Observasi Jepara
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang
Telah
kita ketahui bagaimana bentuk agama yang terdapat di pulau Jawa. Orang
jawa adalah orang yang berpenduduk asli jawa tengah dan jawa timur yang
berbahasa jawa atau orang yang bahasa jawa atau orang yang bahasa ibunya menggunakan
bahasa jawa. Jauh sebelum agama masuk, Jawa sudah mengenal adanya tuhan yang
sering disebut dengan “Gusti kang murbeng dumadi”, pada waktu itu sangat
percaya dengan tuhan yang maha esa dalam cangkupan kehidupannya seperti tradisi
dan upacara yang dilaksanakannya.
Seperti
yang di jelaskan Koentjaraningrat berikut menyebut religiusitas Islam Abangan
dengan istilah Agami Jawi dan Islam Santri dengan Agama Islam Santri.
Kategori ini nampaknya untuk membedakan dua varian religius dan bukan varian
sosial seperti santri, priyayi, dan abangan. Yang dimaksudkan Koentjaraningrat
dengan Agami Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha
yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai
agama Islam. Sementara itu, Agama Islam Santri lebih dekat pada dogma-dogma
Islam baku.3 Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi lebih bersifat
sinkretis karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Budha dan Islam (heterodoks).
Sementara Islam Santri lebih bersifat puritan karena mereka mengikuti ajaran
agama secara ketat (ortodoks).
B.
Rumusan Masalah
a.
Definisi Kejawen
Jepara di Desa Punden
b.
Tradisi sembah
Punden antara daerah pesisir dan pegunungan
c.
Kebudayaannya
C.
Tujuan
Tujuan disusunnya
makalah ini ialah agar mahasiswa dapat mengetahui dengan jelas tentang Kejawen
di pegunungan, tradisi sembah Punden di daerah pesisir dan pegunungan, serta kebudayaan-kebudayaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Kejawen Jepara di Desa Tubunan
Orang jawa adalah orang yang
berpenduduk asli jawa tengah dan jawa timur yang berbahasa jawa atau orang yang
bahasa jawa atau orang yang bahasa ibunya menggunakan bahasa jawa. Kepercayaan
ini disebut kepercayaan Kejawen. Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau agama
yang di anut di Pulau Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Awal
mula kejawen berasal dari sebuah kelompok kepercayaan-kepercayaan yang mirip
satu sama lain dan bukan sebuah agama yang terorganisir seperti agama islam
atau agama kristen.
Begitu juga dengan kepercayaan
kejawen yang berada di Jepara tidak jauh beda dengan itu. Jauh sebelum agama
masuk, di Jepara sudah mengenal adanya
tuhan yang sering disebut dengan “Gusti kang murbeng dumadi”, pada waktu itu
sangat percaya dengan tuhan yang maha esa dalam cangkupan kehidupannya. Bisa
disimpulkan bahwa jawa sudah mengakui tuhan sebelum agama masuk ribuan tahun
yang lalu, dan telah menjadi tradisi hingga saat ini yaitu Kejawen. Namun, lama
ini kejawen disana mulai terkikis dengan agama islam. Lebih tepatnya di lokasi
yang kami jadikan tempat observasi yaitu di desa Tubanan, di
Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara.
Berikut letak geografis dari desa
tersebut Berdasar letak geografis wilayah, desa Tubanan.
berada di sebelah utara Ibu kota Kabupaten Jepara. Desa Tubanan merupakan salah satu Desa di
Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara, dengan jarak tempuh ke Ibu kota Kecamatan 8
Km, dan ke Ibu Kota Kabupaten 26 Km, dan dapat ditempuh dengan kendaraan ± 40 menit.
Desa ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, timur dengan Desa
Balong; selatan dengan desa Kancilan dan desa Kaliaman di sebelah barat. Luas
wilayah daratan Desa Tubanan
adalah 1.751,77 Ha. Luas lahan yang
ada terbagi dalam beberapa peruntukan, dapat dikelompokan seperti untuk fasilitas
umum, pemukiman, pertanian, kegiatan ekonomi dan lain-lain. Secara administratif wilayah desa Tubanan terdiri dari 43 RT, 7 RW, dan 4 dukuh. Pedukuhan yang ada yaitu dukuh
Krajan meliputi RW 1; dukuh Timbul meliputi RW 2; dukuh Duren meliputi RW 3, 4,
dan 5; serta dukuh Sekuping meliputi RW 6 dan 7.
Gambar
1. Peta Desa Tubanan
B. Tradisi Sembah Punden di Daerah Pesisir dan
Pegunungan
Punden
adalah suatu tempat yang dipercaya berupa makam atau petilasan orang-orang yang
berpengaruh pada daerah tersebut. Mereka yang berdatangan ke punden tersebut
bertujuan melakukan ritual-ritual tertentu sebagai bentuk penghormatan pada Danyang
yang ada di Punden tersebut.
“Punden
dijadikan tempat untuk berziarah, bersemedi atau untuk bertafakkur, karena
tempat itu di yakini sebagai tempat yang sakral dan suci. Pada intinya
kegiatan-kegiatan itu juga menjadi suatu bentuk penghormatan pada sang leluhur”,
ujar pak Hendroyono, selaku pengurus dari padepokan Cakra Latifah di daerah
Klomosari.
Danyang
adalah Seseorang yang berkiprah di suatu desa atau tempat dengan menjadi orang
pertama (babat alas) atau tokoh spiritual yang disepuhkan yang meninggal atau
pernah berada di sana. Disini kita mengambil dua daerah yaitu desa Klomasari
merupakan daerah pegunungan, dan desa Tubunan di daerah pesisir. Namun, antara
dua daerah tersebut mempunyai anggapan yang hampir sama tentang pengertian punden
tersebut, yaitu kepercayaan terhadap makam yang dikramatkan dari danyang yang
diyakini di daerah tersebut.
“Danyang
oleh masyarakat sekitar selain menjadi orang yang berpengaruh di daerah
tersebut, mereka juga dipercayai sebagai Bawuh Rekso (yang menjaga) atau
sosok penguasa di suatu daerah”, ujarnya pak Hendroyono sebagai argumen penguat
penjelasannya.
Danyang
ada yang dari bangsa manusia dan ada yang berupa makhluk halus. Salah satu
contoh Punden-Punden ini bisa dilihat di Desa Tubanan di Jepara, banyak
makam-makam atau tempat keramat yang oleh masyarakat sekitar menjadikannya
Punden, seperti makam keluarga Mariyah, Komplek pemakaman
keluarga Ki Mariyah terletak di Rt 04 Rw 01 dukuh Krajan. Oleh masyarakat, ki
Mariyah adalah orang yang membabat tanah Tubanan.
Selain itu ada petilasan mbah kyai Agung
Alim yang konon dia adalah sosok tokoh
spiritual di daerah Tubanan. Punden mBah Kyai Agung Alim adalah
merupakan situs yang diyakini keramat oleh penduduk Tubanan. Situs ini meskipun
dibangun layaknya makam tetapi sebenarnya merupakan petilasan atau tempat
singgah. Kyai Agung Alim diyakini oleh masyarakat setempat sebagai waliyullah
yang menjadi waliyyul qoriyah atau tokoh spiritual religius bagi desa Tubanan.
Hari keramatnya adalah tiap hari senin pahing.
Gambar
1. Punden mbah Kyai Agung Alim
Namun,
disini ada tambahan pengertian tentang benduk punden Di daerah Ngelo berupa punden
makam Mbah Tengong. Ki Tengong atau Ki Tekong sebagai cikal bakal warga Ngelo
ujung barat dukuh Sekuping. Berikut bentuk makamnya
Gambar 2.
Punden Ki Tengong
Sedangkan
di Klumosari terdapat punden mbah Mendong. Beliau merupakan babat alas di desa tersebut. Selain itu ada
beberapa situs sejarah yang dikeramatkan oleh orang-orang desa Tubanan seperti
berikut:
1.
Belik Lanang
Belik sendiri mempunyai arti sumber mata
air, sedangkan lanang adalah laki-laki. Belik lanang merupakan
sumber mata air dibawah jembatan yang menghubungkan dukuh Krajan dengan dukuh
timbul pada daerah aliran sungai Kleprak/ kali Juwet. Belik ini dahulu
digunakan untuk mandi dan cuci serta mengambil air minum khusus penduduk
laki-laki.
2.
Belik Wedok
Lokasi Belik Wedok (wanita) berada sekitar 200 meter di
sebelah timur Belik Lanang pada daerah aliran sungai Kleprak. Sumber
mata air ini dulunya digunakan untuk berbagai keperluan mandi, cuci dan
sebagainya khusus kaum wanita. Dari adanya kedua belik tersebut mengandung
nilai filosofi budaya yang sangat tinggi yang mencerminkan masyarakat Tubanan
sangat menjunjung tinggi nilai kesoopanan terutama pergaulan pria dan wanita.
3.
Belik Tumpuk
Dinamakan Belik Tumpuk
karena mata air keluar dari sela-sela batu besar yang tersusun
bertumpuk-tumpuk secara alamiah. Sumber mata air ini untuk memenuhi kebutuhan
air rumah tangga dan irigasi pertanian. Letaknya di aliran sungai yang sama
dengan Belik Lanang dan Belik Wedok kisaran 350 meter sebelah timur Belik
Wedok.
Dari ketiga sumber mata air tersebut di masa Tubanan awal bisa
terpenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sehingga pada masa lalu keberadaan
ketiganya sangat dikeramatkan. Ini mungkin merupakan upaya para pendiri Tubanan
untuk melestarikan sumber daya alam mereka. Sangat terlihat hubungan yang
harmonis antara alam dan manusia.
C. Ritual Kebudayaannya
1.
Manganan
Manganan adalah salas satu tradisi
dalam aliran kejawen jepara yang merupakan suatu upacara rutinan
tiap tahun yang di lakukan di dekat makam Mbah Kyai Agung Alim, dengan
masyarakat berbondong-bondong datang ke makam membawa makanan di sana melakukan
do’a bersama untuk rasa berterima kasih atas mbah Kyai Agung yang telah
membabat alas desa tubanan, setelah berdoa bersama mereka memakan makanan yang
mereka bawa dengan tujuan membawa keberkahan dan kerukunan masyarakat setempat.
2.
Sedekah bumi
Sedekah bumi merupakan ritual adat
yang dilakukan oleh masyarakat desa Tubanan dan masyarakat di desa-desa lain.
Tubanan melaksanakan ritual sedekah bumi tiap hari Senin Pahing bulan Besar
(bulan Jawa). Bila di bulan Besar tidak dijumpai hari Senin Paing maka
pelaksanaan sedekah bumi pada hari Senin Pahing bulan Syawal.
Rangkaian acara sedekah bumi siang
hari diramaikan dengan pertunjukan tayub dan malamnya dengan pertunjukan wayang
kulit semalam suntuk dan satu minggu sebelum acara sedekah bumi dilakukan
dilakukan ritual manganan di punden. Selain itu pada tradisi sedekah bumi di
desa Tubanan setiap satu Windu ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu
menyembelih kebo bule atau kerbau bule. Berikut bentuk-bentuk dari acara
sedekah bumi:
a.
Sedekah Bumi
Dukuh Sekuping
Ritual
ini dilakukan seminggu setelah sedekah bumi desa Tubanan. Kegiatannya dilakukan
di dukuh Sekuping. Seminggu sebelumnya diadakan manganan di makam dukuh Sekuping.
b.
Sedekah Laut
Ritual semacam
sedekah bumi hanya lokasinya di pantai Bayuran. Seminggu sebelumnya diadakan
ritual manganan di punden mBah Suto di kampung Bayuran. Sedekah laut merupakan
ritual ungkapan nterima kasih dan syukur pada Yang Kuasa atas berkah rejeki dan
keselamatan yang dilimpahkan pada para nelayan.
c.
Bodo Apem
Bodo apem
merupakan ritual selamatan dengan hidangan kue apem. Dulu ritual ini dipusatkan
di Balai Desa dan di rumah-rumah Kamituwo. Ritual dilakukan pada bulan Apit
setiap tahun.
3.
Kenduren
Kenduren merupakan salah satu acara yang dilakukan
masyarakat tubanan dan sekitarnya ketika ada orang meninggal, menikah, lahirnya
bayi, atau khitanan dll. Pelaksanaan ritual ini dilakukan dengan cara orang
yang punya hajat mengundang para tetangga untuk berdoa bersama untuk kemudian
dihidangi makanan. Di tengah-tengah
kerumunan orang yang berdoa biasanya diberi sesajen beserta perlengkapanya yang
ditujukan untuk bangsa lelembut.
4.
Nyumpet
Nyumpet adalah ritual yang di
lakukan oleh sebagian orang kejawen Jepara. Ritual ini di lakukan ketika ada
upacara pernikahan, ritual ini biasanya dilakukan oleh tuan rumah dengan cara
menaruh guci-guci yang sudah diisi dengan syarat yang berlaku didesa tersebut
(biasanya berupa makanan hasil bumi) di sudut-sudut rumah. Hal ini dimaksutdan
agar makanan yang di sajikan kepada tamu tidak terasa banyak, karna guci yang
sudah berisi syarat-syarat juga mantra itu akan menangkal para apa-apa yang
ingin bermaksut jelek terhadap tuan rumah, termasuk mencuri makanan-makanan
yang sudah di sajikan.
5.
Metik
Metik adalah ritual yang di lakukan
ketika orang-orang kejawen mau melakukan panen padi dengan membawakan sesaji di
sawah untuk di persembahkan kepada Dewi Sri dan Mbah Dadu Ngawuh sebagai rasa
berterimakasih atas padi yang akan di panen dan atas penjagaan dari mulai
menamam sampai mau panen padi itu dari sesuatu yang tidak inginkan dari petani
tersebut.
Obvervasi Suku Kutai
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan penulisan
1.
Untuk
mengetahui sejarah dan asal-usul suku Kutai.
2.
Untuk
mengetahui letak geografis suku Kutai.
3.
Untuk
mengetahui upacara keagamaan suku Kutai.
4.
Untuk
mengetahui mitos-mitos suku Kutai.
5.
Untuk
mengetahui interaksi kepercayaan Suku Naulu dengan agama-agama lain.
1.3 Rumusan masalah
1.
Bagaimana
sejarah dan asal-usul
suku Kutai ?
2.
Bagaimana letak geografis suku Kutai
?
3.
Apa
upacara keagamaan suku
Kutai ?
4.
Apa Mitos-mitos dalam suku Kutai?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Asal Usul Suku Kutai dan Bahasa Kutai
Pada awalnya Kutai bukanlah nama
suku, akan tetapi nama Kerajaan/kota/wilayah tempat penemuan prasasti bukan
nama suku (etnis) dan hubungan kekerabatan Suku Kutai dan Suku Dayak sangat kuat. Hanya saja pengaruh agama Islam pada abad
ke-17 dan akulturasi pendatang yang menyebarkan agama Islam ( Sumatra, Cina,
Banjar, Jawa ) serta perang antar kerajaan ( Dinasti Kartanegara dari Majapahit
yang memenangkan peperangan melawan kerajaan Kutai Martadipura ) pada saat itu
mengakibatkan budaya Suku Kutai menjadi agak berbeda dengan Suku Dayak saat ini. Oleh karena itulah Suku Kutai asli akan
menyebut Suku Dayak dengan istilah Densanak
Tuha yang artinya Saudara Tua
karena masih satu leluhur.
Suku Kutai atau Urang Kutai adalah suku asli
yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang mayoritas saat ini beragama Islam dan hidup di tepi
sungai Mahakam. Orang Kutai
juga disebut Halok atau Halo’ karena orang kutai dahulu termasuk
masyarakat Dayak namun karna adanya Islam masuk maka masyarakat yang memeluk
agama Islam disebut Behalok (orang yang meningalkan adat). Jadi Halok panggilan yang membedakan
masyarakat Dayak pemeluk Islam dengan masyarakat Dayak yang tidak memeluk
Islam. Lambat laun masyarakat Halok mengganti
namanya menjadi Kutai.
Suku Kutai memiliki bahasa yang bermacam-macam dan
ada sub-sub suku yang sudah tidak digunakan seperti Umaa Wak, Umaa Palaa, Umaa Luhaat, Umaa Palog, Baang Kelo dan
Umaa Sam. Pada masa dahulu bahasa-bahasa itu lazim dituturkan
oleh urang Kutai hulu dan hilir mahakam. sementara bahasa yang sampai sekarang
masih digunakan yaitu bahasa kutai Tenggarong, Kutai Kota Bangun, Kutai muara
kaman dan Kutai Sengatta atau Sangatta.
2.2 Letak Geografis Suku Kutai
Masyarakat
Kutai bertempat tinggal di Kabupaten Kutai kartenegara yang merupakan sebuah
kabupaten di Kalimantan Timur, Indonesia. Ibu Kota berada di kecamatan
Tenggarong. Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah 27.263,10 KM2
dan
luas perairan sekitar 4.097 KM2 yang dibagi dalam 18 wilayah
kecamatan dan 225 desa atau kelurahan dengan jumlah penduduk 626.286 jiwa pada
sensus 2010. Secara geografis Kabupaten Kutai Kartanegara terlatak antara 115o
26’28” BT-117O 36’43” BT dan 1o 28’21” LU-1o 08’06”
LS.[2]
2.3 Upacara Adat Suku Kutai
1.
Pernikahan
Upacara pernikahan adat kutai ada beberapa tahap:
a.
Acara Bedatang
Pada acara ini pihak laki-laki melakukan kunjungan atau silaturahmi
kepihak perempuan dengan membawa uang seserahan (Sumahan) sekaligus
membicarakan waktu dan tempat yang tepat untuk melaksanakan pernikahan agar
mendapat keberkahan. Kedua keluarga ini saling berunding dan bertukar pikiran
untuk menemukan keputusan yang tepat bagi pernikahan putra dan putri mereka.
Biasanya calon pengantin laki-laki tidak dilibatkan dalam acara ini. Acara
seperti ini masih dilakukan oleh masyarakat suku kutai di Desa Teratak dan
belum ada perubahannya. Masih sama seperti yang dulu.
b.
Besorong Tanda
Pada acara ini keluarga pihak lelaki berkunjung lagi kepada
keluarga pihak perempuan dengan membawa cincin yang ditujukan untuk calon pengantin
perempuan dengan tujuan mengikatnya agar sang perempuan tidak lagi bisa dilamar
oleh lelaki lain karna sudah diikat dengan cincin tersebut walaupun belum
melaksanakan akad. Mungkin bahasa gaulnya sekarang adalah tunangan, namun tidak
bertukar cincin, Hanya menyerahkan bukti pengikat saja berupa cincin. Acara
besorong tanda ini juga masih dilaksakan masrarakat di Desa Teratak dan belum
ada perubahan-perubahan yang dilakukan.
c.
Beluluran,
Betimung dan Bepacaran
Acara yang ini biasanya dilakukan oleh pengantin perempuan kecuali
berpacaran. Bepacar adalah terdiri dari daun pacar yang ditumbuk halus dan
diberi bentuk bundar seperti bentuk kelereng dan diletakkan di ujung jari atau
kuku telunjuk dan ujung jari atau kuku jari manis pada masing-masing mempelai.
Pacar mempelai wanita maupun laki-laki ditempatkan pada wadah tradisional
kemudian dipertukarkan dan diarak pada mempelai masing-masing yang berada di
rumah masing-masing dengan dalam keadaan mempelai wanita maupun laki-laki duduk
di atas tilam kasturi.
Makna upacara berpacar ini
ialah sebagai kelengkapan penghias pada acara naik pengantin dan sebagai tanda
bahwa mempelai wanita maupun laki-laki ini pengantin baru. Biasanya acara ini
dilakukan berturut-turut 3 sampai malam atau 1 malam saja.Beluluran yang
dipakai adalah bedak dingin (Pupur basah) yang dicampur dengan temu giring
(tumbuhan sejenis kunyit yang berwarna kuning) dengan tujuan agar kulit
pengantin perempuan akan bercahaya kuning sekuning langsat. Acara betimung ini
merupakan acara pembungkusan diri yang dilakukan dengan cara duduk diatas
tungku yang dibawahnya berisi rebusan rerempahan berupa laos, serai wangi dan
sebagainya dengan menggunakan sarung lalu tubuh kita akan ditutup dengan kain
lagi atau apa saja yang bisa dijadikan penutup hingga kepala agar uap yang
dikeluarkan dari bawah tidak akan lari kemana-mana.
d.
mendi-mendi
upacara mendi-mendi ini ialah dimana mempelai disiram atau
dimandikan dengan air bunga-bunga yang sudah disiapkan. Bagi mempelai wanita
yang menyiram oleh para wanita dari sesepuh keluarganya dan begitu pula
mempelai laki-laki
e.
Bealis
menurut keyakinan masyarakat suku kutai bahwa setiap wanita yang
akan menikah harus dicukur alisnya agar wajahnya berubah atau menimbulkan
cahaya yang cantik sehingga orang akan melihat perubahan itu pada
wajahnya. makna upacara ini ialah untuk mendapat berkah dari orang tua dan
kedua memperindah dan mempercantik diri untuk jenjang pernikahan ini.
f.
Naik pengantin
atau Betatai
Upacara naik pengantin merupakan upacara puncak dalam adat Kutai
yang terdiri dari:
1.
mengarak pengantin pria yang diiringi oleh
para keluarga dan membawa sumahan yang diiringi lantunan rabbana menuju ke
tempat pengantin wanita
2.
Sampai ditempat
kediaman pengantin wanita meengucapkan shalawat nabi dan di hamburkan beras
kuning sebagai rasa syukur menerim pengantin pria.
g.
Naik mentuha
Makna upacara naik mentuha ialah rasa patuh dan sayang pada orang
tua serta mohon doa restu dan sebagai tanda kedua mempelai sudah siap pada
kehidupan selanjutnya.[1]
2.
Upacara
Kematian
Untuk upacara kematian suku Kutai seperti pada umumnya dimandikan,
disholatkan lalu dikuburkan namun upacara kematian untuk kerajaan sangat khusus
dan tertutup sehingga upacara kematian Kerajaan hanya bisa di hadiri oleh para
keluarga raja.
3.
Upacara Erau
Kesultanan Kutai pernah
mengembangkan suatu tradisi penobatan raja yang disebut Erau. Nama upacara ini
berasal dari kata eroh yang berarti "ramai", hal ini berkaitan dengan
keriuhan suasana pada waktu penobatan raja berlangsung. Walaupun kesultanan itu
sudah tidak ada lagi, tetapi tradisi Erau masih dilakukan oleh keturunan
bangsawan Kutai dengan mengalihkannya menjadi Festival kebudayaan rakyat Kutai,
sekaligus perayaan hari jadi Tenggarong. Erau dilakukan setahun sekali yang biasanya pada
bulan Juni dengan kurun waktu acara 7 hari. Ada beberapa tahap acara erau,
yaitu :
1. H-1 acara pada malam hari ditembakkan meriam sebanyak
satu kali, dan ketika hari pertama acara malamnya ditembakkan sebanyak dua
kali, haru kedua acara malamnya ditembakkan sebanyak 3 kali begitu seterusnya
hingga 7 kali meriam yang menandakan malam terakhir upacara Erau ini.
2. Beluluh Sultan
Acara di dilakukan di Teras Keraton, beluluh dilakukan
agar Sultan Kutai bersih dari unsur-unsur jahat. Ritual ini dilakukan besmaa
dewa-dewa dan beliannya. Dewa-dewa ini biasanya wanita memakai baju berwarna
kuning dan beliannya laki-laki dengan hiasan bentuk segitiga di kepala, hiasan
rambut panjang dan juga telanjang dada.
Proses acara ini para belian yang membaca
mantra atau dalam bahasa kutai Bememang. Bememang berisi doa-doa para
belian untuk memohon keselamatan bagi Sultan Kutai. Setalah ini barulah
para abdi menggelar tikar dan beras tambak karang yang berwarna-warni, biasanya
masyarakat kutai berdatangan ke Teras Keraton karena mereka percaya bahwa beras
tambak yang telah digunakan Sultan lalu disimpan bisa mendapatkan berkah dan
keberuntungan.
3. Menjamu Benua
Di acara
ini lah para Kerajaan memberi makan kepada makhluk gaib yang ada diseluruh
Kutai Kartanegara, sekaligus memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar sultan
serta kerabatnya diberi keselamatan, dan juga berdoa untuk seluruh masyarakat
Kutai. Ritual ini juga sebagai memohon
izin kepada para makhluk gaib bahwa masrakat Kutai ingin melaukan Upacara Erau.
4. Tari-tarian
Acara
selanjutnya acara dimana masyarakat Kutai disuguhi tarian-tarian yang sangat
meriah dan diakhiri penyalaan obor sebagai simbol upacara Erau telah dibuka.
Dihari-hari berikutnya yang disuguhi festisal dan expo yang meriah.
5. Behimburan
Behimburan merupakan acara terakhir yang sangat ditunggu-tunggu
masyarakat Kutai, dimana ketika suling di tiupkan yang biasanya pada pukul
09.00 maka saat itulah behimburan dimulai. Behimburan yakni acara diamana
masyarakat Kutai keluar rumah dan menghimbur atau menyiram satu sama lain
dengan air bersih atau air dari sungai mahakam yang bermakna sebagai pembersih
diri masyarakat Kutai.
2.4 Mitos-mitos Kepercayaan Suku Kutai
Sebagaimana suku lain suku Kutai juga mempunyai mitos-mitos
kepercayaan yang unik, yaitu :
a.
Hiduplah
seorang petinggi Jaitan layar dengan istrinya tinggal disebuah gunung, ditempat
dimana mereka membuka sebuah kebun untuk keperluan hidup sehari-hari. Puluhan
tahun mereka hidup sebagai suami-istri, namun dewa d kayangan belum juga
menganugrahkan seorang anak pun sebagai penyambung dari keturunan mereka untuk
memerintahkan negri Jaitan layar ini, sering petinggi Jaitan Layar bertapa
bersama istrinya, menjauhi rakyat dan kerabatannya, memohon kepada dewata.
Pada suatu malam, ketika mereka sedang tidur dengan nyinyaknya
terdengar suara diluar yang begitu gegap gempita hingga menyentakan dari tidur
peraduan, mereka pun bangkit dan membuka pintu untuk melihat apa gerangan yang
terjadi diluar rumah. Nampaklah sebuah batu besar yang melayang dari udara
menghempas ke tanah di depan mereka, suasana mlam yang tadinya gelap gulita
kini menjadi terang benderang seakan-akan bulan purnama sedang memancar.
Terkejut melihat batu dan
alam yang terang benderang itu, petinggi beserta istrinya segera kembali masuk
ke dalam rumah serta menguncinya dari dalam, mereka mendengar suara yang
menyerunya “sambut mati babu. Tiada sambut mati mama” sampai tiga kali
suara ini didengar oleh Petinggi Jaitan Layar, dan akhirnya dengan rasa cemas
dijawabnya juga”Ulur mati lumus, tiada diulur mati Lumus” jawab si
petinngi dan terdengarlah gelak tawa dari luar rumah dan berkata “ barulah
ada jawaban dari tutur kita” mereka yang diluar rumah itu agaknya sangat
gembira sekali, karena tutur katanya mendapat jawaban.
Petinggi Jaitan layar tidak merasa takut lagi kemudian keluar
bersama istrinya mendatangi batu itu yang ternyata adalah sebuah raga emas,
raga meas itu lalu dibuka dan betapa terkejutnya petinggi beserta isinya
tatkala melihat didalamnya terdapat seorang bayi yang diselimuti lampin
berwarna kuning, tangan sebelahnya memegang sebuah telur ayam dan sebeahnya
memegang kris dari emas. Pada saat itu, menjelmalah 7 dewa yang telah
menjatuhkan raga emas itu, mereka mendekati Petinggi Jaitan Layar dengan muka
yang gembira, memberi salam dan salah
seorang dewa itu menyapa petinggi “berterimakasihlah kepada dewata karna
doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak, meskipun tidak melalui rahim istrimu.
Bayi ini adalah turunan dewa-dewa, karna itu jangan dipelihara seperti anak
biasa” .
Dewa ini juga berpesan agar bayi keturunan dewa ini jangan
diletakkan disembarang tikar, tetapi selama 40 hari 40 malam bayi ini harus
dipangku berganti-ganti oleh para kerabat petinggi. Dan bilamana engkau
memnadikan anak ini, maka janganlah dengan air biasa, asalkan tetap diberi air
yang sudah diberi bunga wangi. Anak
inilah yang diberi nama Putri Karang Melenu yang konon wanita yang sangat
cantik pada zamannya. Dan si Putri Karang Melenu ini adalah Istri dari Aji
batara Agung Dewa Sakti yang merupakan raja pertama di Kerajaan Kutai
Kartanegara.
b.
Kepuhunan
Kepuhunan ialah dimana seseorang yang menginginkan sesuatu atau
belum melaksanakan sesuatu akan tertimpa celaka. Maka jika kita ingin sesuatu
tetapi belum bisa mendapatkannya maka masyarakat kutai percaya agar tidak
terjadi kepuhunan atau tertimpa celaka itu dengan cara menjilat jari telunjuk
tangan kanan lalu jari tersebut menempelkan jarinya di leher.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari data observasi kita adalah adanya
kepercayaan Punden di daerah Tubanan, dan Klumosari. Maksut kepercayaan itu adalah
kepercayaan kepada makam-makam yang memang dianggap mereka penting, dengan
istilah dayang. Selanjutnya disana terdapat beberapa kebudayaan, diantaranya
Manganan yaitu salas satu
tradisi dalam aliran kejawen jepara yang merupakan suatu upacara rutinan
tiap tahun yang di lakukan di dekat makam Mbah Kyai Agung Alim, sedekah bumi,
kenduren, nyumpet, dan metik.
Selanjutnya
langsungnyambung dengan suku Kutai di daerah Kalimantan, suku kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang mayoritas saat ini beragama Islam dan hidup di tepi
sungai Mahakam. Orang Kutai juga disebut Halok atau Halo’ karena
orang kutai dahulu termasuk masyarakat Dayak namun karna adanya Islam masuk
maka masyarakat yang memeluk agama Islam disebut Behalok (orang yang
meningalkan adat).
Disana
terdapat upaca yang unik dan meriah yaitu upaca Erau, selain itu terdapat
keunikan tahapan upacaranya seperti di pernikahan dan kematian.
B. Saran
Makalah
ini hanya mengambil sebagian kecil dari apa yang kita bahas. Maka dari itu di
sarankan buat pembaca supaya lebih mendalami dari tulisan-tulisan lain agar
bertambah dalam kepahaman dan ilmu yang didapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kutai_Kartanegara pada tanggal 11 mei 2016.
[2]
Diakses dari http://www.wacananusantara.org/suku-kutai/
pada tanggal 10 mei 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar