaranya :
a.       Animisme, berasal dari kata anima yang artinya roh, nyawa, badan halus. Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan penting.
b.       Konsep Tentang Tuhan
c.       Sembahyang dan Semedi, Di samping melaksanakan sesaji dan upacara selamatan agama Budha Tengger mengenal pula tata cara sembahyang yang ia sebut semedi. Praktek semedi bisa dilakukan dirumah, sanggar pemujaan, tempat-tempat sepi seperti gunung, gua dan sebagainya.           Berdeda dengan sesaji, pada semedi tidak ada ketentuan tentang hukum kewajiban yang mengandung sangsi. Karena itu pelaksanaa semedi tidak merupakan peribadatan yang bersifat massal, meskipun dilaksanakan masal di sanggar pemujaan. Pelaksanaan semedi lebih menjurus kearah mengheningkan cipta kepada Gusti Kang Maho Agung, dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa.
d.       Konsep Alam, Di samping alam yang terlihat nyata, mereka pun mempercayai alam lain dibalik kehidupanyang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka ditempatkan di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang dianggap suci.
e.       Tujuh Ajaran Tentang Kehidupan
1)          “Hong maniro sak sampune dumerek ing sasi kasodo maningo ing temah”
2)          Milango ing sarining potro kanggo milar panjenengan ing minah”
3)          “Kang adoh pinarekaken, kang parek tinariko nang aron-aron”
4)          “Angrasuko ajang kang pinuju ing Sang Hyang Sukmo”
5)          “Jiwo raga sinusupan babahan werno songo”
6)          “Ngelingono jiwo premono hanimboho binyu karabayuan”
7)       “Dewiru neediyo nyondro nitis sepisan kerto rahayu palinggihanetiti yang lura, lurah kyahi dukun sagung anak putu andoyo puluh”


C.      Ritus dan Upacara Keagamaan Masyarakat Tengger
1)      Hari Raya Karo, adalah hari raya pemeluk agama Budha Tengger yang dirayakan bersama-sama secara besar-besaran dan diadakan pada pertengahan bulan Karo (bulan kedua) setiap tahun. Upacara dilaksanakan selama 7 hari, selama itu mereka saling kunjung mengunjungi untuk mempererat tali persaudaraan yang disebutnya dengan istilah sambung batin.
2)      Hari Raya Kesodo, adalah hari raya yang diadakan oleh masyarakat Tengger pada bulan ke 12 (saddo) pada pertengahan bulan.
3)      Entas-entas : Acara untuk mensucikan arwah orang-orang yang sudah meninggal dunia.
4)      Unang-unang : upacara Unang-unang dilakukan dengan tujuan membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan juga membersihkan arwah yang belum sempurna setelah kematian fisiknya.
5)                Pujaan Mubeng : upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan dusun dan dilakukan dengan memberikan sesajin-sesajin.
D.      Upacara Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian
1) Upacara Kelahiran, Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang berkaitan. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamtan nyayut atau upacara sesayut. kemudian ditaruh di sanggar.Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung. Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar telah kering dan akan lepas. Pada waktu diberi nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras).Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan daun rumput ilalang. Rangakaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat.
2) Upacara Perkawinan
Orang Tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Puncak dari upacara perkawinan adalah upacara walagara, yakni akad nikah yang dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada 10 tungku, pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar pada tamu memberi doa restu.
3) Upacara Kematian
                   Dalam Upacara Kematian , setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu menyiramkan air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang tersiram air itulah yang digali untuk liang kubur. Mayat orang Tengger dibaringkan dengan kepala membujur ke selatan ke arah Gunung Bromo. Petang harinya keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan. Orang yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa, terbuat dari bunga dan dedaunan. Bespa diletakkan di atas balai-balai bersama berbagai macam sajian

E.      Interaksi Kepercayaan Orang Tengger dengan Agama-Agama lain
Sekarang ini agama Hindu makin berkembang di Tengger. Sebagian besar pemuka adat Tengger mendukung diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar. Maraknya revitalisasi Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama guru agama dari Bali tiba di Tengger. Rombongan ini membentuk kelas-kelas baru untuk anak-anak dan orang dewasa, dan mengajar generasi muda Tengger membaca doa-doa dalam bahasa Sansekerta.
Adapun pengaruh Agama Islam, Mulanya penduduk asli suku Tengger tinggal di pesisir pantai di Probolinggo dan Lumajang. Mereka tinggal di sana selama masa kerajaan Majapahit masih menganut ajaran agama Hindu, kemudian Islam mulai masuk di kerajaan Majapahit.lama kelamaan agama Islam mulai berkembang pesat di wilayah Suku Tengger karena keterbukaan dan kesenangan orang Tengger dengan kegiatan berdagang.[3]


Referensi

R.P. Suyono. Mistisme Tengger. PT LKIS Pelangi Aksara. 2009

https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger



[1] Diakses pada 21 April 2016 dari https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/
[2] Diakses pada 21 April 2016 dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger
[3]  R.P. Suyono, Mistisme Tengger, (PT LKIS Pelangi Aksara, 2009), h. 26