A. Asal-Usul Masyarakat Samin
Ajaran Samin atau Saminisme disebarkan
oleh seorang petani yang bernama Samin Surasentiko atau Surantiko Samin,
disebut pula Surontiko Sami. Para pengikut yang mengkultuskannya mengatakan
bahwa Surosentiko Samin adalah “Wong
Tiban” atau orang yang tidak diketahui dari mana datangnya dan kemana
perginya.Sumber lain menyebutkan Surosentiko Samin adalah cucu Kyai Keti dari
Rejekwesi, Kabupaten Bojonegoro. Mereka masih mempunyai hubungan darah dengan
pangeran Kusumaningayu dari Kerajaan Pajang.Pendapat lain juga mengatakan
Surosentiko Samin adalah keturunan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro
yang melarikan diri ke daerah Blora karena dikejar-kejar Belanda.
Pada suatu hari, ketika ia sedang
bertapa, konon ia mendapat wangsit berupa suara gaib yang memerintahkan Samin
menuju suatu tempat tertentu di mana ia akan mendapatkan buku yang berkhasiat,
yaitu “Kalimosodo”. Buku ini
merangkum ajaran-ajaran yang pada kemudian hari disebarkan kepada sanak famili
dan masyarakat sekitarnya. Proses penyebaran ajarannya disampaikan dari mulut
ke mulut.
Jumlah mereka tidak banyak dan
tinggal dikawasan pegunungan Kendeng diperbatasan dua propinsi. Kelompok Samin
lebih suka disebut wong sikep, karena kata Samin bagi mereka mengandung makna
negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu,
suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama
dikalangan masyarakat Bojonegoro.[1]
B.
Pandangan Hidup,
Kepercayaan dan Ajaran Orang Samin
1)
Agama, menurut
orang Samin berarti “gaman”
(senjata), yaitu “gamane wong lanang”.
Mereka sering mengatakan “aku iki wong,
agamaku Adam, jenengku lanang. Adam itu pengucapku”, dari Adamlah asal
hidup dan mati, dan segalanya bersumber pada Dia. Maka ketika kita bertanya tentang agama orang Samin,
mereka akan menjawab agama mereka adalah agama Adam.
2)
Manusia dan
Kehisupan Alam Dunia, Menurut ajaran Samin, dunia ini hanya satu,
yaitu urip (hidup). Segala sesuatu
yang menampakkan diri tidak lebih dari pewujudan hidup. Manusia pertama adalah
Adam yang diciptakan oleh Bapak Kuasa (langit) dan Ibu Pertiwi (bumi) kemudian
dengan kekuatan yang ada pada Adam lahirlah Ibu Hawa (hawaning pikir).
Adapun
Pokok-pokok ajaran Saminisme :
a)
Agama adalah senjata atau pegangan
hidup. Paham Samin
tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah
mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat
dlam hidupnya
b)
Jangan mengganggu orang, jangan
bertengkar, jangan suka irihati dan jangan suka mengambil milik orang.
c)
Bersikap sabar dan jangan sombong.
d)
Manusia hidup harus memahami
kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu dibawa abadi
selamanya.Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal,
namun hanya menanggalkan pakaiannya.
e)
Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling
menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan ada unsur “ketidakjujuran”.
Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.
Kitab Suci
Sebagaimana
paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin
juga memiliki “kitab suci”. “Kitab suci“‘
itu adalah Serat Jamus
Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer
Kawitan, Serat Pikukuh
Kasajaten, Serat Uri-uri
Pambudi, Serat Jati
Sawit, Serat
Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan
dimuliakan oleh orang Samin.[2]
C.
Upacara
Keagamaan Masyarakat Samin
1)
Upacara
Kelahiran, menurut masyarakat Samin
adalah sesuatu hal yang dianggap biasa saja, dan mereka beranggapan bahwa
seseorang yang baru lahir telah membawa jeneng
(nama) sendiri-sendiri. Nama jeneng itu
dibagi menjadi jeneng lanang (nama
laki-laki) dan jeneng wedok (nama
wanita). pada umumnya masyarakat Samin juga mengenal brokohan bancakanmbel-mbel yang dibagi-bagikan kepada tetangga
dinamakan mbrokohiturunan. Kemudian
setelah sang bayi berusia lima hari dibuatkan juga mbel-mbelsepasaran, lalu pada saat bayi berusia sembilan hari juga
dibuatkan mbel-mbel selapan.
2) Upacara Khitan, Masyarakat Samin sebenarnya tidak mengenal khitan
atau sunat. Mereka mempunyai pandangan, mengapa anggota tubuh yang sudah ada
sejak lahir harus dikurangi atau dihilangkan. Akan tetapi dalam kenyataan
sehari-hari, seorang anak laki-laki yang sudah menginjak masa “Adam Birahi”
atau seseorang yang sudah memasuki akil balig juga disunat sebagai laki-laki
yang beragama Islam.
3) Upacara Perkawinan, Dalam perkawinan, ini harus didasari atas suka sama
suka (pada demen) dan tidak ada unsur
paksaan. Monogami adalah prinsip dari perkawinan mereka.
4) Upacara Kematian, Menurut orang Samin, orang yang mati itu disebut
sebagai salin sandhang (berganti
pakaian). Ini maksudnya apabila roh lepas dari raga (jasmani, tubuh), jiwa
mereka masih tetap hidup dengan memakai jasad yang baru. Manusia itu tidak
pernah mati, yang mati dan rusak itu adalah jasadnya saja.
D.
Kesenian Suku
Samin
Adapun kesenian mereka yaitu, tari
tayup, dan wayang tengul. Tari tayup merupakan tari pergaulan yang populer bagi
masyarakat Bojonegoro dan sekitar. Tarian ini biasanya dilakukan oleh pria
dengan diiringi gamelan dan tembang-tembang Jawa yang dilantunkan oleh
Waranggono yang syairnya syarat dengan petuah dan ajaran. Wayang tengul adalah
kesenian wayang khas Bojonegoro dalam bentuk 3 dimensi dengan diiringi gamelan
pelog atau slendro.[3]
E.
Etika Masyarakat
Samin
Praktek pengalaman ajaran Samin yang diyakini kebenarannya pada
gilirannya mempunyai implikasi yang sangat kuat pada pembentukkan watak dan
karakter mereka. Beberapa watak yang menonjol dari mereka adalah:
1) Memegang teguh janji dan menepatinya “kukoh janji”.
2) Jujur.
3) Sabar dan tidak suka kekerasan.
4) Ikhlas atau “nerimo”
5) Santun dalam menerima tamu.
Mayarakat
Samin sangat menghargai tradisi leluhurnya. Mereka mematuhi semua peraturan
seperti apa yang diajarkan oleh leluhur mereka. Tak satupun dari mereka berani
melanggarnya.Karena nilai–nilai yang ada dalam masyarakat tersebut telah
tertanam dalam hati mereka,dan menjadi sebuah norma tersendiri dalam masyarakat
tersebut.[4]
E.
Interaksi
Kepercayaan Orang Samin dengan Agama-Agama Lain
Interaksi
kepercayaan orang Samin dengan masyarakat sekitar, khususnya yang ada di desa
Klopoduwur dan Sambungrejo cukup baik dan akrab, terutama terhadap sesama
masyarakat Samin dan juga terhadap agama lain
dan masyarakat lain,karena ajaran Samin menganggap semua agama yang ada
dan yang dianut banyak orang adalah baik dan kepercayaan yang dianutnya juga
baik.
Relasi sosial
Komunitas Samin sesama pengikut Sami Cukup baik dan akrab bahkan saling
membantu dalam kebutuhan sehari-hari. Tetapi relasi sosial dengan kelompok
mainstream tidak terlihat karena Komunitas Samin hidupnya mengelompok
seakan-akan membuat komunitas tersendiri dan mereka jarang keluar rumah kecuali
pergi ke kebun dan ladang.[5]
Referensi
Mufid, Ahmad
Syafii . Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia. Jakarta
. Puslitbang Kehidupan keagamaan. 2012
http://ragambudayanusantara.blogspot.co.id/2008/08/suku-samin.html
https://dwiambarrini.wordpress.com/2011/04/26/etika-masyarakat-samin-sikep/
htthttp://obyekwisata.net/sejarah-asal-suku-samin-di-blora
ps://imamhanafo.wordpress.com/2010/06/20/saminisme-ajaran-samin/
[2] Diakses pada 21 April 2016 dari https://imamhanafo.wordpress.com/2010/06/20/saminisme-ajaran-samin/
[3] Diakses pada 21 April 2016 dari http://ragambudayanusantara.blogspot.co.id/2008/08/suku-samin.html
[4] Diakses pada 21 April 2016 dari https://dwiambarrini.wordpress.com/2011/04/26/etika-masyarakat-samin-sikep/
[5] Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan
Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia, (Jakarta : Puslitbang Kehidupan
keagamaan, 2012) , h. 156.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar