Kamis, 19 Mei 2016

SUKU GORONTALO



SUKU GORONTALO

Hasil gambar untuk gambar peta gorontalo
Gambar : https://www.google.com/search?q=gambar+peta+gorontalo&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjh2abri6zNAhUKRY8KHX_VAOMQ_AUICCgB&biw=1366&bih=657

1.1 Letak Geografis
Gorontalo terletak di bagian utara pulau Sulawesi antara kerajaan Bolaang Mongondow dan Bwool. Letak Gorontalo yang berada diantara dua kawasan pelayaran besar, yaitu laut China Selatan dan Teluk Tomini, ikut berperan dalam menentukan dinamika politik yang terjadi di Gorontalo, khususnya selama abad XVII. Abad XVII menjadiruang lingkup temporal yang penting bagi sejarah Gorontalo.
Provinsi Gorontalo terletak pada bagian utara Pulau Sulawesi, tepatnya pada 0,19’ – 1,15‘ LU dan 121,23’ –123,43’ BT. Letaknya sangatlah strategis, karena diapit oleh dua perairan (Teluk Toini di selatan dan Laut Sulawesi di utara). Hasil Sensus Penduduk 2010 pendduduk Provinsi Gorontalo berjumlah 1.040.164 jiwa yang terdiri atas 521.914 jiwa laki-laki dan 518.250 perempuan. Laju pertumbuhan penduduk Gorontalo tahun 2010 mencapai 2,28 persen/tahun. Kepadatan penduduk terbanyak berada di Kota Gorontalo dengan kepadatan penduduk 2.719 jiwa/km² sedangkan kepadatan penduduk terkecil berada di Kabupaten Pohuwato yang hanya sekitar 30 jiwa/km²[1]
1.2 Asal - Usul Suku Gorontalo
Dahulunya wilayah Gorontalo ini adalah bagian dari provinsi Sulawesi Utara dengan status kabupaten, tapi kini wilayah Gorontalo telah  menjadi provinsi sendiri dengan nama provinsi Gorontalo.
Ditetapkannya kabupaten Gorontalo sebagai provinsi Gorontalo secara resmi pada tanggal 16 Februari 2001 oleh Menteri Dalam Negeri yang meresmikan Provinsi Gorontalo sekaligus melantik Tursandi Alwi sebagai Penjabat Gubernur. Setahun kemudian, Ir. Fadel Muhammad terpilih menjadi Gubernur Pertama Provinsi Gorontalo.
Istilah Gorontalo sendiri, kemungkinan berasal dari beberapa istilah, yaitu:
·       Hulontalangio, nama suku yang tinggal di daerah
·       Hua Lolontalango, yang berarti gua yang digunakan untuk berjalan bolak-balik
·       Hulutalangi, yang berarti mulia
·       Huluo Lo Tola, yang berarti tempat di mana ikan snakehead berkembang biak
·       Pongolatalo atau Pohulatalo, yang berarti: tempat menunggu
·       Gunung Telu, yang berarti gunung tiga
·       Hunto, yang berarti tempat yang selalu dialiri air
Orang Gorontalo sendiri kadang menyebut diri mereka sebagai Hulondalo. Istilah Hulondalo sendiri sudah terkenal di wilayah Gorontalo dan Sulawesi Utara, yang biasanya untuk menyebut daerah Gorontalo atau orang Gorontalo. Asal usul suku Gorontalo, tidak diketahui secara pasti. Apabila dilihat dari struktur fisik orang Gorontalo, memiliki ras mongoloid, hanya saja mungkin sejak beberapa abad yang lalu telah terjadi percampuran ras dengan bangsa-bangsa lain. Sehingga suku Gorontalo saat ini memiliki postur fisik yang beragam. Warna kulit mulai dari kuning hingga ke coklat gelap. Rambut juga bervariasi, dari rambut lurus, ikal dan keriting. Menurut perkiraan suku Gorontalo dahulunya berasal dari daratan Indochina, kemungkinan dari daerah Burma atau Filipina. Dilihat dari bahasa, bahasa Gorontalo memiliki keterkaitan bahasa dengan bahasa-bahasa lain di pulau Sulawesi, seperti dengan bahasa Minahasa-Bugis-Makasar-Toraja, juga dengan bahasa-bahasa di Filipina.[2]

1.3 Sistem Kepercayaan Suku Gorontalo
Pada awalnya animisme dan dinamisme merupakan sistem kepercayaan yang dianut oleh penduduk Gorontalo pada masa dahulu sebelum datangnya Islam, seperti kepercayaan terhadap laut gunung, tanjung, kolam, pohon, dan tempat-tempat yang mengherankan dan mendahsyatkan, mempunyai penghuni yang mereka sebut ilah. Ilah-ilah ini ada yang baik dan ada pula yang jahat.Selain dari pada itu penghormatan kepada roh nenek moyang memegang peranan penting pula.Roh nenek moyang ini pun ada baik dan ada pula yang jahat menurut tabiatnya semasa hidupnya.Selanjutnya baik ilah-ilah maupun arwah-arwah itu semuanya berpengaruh kepada orang yang masih hidup, sehingga sangat ditakuti.Maka kewajiban dari ampuang-ampuang, walian-walian dan tonaas-tonaas untuk menjinakkan dan melunakkan pengaruhnya.
Di daerah Gorontalo, pada masa itu kepercayaan yang dianggap dapat menguasai kehidupan manusia, telah didasari oleh benda-benda alam, seperti:
·       Duputo,oleh masyarakat Gorontalo dianggap sakti, yang berarti angin, karena       dapat memberi hidup, juga dapat mendatangkan malapetaka yaitu angin topan.       Duputo mempunyai keuatan gaib yang tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan,       yang telah memberi hidup serta mengatur alam ini.
·       Tulu,berarti api, dianggap sakti karena memegang peranan penting dalam       kehidupan manusia sebagai pembakar, misalnya digunakan untuk membakar       kemenyan, untuk mengusir roh jahat, dan lain-lain.
·       Taluhu,berarti air, dianggap sakti karena digunakan untuk memasak, mencuci, dan       untuk obat, dan biasanya air ini digunakan oleh dukun untuk mengobati orang       sakit.
·       Huta,berarti tanah, dianggap memberi kekuatan hidup untuk tumbuh-tumbuhan       dan tempat pemakaman orang yang meninggal. Di Gorontalo ada upacara       ‘mopoahuta’ yaitu suatu upacara pemberian sedekah pada tanah sebagai rasa       terima kasih yang telah memberi hasil tanaman.[3]
1.4 Upacara Adat Suku Gorontalo
a.       Upacara Pernikahan
Upacara perkawinan yang berlangsung di dua tempat yaitu di tempat mempelai pria dan wanita, masing masing keluarga mempelai mengadakan pesta dirumah sendiri sendiri. Dalam pesta tersebut selalu berlangsung meriah hingga berhari hari lamanya. Beberapa hari sebelum pesta dilangsungkan semua keluarga dan kerabat telah datang berkumpul untuk membantu pelaksanaan pesta tersebut, baik ibu-ibu maupun bapak bapak selalu datang beramai ramai. Dalam pesta itu mempelai pria dan wanita menggunakan pakaian adat Bili’u dengan tempat pelaminan yang juga dihias menggunakan adat Gorontalo. Pesta yang berlangsung biasanya 3 hari itu dengan masing masing mempunyai sebutan setiap hari yang berbeda.[4]
Seperti uang telah dijelaskan di atas untuk  upacara perkawinan, pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u atau Paluawala.Pakaian adat ini umumnya dikenal terdiri atas tiga warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan hijau.Dalam adat istiadat gorontalo , setiap warna memiliki makna atau lambang tertentu, karena itu dalam upacara pernikahan masyarakat gorontalo hanya menggunakan empat warna utama , yaitu merah ,hijau , kuning emas , dan ungu. Warna merah dalam masyarakat gorontalo bermakna keberanian dan tanggung jawab , hijau bermakna Kesuburan, kesehjateraan , kedamaian dan kerukunan, kuning emas bermakna kemulian, kesetiaan ,kesabaran dan kejujuran sedangkan warna ungu bermakna keanggunan dan kewibawaan.[5]
b.       Upacara Nujuh Bulan atau Dalam Bahasa Gorontalo Disebut Tondhalo
Tondhalo ini dilaksanakan pada usia kandungan 7 bulan, dilaksanakan pada pagi hari dan pesta yang meriah dan tentu sangat berbeda dengan upacara nujuh bulan pada umumnya. Baik si ibu jabang bayi maupun suami sama sama menggunakan pakaian adapt dan menyertakan seorang anak perempuan kecil yang diusung oleh sang suami berkeliling rumah sebelum masuk kekamar menjumpai si ibu jabang bayi untuk memutus tali yang melingkar di perut yang terbuat dari daun kelapa.
Dalam upacara ini disediakan berbagai jenis makanan yang dihidangkan diatas 7 buah baki, kemudian makanan tersebut dibagi bagikan kepada para undangan termasuk anak perempuan kecil yang diusung oleh sang suami calon ayah dari jabang bayi.
c.       Upacara Aqiqah
Upacara aqiqah biasanya dilaksanakan 1 bulan atau 40 hari usia anak yang baru dilahirkan, namun ada sebagian masyarakat yang melaksanakan aqiqah lebih awal bahkan ada yang lebih dari 40 hari bergantung kepada kemampuan orang tua si  anak. Upacara aqiqah untuk suku Gorontalo tentu berbeda dengan yang dilaksanakan pada umumnya. Pada jaman dulu para orang tua melaksanakan upacara aqiqah itu pada 7 hari setelah anak dilahirkan, yang disertai dengan upacara naik ayunan atau yang disebut buye buye. Pada upacara ini sekaligus dilaksanakan sunat bagi anak perempuan.
d.       Upacara Khitanan dan Beat
Meskipun kemajuan teknologi telah merambah ke suluruh pelosok Gorontalo, namun adapt istiadat yang telah ada sejak jaman nenek moyang tetap terpelihara dengan baik, bebagai upacara adapt masih tetap dilaksanakan, misalnya upacara Khitanan bagi anak laki laki dan Beat bagi anak perempuan. Dalam upacara ini masih ada sebagaian masyarakat yang menggunakan alat tradisional untuk mengkhitan anak laki-laki. Namun  seiring dengan kemajuan teknologi dan mengurangi resiko yang dapat berakibat fatal maka saat ini telah terjadi pergeseran dengan menggunakan alat yang lebih modern dengan menggunakan tenaga dokter. Khusus upacara Beat untuk anak perempuan yang telah aqil baligh,adat tersebut masih tetap dilakukan.[6]
1.5 Ekonomi


Perekonomian di Provinsi Gorontalo sekarang ini menjadi salah satu perekonomian yang paling pesat perkembangannya di Indonesia. Sektor pertanian, perikanan dan jasa adalah sektor yang di andalkan di Provinsi ini karena memiliki kontribusi yang besar bagi pendapatan asli daerah.
Dalam rangka mewujudkan Provinsi Gorontalo sebagai Provinsi Agropolitan, maka berbagai upaya terus dilakukan. Pemerintah Provinsi melakukan berbagai macam program pembangunan, di antaranya melalui perbaikan infrastruktur sebagai pilar pemacu pembangunan, penyediaan sarana produksi pertanian, penyediaan dana penjamin, peningkatan SDM pertanian, memperlancar pemasaran dengan jaminan harga dasar dan lain lain, serta dengan menyusun berbagai program, seperti:
  1. Pengembangan tanaman pangan, di versifikasi pangan dan ketahanan pangan daerah;
  2. Pengembangan agropolitan menuju satu jutaan ton jagung;
  3. Pengembangan agro bisnis;
  4. Peningkatan peran dan fungsi kelembagaan petani melalui pembedayaan masyarakat pertanian.
Dalam mengembangkan potensi dan keanekaragaman sumber daya alam di Provinsi Gorontalo, terdapat beberapa peluang investasi untuk dikembangkan, seperti: investasi di bidang agro bisnis (pertanian dan perkebunan), termasuk juga agro industri (nata de coco, minyak kelapa dan Dubuk santan) serta di bidang pertambangan (emas, granit, dll.).
 

1.6 Konflik di Gorontalo
Dari perkembangan yang terjadi selama abad XVII di Gorontalo, tampak bahwa selama kurun waktu it daerah Gorontalo dilanda dengan konflik yang berlangsung terhadap berbagai pihak. Ketika ditinjau lebih mendalam, keterlibatan oleh pihak-pihak luar atas wilayah Gorontalo terjadi sebagai akibat adanya konflik internal di antara limo lo pohalaa, khususnya antara Gorontalo dan Limboto. Konflik internal ini bukan hanya melemahkan ikatan di antara raja-raja pribumi yang telah dijalin melalui hubungan kekerabatan, tetapi menarik kekuatan luar untuk terlibat dengan kepentingan mereka sendiri. Masuknya Gowa, Ternate dan VOC merupakan akibat dari krisis politik yang terjadi di kalangan limo lo pohalaa.
Dalam konflik yang terus menerus, terdapat perbedaan pola konflik yaitu dengan adanya persekutuan. Sebelum adanya perjanjian Bongaya tahun 1667, konflik terjadi antara dua kekuatan gabungan yaitu Gorontalo-Goa dan Limboto-Ternate. Setelah perdamaian antara Gorontalo-Limboto berhasil dicapai, kepentingan luar baik Gowa maupun Ternate tidak berkurang. Konflik di Gorontalo menjadi ukuran bagi persaingan kekuatan antara Gowa dan Ternate. Setelah kekalahan Gowa, Ternate tampil sebagai kekuatan dominan di Gorontalo yang kemudian digantikan oleh VOC.[7] 
Referensi

http://cinderamatasejarah.blogspot.co.id/2015/03/kebudayaan-gorontalo.html
Farukhi dan Vida Afrida, Sejarah Daerah Sulawesi Utara, (Jakarta : Balai Pustaka, 1982)






[3] Farukhi dan Vida Afrida, Sejarah Daerah Sulawesi Utara, (Jakarta : Balai Pustaka, 1982), h.32
[4] Diakses pada 11 Mei 2016 dari https://dewaarka.wordpress.com/2009/11/24/kebiasaan-%E2%80%93kebiasaan-hidup-bermasyarakat-suku-gorontalo/


[6] Diakses pada 11 Mei 2016 dari https://dewaarka.wordpress.com/2009/11/24/kebiasaan-%E2%80%93kebiasaan-hidup-bermasyarakat-suku-gorontalo/

[7] Diakses pada 11 Mei 2016 dari http://cinderamatasejarah.blogspot.co.id/2015/03/kebudayaan-gorontalo.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar