Kamis, 19 Mei 2016

Responding Paper Suku Tengger




A.      Asal-Usul Orang Tengger          
Menurut sebagian kepercayaan masyarakat Tengger, namanya diambil dari dua orang suami isteri yang merupakan cikal bakal penduduk Tengger yang menetap di suatu tempat antara gunung Bromo dan Semeru, isteri bandsawan itu melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik rupawan yang di beri nama Roro Anteng. Tidak jauh dari tempat itu, tinggalah seorang pendeta dengan isterinya, isteri pendeta itu melahirkan seorang laki-laki yang bagus rupanya dan sehat tubuhnya (seger) karena itu diberi nama Joko Seger dan menjadi pemuda yang tampan. Keduanya akhirnya mengikat perkawinan dan kemudian membuka kampung baru, kampung itu diberi nama Tengger. Dari nama Roro Anteng untuk awalan “Teng” dan dari Joko Seger yang diambil untuk akhiran “Ger”.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.[1]
B.      Pandangan Hidup, Kepercayaan Orang Tengger
            Hal yang penting lainnya dari masyarakat Tengger adalah pandangan tentang Perilaku sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
1       Prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya
2       Prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana
3       Pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau       pemerintah
4       Prasetya berarti setya
5       Prayitna berarti waspada.[2]
Kepercayaan masyarakat Tengger diantaranya :
a.       Animisme, berasal dari kata anima yang artinya roh, nyawa, badan halus. Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan penting.
b.       Konsep Tentang Tuhan
c.       Sembahyang dan Semedi, Di samping melaksanakan sesaji dan upacara selamatan agama Budha Tengger mengenal pula tata cara sembahyang yang ia sebut semedi. Praktek semedi bisa dilakukan dirumah, sanggar pemujaan, tempat-tempat sepi seperti gunung, gua dan sebagainya.           Berdeda dengan sesaji, pada semedi tidak ada ketentuan tentang hukum kewajiban yang mengandung sangsi. Karena itu pelaksanaa semedi tidak merupakan peribadatan yang bersifat massal, meskipun dilaksanakan masal di sanggar pemujaan. Pelaksanaan semedi lebih menjurus kearah mengheningkan cipta kepada Gusti Kang Maho Agung, dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa.
d.       Konsep Alam, Di samping alam yang terlihat nyata, mereka pun mempercayai alam lain dibalik kehidupanyang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka ditempatkan di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang dianggap suci.
e.       Tujuh Ajaran Tentang Kehidupan
1)          “Hong maniro sak sampune dumerek ing sasi kasodo maningo ing temah”
2)          Milango ing sarining potro kanggo milar panjenengan ing minah”
3)          “Kang adoh pinarekaken, kang parek tinariko nang aron-aron”
4)          “Angrasuko ajang kang pinuju ing Sang Hyang Sukmo”
5)          “Jiwo raga sinusupan babahan werno songo”
6)          “Ngelingono jiwo premono hanimboho binyu karabayuan”
7)       “Dewiru neediyo nyondro nitis sepisan kerto rahayu palinggihanetiti yang lura, lurah kyahi dukun sagung anak putu andoyo puluh”


C.      Ritus dan Upacara Keagamaan Masyarakat Tengger
1)      Hari Raya Karo, adalah hari raya pemeluk agama Budha Tengger yang dirayakan bersama-sama secara besar-besaran dan diadakan pada pertengahan bulan Karo (bulan kedua) setiap tahun. Upacara dilaksanakan selama 7 hari, selama itu mereka saling kunjung mengunjungi untuk mempererat tali persaudaraan yang disebutnya dengan istilah sambung batin.
2)      Hari Raya Kesodo, adalah hari raya yang diadakan oleh masyarakat Tengger pada bulan ke 12 (saddo) pada pertengahan bulan.
3)      Entas-entas : Acara untuk mensucikan arwah orang-orang yang sudah meninggal dunia.
4)      Unang-unang : upacara Unang-unang dilakukan dengan tujuan membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan juga membersihkan arwah yang belum sempurna setelah kematian fisiknya.
5)                Pujaan Mubeng : upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan dusun dan dilakukan dengan memberikan sesajin-sesajin.
D.      Upacara Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian
1) Upacara Kelahiran, Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang berkaitan. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamtan nyayut atau upacara sesayut. kemudian ditaruh di sanggar.Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung. Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar telah kering dan akan lepas. Pada waktu diberi nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras).Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan daun rumput ilalang. Rangakaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat.
2) Upacara Perkawinan
Orang Tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Puncak dari upacara perkawinan adalah upacara walagara, yakni akad nikah yang dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada 10 tungku, pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar pada tamu memberi doa restu.
3) Upacara Kematian
                   Dalam Upacara Kematian , setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu menyiramkan air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang tersiram air itulah yang digali untuk liang kubur. Mayat orang Tengger dibaringkan dengan kepala membujur ke selatan ke arah Gunung Bromo. Petang harinya keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan. Orang yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa, terbuat dari bunga dan dedaunan. Bespa diletakkan di atas balai-balai bersama berbagai macam sajian

E.      Interaksi Kepercayaan Orang Tengger dengan Agama-Agama lain
Sekarang ini agama Hindu makin berkembang di Tengger. Sebagian besar pemuka adat Tengger mendukung diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar. Maraknya revitalisasi Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama guru agama dari Bali tiba di Tengger. Rombongan ini membentuk kelas-kelas baru untuk anak-anak dan orang dewasa, dan mengajar generasi muda Tengger membaca doa-doa dalam bahasa Sansekerta.
Adapun pengaruh Agama Islam, Mulanya penduduk asli suku Tengger tinggal di pesisir pantai di Probolinggo dan Lumajang. Mereka tinggal di sana selama masa kerajaan Majapahit masih menganut ajaran agama Hindu, kemudian Islam mulai masuk di kerajaan Majapahit.lama kelamaan agama Islam mulai berkembang pesat di wilayah Suku Tengger karena keterbukaan dan kesenangan orang Tengger dengan kegiatan berdagang.[3]


Referensi

R.P. Suyono. Mistisme Tengger. PT LKIS Pelangi Aksara. 2009

https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger



[1] Diakses pada 21 April 2016 dari https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/
[2] Diakses pada 21 April 2016 dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger
[3]  R.P. Suyono, Mistisme Tengger, (PT LKIS Pelangi Aksara, 2009), h. 26
gama 4B

A.      Asal-Usul Orang Tengger          
Menurut sebagian kepercayaan masyarakat Tengger, namanya diambil dari dua orang suami isteri yang merupakan cikal bakal penduduk Tengger yang menetap di suatu tempat antara gunung Bromo dan Semeru, isteri bandsawan itu melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik rupawan yang di beri nama Roro Anteng. Tidak jauh dari tempat itu, tinggalah seorang pendeta dengan isterinya, isteri pendeta itu melahirkan seorang laki-laki yang bagus rupanya dan sehat tubuhnya (seger) karena itu diberi nama Joko Seger dan menjadi pemuda yang tampan. Keduanya akhirnya mengikat perkawinan dan kemudian membuka kampung baru, kampung itu diberi nama Tengger. Dari nama Roro Anteng untuk awalan “Teng” dan dari Joko Seger yang diambil untuk akhiran “Ger”.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.[1]
B.      Pandangan Hidup, Kepercayaan Orang Tengger
            Hal yang penting lainnya dari masyarakat Tengger adalah pandangan tentang Perilaku sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
1       Prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya
2       Prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana
3       Pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau       pemerintah
4       Prasetya berarti setya
5       Prayitna berarti waspada.[2]
Kepercayaan masyarakat Tengger diantaranya :
a.       Animisme, berasal dari kata anima yang artinya roh, nyawa, badan halus. Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan penting.
b.       Konsep Tentang Tuhan
c.       Sembahyang dan Semedi, Di samping melaksanakan sesaji dan upacara selamatan agama Budha Tengger mengenal pula tata cara sembahyang yang ia sebut semedi. Praktek semedi bisa dilakukan dirumah, sanggar pemujaan, tempat-tempat sepi seperti gunung, gua dan sebagainya.           Berdeda dengan sesaji, pada semedi tidak ada ketentuan tentang hukum kewajiban yang mengandung sangsi. Karena itu pelaksanaa semedi tidak merupakan peribadatan yang bersifat massal, meskipun dilaksanakan masal di sanggar pemujaan. Pelaksanaan semedi lebih menjurus kearah mengheningkan cipta kepada Gusti Kang Maho Agung, dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa.
d.       Konsep Alam, Di samping alam yang terlihat nyata, mereka pun mempercayai alam lain dibalik kehidupanyang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka ditempatkan di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang dianggap suci.
e.       Tujuh Ajaran Tentang Kehidupan
1)          “Hong maniro sak sampune dumerek ing sasi kasodo maningo ing temah”
2)          Milango ing sarining potro kanggo milar panjenengan ing minah”
3)          “Kang adoh pinarekaken, kang parek tinariko nang aron-aron”
4)          “Angrasuko ajang kang pinuju ing Sang Hyang Sukmo”
5)          “Jiwo raga sinusupan babahan werno songo”
6)          “Ngelingono jiwo premono hanimboho binyu karabayuan”
7)       “Dewiru neediyo nyondro nitis sepisan kerto rahayu palinggihanetiti yang lura, lurah kyahi dukun sagung anak putu andoyo puluh”


C.      Ritus dan Upacara Keagamaan Masyarakat Tengger
1)      Hari Raya Karo, adalah hari raya pemeluk agama Budha Tengger yang dirayakan bersama-sama secara besar-besaran dan diadakan pada pertengahan bulan Karo (bulan kedua) setiap tahun. Upacara dilaksanakan selama 7 hari, selama itu mereka saling kunjung mengunjungi untuk mempererat tali persaudaraan yang disebutnya dengan istilah sambung batin.
2)      Hari Raya Kesodo, adalah hari raya yang diadakan oleh masyarakat Tengger pada bulan ke 12 (saddo) pada pertengahan bulan.
3)      Entas-entas : Acara untuk mensucikan arwah orang-orang yang sudah meninggal dunia.
4)      Unang-unang : upacara Unang-unang dilakukan dengan tujuan membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan juga membersihkan arwah yang belum sempurna setelah kematian fisiknya.
5)                Pujaan Mubeng : upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan dusun dan dilakukan dengan memberikan sesajin-sesajin.
D.      Upacara Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian
1) Upacara Kelahiran, Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang berkaitan. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamtan nyayut atau upacara sesayut. kemudian ditaruh di sanggar.Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung. Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar telah kering dan akan lepas. Pada waktu diberi nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras).Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan daun rumput ilalang. Rangakaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat.
2) Upacara Perkawinan
Orang Tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Puncak dari upacara perkawinan adalah upacara walagara, yakni akad nikah yang dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada 10 tungku, pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar pada tamu memberi doa restu.
3) Upacara Kematian
                   Dalam Upacara Kematian , setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu menyiramkan air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang tersiram air itulah yang digali untuk liang kubur. Mayat orang Tengger dibaringkan dengan kepala membujur ke selatan ke arah Gunung Bromo. Petang harinya keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan. Orang yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa, terbuat dari bunga dan dedaunan. Bespa diletakkan di atas balai-balai bersama berbagai macam sajian

E.      Interaksi Kepercayaan Orang Tengger dengan Agama-Agama lain
Sekarang ini agama Hindu makin berkembang di Tengger. Sebagian besar pemuka adat Tengger mendukung diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar. Maraknya revitalisasi Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama guru agama dari Bali tiba di Tengger. Rombongan ini membentuk kelas-kelas baru untuk anak-anak dan orang dewasa, dan mengajar generasi muda Tengger membaca doa-doa dalam bahasa Sansekerta.
Adapun pengaruh Agama Islam, Mulanya penduduk asli suku Tengger tinggal di pesisir pantai di Probolinggo dan Lumajang. Mereka tinggal di sana selama masa kerajaan Majapahit masih menganut ajaran agama Hindu, kemudian Islam mulai masuk di kerajaan Majapahit.lama kelamaan agama Islam mulai berkembang pesat di wilayah Suku Tengger karena keterbukaan dan kesenangan orang Tengger dengan kegiatan berdagang.[3]


Referensi

R.P. Suyono. Mistisme Tengger. PT LKIS Pelangi Aksara. 2009

https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger



[1] Diakses pada 21 April 2016 dari https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/
[2] Diakses pada 21 April 2016 dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger
[3]  R.P. Suyono, Mistisme Tengger, (PT LKIS Pelangi Aksara, 2009), h. 26


Responding Paper Suku Tengger

Nama  : Shabrina Ghaisani
NIM    : 11140321000051
Kelas   : Perbandingan Agama 4B

A.      Asal-Usul Orang Tengger          
Menurut sebagian kepercayaan masyarakat Tengger, namanya diambil dari dua orang suami isteri yang merupakan cikal bakal penduduk Tengger yang menetap di suatu tempat antara gunung Bromo dan Semeru, isteri bandsawan itu melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik rupawan yang di beri nama Roro Anteng. Tidak jauh dari tempat itu, tinggalah seorang pendeta dengan isterinya, isteri pendeta itu melahirkan seorang laki-laki yang bagus rupanya dan sehat tubuhnya (seger) karena itu diberi nama Joko Seger dan menjadi pemuda yang tampan. Keduanya akhirnya mengikat perkawinan dan kemudian membuka kampung baru, kampung itu diberi nama Tengger. Dari nama Roro Anteng untuk awalan “Teng” dan dari Joko Seger yang diambil untuk akhiran “Ger”.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.[1]
B.      Pandangan Hidup, Kepercayaan Orang Tengger
            Hal yang penting lainnya dari masyarakat Tengger adalah pandangan tentang Perilaku sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
1       Prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya
2       Prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana
3       Pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau       pemerintah
4       Prasetya berarti setya
5       Prayitna berarti waspada.[2]
Kepercayaan masyarakat Tengger diantaranya :
a.       Animisme, berasal dari kata anima yang artinya roh, nyawa, badan halus. Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan penting.
b.       Konsep Tentang Tuhan
c.       Sembahyang dan Semedi, Di samping melaksanakan sesaji dan upacara selamatan agama Budha Tengger mengenal pula tata cara sembahyang yang ia sebut semedi. Praktek semedi bisa dilakukan dirumah, sanggar pemujaan, tempat-tempat sepi seperti gunung, gua dan sebagainya.           Berdeda dengan sesaji, pada semedi tidak ada ketentuan tentang hukum kewajiban yang mengandung sangsi. Karena itu pelaksanaa semedi tidak merupakan peribadatan yang bersifat massal, meskipun dilaksanakan masal di sanggar pemujaan. Pelaksanaan semedi lebih menjurus kearah mengheningkan cipta kepada Gusti Kang Maho Agung, dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa.
d.       Konsep Alam, Di samping alam yang terlihat nyata, mereka pun mempercayai alam lain dibalik kehidupanyang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka ditempatkan di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang dianggap suci.
e.       Tujuh Ajaran Tentang Kehidupan
1)          “Hong maniro sak sampune dumerek ing sasi kasodo maningo ing temah”
2)          Milango ing sarining potro kanggo milar panjenengan ing minah”
3)          “Kang adoh pinarekaken, kang parek tinariko nang aron-aron”
4)          “Angrasuko ajang kang pinuju ing Sang Hyang Sukmo”
5)          “Jiwo raga sinusupan babahan werno songo”
6)          “Ngelingono jiwo premono hanimboho binyu karabayuan”
7)       “Dewiru neediyo nyondro nitis sepisan kerto rahayu palinggihanetiti yang lura, lurah kyahi dukun sagung anak putu andoyo puluh”


C.      Ritus dan Upacara Keagamaan Masyarakat Tengger
1)      Hari Raya Karo, adalah hari raya pemeluk agama Budha Tengger yang dirayakan bersama-sama secara besar-besaran dan diadakan pada pertengahan bulan Karo (bulan kedua) setiap tahun. Upacara dilaksanakan selama 7 hari, selama itu mereka saling kunjung mengunjungi untuk mempererat tali persaudaraan yang disebutnya dengan istilah sambung batin.
2)      Hari Raya Kesodo, adalah hari raya yang diadakan oleh masyarakat Tengger pada bulan ke 12 (saddo) pada pertengahan bulan.
3)      Entas-entas : Acara untuk mensucikan arwah orang-orang yang sudah meninggal dunia.
4)      Unang-unang : upacara Unang-unang dilakukan dengan tujuan membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan juga membersihkan arwah yang belum sempurna setelah kematian fisiknya.
5)                Pujaan Mubeng : upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan dusun dan dilakukan dengan memberikan sesajin-sesajin.
D.      Upacara Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian
1) Upacara Kelahiran, Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang berkaitan. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamtan nyayut atau upacara sesayut. kemudian ditaruh di sanggar.Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung. Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar telah kering dan akan lepas. Pada waktu diberi nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras).Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan daun rumput ilalang. Rangakaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat.
2) Upacara Perkawinan
Orang Tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Puncak dari upacara perkawinan adalah upacara walagara, yakni akad nikah yang dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada 10 tungku, pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar pada tamu memberi doa restu.
3) Upacara Kematian
                   Dalam Upacara Kematian , setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu menyiramkan air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang tersiram air itulah yang digali untuk liang kubur. Mayat orang Tengger dibaringkan dengan kepala membujur ke selatan ke arah Gunung Bromo. Petang harinya keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan. Orang yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa, terbuat dari bunga dan dedaunan. Bespa diletakkan di atas balai-balai bersama berbagai macam sajian

E.      Interaksi Kepercayaan Orang Tengger dengan Agama-Agama lain
Sekarang ini agama Hindu makin berkembang di Tengger. Sebagian besar pemuka adat Tengger mendukung diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar. Maraknya revitalisasi Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama guru agama dari Bali tiba di Tengger. Rombongan ini membentuk kelas-kelas baru untuk anak-anak dan orang dewasa, dan mengajar generasi muda Tengger membaca doa-doa dalam bahasa Sansekerta.
Adapun pengaruh Agama Islam, Mulanya penduduk asli suku Tengger tinggal di pesisir pantai di Probolinggo dan Lumajang. Mereka tinggal di sana selama masa kerajaan Majapahit masih menganut ajaran agama Hindu, kemudian Islam mulai masuk di kerajaan Majapahit.lama kelamaan agama Islam mulai berkembang pesat di wilayah Suku Tengger karena keterbukaan dan kesenangan orang Tengger dengan kegiatan berdagang.[3]


Referensi

R.P. Suyono. Mistisme Tengger. PT LKIS Pelangi Aksara. 2009

https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger



[1] Diakses pada 21 April 2016 dari https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/
[2] Diakses pada 21 April 2016 dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/966/nilai-dan-pandangan-hidup-suku-tengger
[3]  R.P. Suyono, Mistisme Tengger, (PT LKIS Pelangi Aksara, 2009), h. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar