A. Asal-Usul Suku Toraja
Kepercayaan
aluk to dolo adalah kepercaayaan asli tanah toraja yang terletak kurang
lebih 300 km, disebelah utara ujung pandang, sulawesi selatan. Secara harfiah,
aluk artinya kepercayaan to artinya orang dolo artinya dulu jadi aluk todolo
artinya kepercayaan orang dulu atau kepercayaan peninggalan nenek moyang
DR.
C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat
Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk
(lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang
notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi
antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina
dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan
lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya
di daerah tersebut. Ketika
bangsa Bugis sekian lama berkembang di daratan Sulawesi, barulah mereka
mengetahui bahwa ada suatu penduduk yang bermukim di sekitar pegunungan, yang
memiliki budaya dan peradaban yang berkembang lebih lama dari kehadiran suku
Bugis di wilayah ini. Menurut cerita Bugis istilah Toraja mulanya diberikan
oleh suku Bugis Sidendereng dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk
daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di
negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang
artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa
kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya
orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja,
dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal
kemudian dengan Tana Toraja.[1]
B.
Pokok-Pokok
Ajaran Aluk To Dolo
Dalam konsep Ketuhanan, tidak berbeda dengan
konsep anemisme lainya, aluk to dolo mempercayai adanya kekuatan gaib pada
alam, iya berada dimana-mana, seperti dipinggir langit, ditepi laut, disungai,
dalam lapisan tanah, lapisan batu, didalam matahari, di hutan, di laut, di
poju, di tempat para arwah yang sudah meninggal.
Ajaran
Aluk Todolo,selain memuja dan menyembah
kepada Puang Matua juga memuja dan menyembah pula kepada Deata – Deata yang
mana Deata – deata ini terbagia atas 3 ( tiga ) golongan yang masing – masing
:Deata Tangngana Langi’( Sang Pemelihara di Langit ) yaitu Deata atau Dewa yang
menguasai seluruh isi langit dan cakrawala.
1
Deata Kapadanganna( Sang Pemelihara
Permukaan Bumi ) Yaitu Deata atau
Dewa
yang menguasai seluruh apa yangterdapat diatas muka bumi.
2
Deata Tangngana Padang( Sang Pemelihara
dibawah permukaan bumi atau didalam perut bumi ) yaitu Dewa atau Deata yang
menguasai segala isi tanah, lautan dan sungai.[2]
C.
Upacara
Keagamaan Masyarakat Toraja
Toraja sangat dikenal dengan
upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara dikenal 2 (dua) macam pembagian
yaitu Upacara kedukaan disebut Rambu Solo'.
Upacara
ini meliputi 7 (tujuh) tahapan,yaitu
:
a.
Rapasan
b.
Barata Kendek
c.
Todi Balang
d.
Todi Rondon.
e.
Todi Sangoloi
f. Di Silli'
g.
Todi Tanaan.
Upacara
kegembiraan disebut Rambu Tuka'.
Upacara
ini juga meliputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu
a.
Tananan Bua’
b.
Tokonan Tedong
c.
Batemanurun
d.
Surasan Tallang
e.
Remesan Para
f.
Tangkean Suru
g.
Kapuran Pangugan
Upacara
Pernikahan Suku Toraja
Pernikahan bagi
orang Toraja harus dengan restu kedua pasang orang tua, jika itu dilanggar maka
pria dan wanita yang menikah tersebut akan diasingkan atau tidak diakui sebagai
anak. Pada jaman dahulu pernikahan tentu belum seperti sekarang, pria dan
wanita belum bebas dan orang tua serta keluarga besar memegang kendali dalam
proses perjodohan tersebut. Perjodohan
atau pernikahan diawali dengan sebuah hantaran berinteraksi sirih dari keluarga
pria ke keluarga calon mempelai wanita. Ini sebagai langkah awal untuk
mengetahui apakah ada jalan untuk meneruskan ke jenjang berikutnya atau tidak.
Keluarga pria akan mengutus orang yang dipercaya untuk membawa sirih ke rumah
perempuan. Bila diterima dengan baik maka artinya keluarga pihak pria bisa
melanjutkan dengan acara lamaran.
Pelamaran
Pada waktu
melamar disebutkan tentang ganti kerugian yang nilainya juga akan disebutkan
pada upacara resmi perkawinan. Pembayaran tersebut dinilai dengan kerbau. Dalam
adat pernikahan orang Toraja tidak ada disebutkan tentang mas kawin, kecuali
jika sang wanita menikah dengan pria yang tidak disetujui orang tuanya. Si pria
harus membayar mas kawin yang terdiri dari:
1. Untuk wanita golongan puang 1-12
ekor kerbau.
2. Wanita golongan tumakaka 1-3
ekor kerbau.
3. Wanita golongan hamba 1 ekor
kerbau.[3]
D.
Interaksi Orang
Tanah Toraja Dengan Agama Lain
Injil yang disemai sejak 100 tahun silam di Tana Toraja telah memberikan
berkat melimpah bagi orang Toraja. Seperti dikatakan Jonathan L. Parapak,
“sebelum Injil masuk, suasana masyarakat Toraja tidaklah ramah. Ada jual beli
budak dan perebutan anak dimana-mana” jelasnya. Tapi dengan datangnya Injil,
terutama yang masuk melalui pendidikan, keadaan masyarakat berubah total.
Injil yang ditaburkan oleh GZB (Gereformerde Zendingsbond) di tana
Toraja tumbuh dan dibina selama 34 tahun lamanya. Paham Teologi GZB yang pietis
itu banyak mempengaruhi paham teologi warga Gereja Toraja, bahkan sampai saat
ini.[4]
Referensi
YAPAMA. Tabloid Reformata.
Yayasan Pelayanan Media Anthiokhia. 2013
http://bugismakassartrip.com/upacara-pernikahan-suku-toraja.html
http://asiantribal.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-asal-usul-suku-toraja.html
[1] Diakses pada 28 April 2016 dari http://asiantribal.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-asal-usul-suku-toraja.html
[2] Diakses pada 28 April 2016 dari http://toraja-culture.blogspot.co.id/2013/11/ajaran-percaya-dan-memuja-kepada-tiga-oknum-dalam-ajaran-aluk-todolo.html
[3] Diakses pada 28 April 2016 dari http://bugismakassartrip.com/upacara-pernikahan-suku-toraja.html
[4] YAPAMA, Tabloid Reformata, (Yayasan Pelayanan
Media Anthiokhia, 2013), h. 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar