Kamis, 02 Juni 2016

Makalah Kelompok Trunyan

MAKALAH
AGAMA TRADISIONAL ORANG TRUNYAN DI BALI
Disusun Guna Memenuhi Tugas Agama-Agama Lokal
Dosen Pengampu: Siti Nadroh, M.Ag

Disusun Oleh:
Shabrina Ghaisani       11140321000051
Maulaya Arinil Haq     11140321000085
Moh. Fauzan Chair       11140321000054






JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN (UNIVERSITAS ISLAM NEGERI) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016



KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kita kehadirat Allah Swt atas segala rahmat dan karunia-Nya hingga makalah ini dapat diselesaikan. Kami mencoba mengumpulkan beberapa data dan berusaha merangkaikan bahan-bahan temuan kami menjadi sesuatu yang layak untuk dijadikan bacaan dalam mata kuliah Agama-agama Lokal  ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan.Oleh karena itu kami megharap kritik dan saran dari teman – teman, serta pembaca yang bersifat membangun agar lain waktu kami dapat mengahasikan makalah yang lebih sempurna.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya. Atas perhatianya diucapkan terimankasih.


Penyusun,

Ciputat, 16 Maret 2016







DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................................... 2         
Daftar Isi................................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 4
A.    LatarBelakangMasalah.............................................................................................. 4
B.     RumusanMasalah....................................................................................................... 4
C.     TujuanPenulisan......................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 5                                  ...............................................................................................................................................                                     ...............................................................................................................................................                                     ...............................................................................................................................................                                     5
A.      AsalUsulSukunTrunyan............................................................................................. 5
B.       Mite, Adatkebudayaandan Ritual.............................................................................. 6
C.       Religi, TempatdanUpacaraKeagamaan...................................................................... 7
D.      UpacaraKematiandanPemakamanTrunyan................................................................ 13
E.       InteraksiKepercayaan orang Trunyandengan Agama-Agama Lain........................... 16       

BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 19
A.    Kesimpulan................................................................................................................ 19
B.     Saran.......................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 20





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Trunyan terletak di dalam sutu kepundan gunung berapi purba, yang telah meletus beberapa ribu tahun yang lalu. Gunung berapi itu ialah gunung Batur Purba. Sebagian dari lubang kepunden itu kemudia berisi dengan air, dan sekarang berubah menjadi danau, yang bernama Danau Batur. Disebelah barat kepundan danau tersebut, tumbuhlah gunung yang tingginya mencapai 1717 meter, yang kini dikenal dengan nama Gunung Batur.
Trunyan tepatnya terletak disebelah pantai timur Danau Batur, dan di sebrang Gunung Batur. Desa ini berawal dari kisah Raja Solo yang bertahta di Surakarta, yang mempunyai satu anak prempuan dan tiga laki-laki. yang  suatu hari menghirup aroma wangi yang sangat tajam, hingga beliau memutuskan untuk mencari asal wangi itu, hingga sampailah di  desa Trunyan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Asal-asal suku Trunyan Bali Aga
2.      Mite, Adat kebudayaan dan Ritual
3.      Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan
4.      Upacara kematian dan Pemakaman Trunyan
5.      Interaksi Kepercayaan orang Trunyan dengan agama-agama lain

C.    Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini ialah agar mahasiswa dapat mengetahui dengan jelas tentang asal usul Trunyan, mite, adat kebudayaan, ritual, tempat dan upacara kematian, serta bagaimana pemakamannya dan interaksi kepercayaannya kepada agama-agama lain.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Asal Usul suku Trunyan atau Bali Aga


1.      Menurut Para Ahli

                        Menurut penelitian oleh Jemes D, untuk mengetahui sejarah Desa Trunyan sulit sekali. Semua itu disebabkan karena peninggalannya berupa tulisan yang hanya berupa beberapa prasasti, yang kini disimpan di pelinggih (bangunansuci tempat persemayaman dewa). Desa Trunyan, Kedisan, dan desa Abang Dukuh ketiga desa ini terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupateng Bungli Provinsi Bali. Terkait dengan tiga desa tersebut karena mempunyai cerita yang runtut dalam pembentukannya, yang di ceritakan dari pengembaraan empat orang putra Raja Surakarta ke Bali untuk mencari bau harum yang menyengat. Namun disini akan lebih dijelaskan bagaimana desa Trunyan di Provinsi Bali tersebut.[1]
                        Trunyan berasal dari kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan menyan berarti wangi atau harum,yang sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi perkuburan adat masyarakat Trunyan. Pohon ini dipercaya mempunyai wangi yang semerbab yang membuat jenazah-jenazah yang diletakkan di sekitar pohon tersebut tidak mengeluarkan bau menyengat. Semuai itu dimulai dari kisah dahulu di kerajaan Surakarta di pulau jawa, tercium bau harum yang berhasil menarik perhatian dari 4 bersudara, pangeran dan putri kerajaan Surakarta. Bau harum tersebut telah berhasil menarik perhatian 4 bersaudara tersebut untuk memutuskan pergi mengembara, mereka terdiri dari 3 orang pangeran dan 1 orang putri.[2]
                        Waktu sampai di Kaki Gunung Batur, sang Putri bungsu tertarik dengan tempat tersebut dan memutuskan untuk tinggal disana. Meski perjalanan untuk menuju tujuannya baru setengah perjalanan, namun keinginan itu disetujui oleh para kakak-kakaknya. Selanjutnya sang putri pindah ke lereng gunung batur sebelah timur dan memiliki gelar Ratu Ayu Mas Marketeg. Kemudian ketiga saudaranya melanjutkan perjalanannya. Hingga suatu ketika mereka sampi di dataran bernama Kedisan, mereka mendengar suara burung yang merdu. Mendengar suaru burung ini, pangeran ketiga sangat kegirangan. Namun, pangeran pertama ternyata tidak menyukainya. Maka diperintahkannya pangeran ketiga untuk berdiam diri di tempat tersebut. Ketika pangeran ketiga menolak, pangeran sulung marah dan menendangnya hingga jatuh dalam posisi duduk bersila dan berubah patung. Patung tersebut diberi nama Patung Bathara Dewa yang sekarang masih ada di wilayah Kedisan dengan bentuk aslinya yang masih duduk bersila.
                        Setelah itu kedua pangeran yang tersisa melanjutkan perjalanannya hingga sampai ke sebuah dataran, dimana mereka bertemu dengan dua orang gadis yang cantik. Sang pangeran kedua kemudian menyapanya, melihat ini pangeran pertama kembali marah dan memerintahkan untuk tinggal di tempat itu, pangeran keduapun menolak, dan kemudian pangeran pertama menyepak adiknya hingga jatuh tertelungkup dan kemudian ditinggalkan, disebutkan sang adik kemudian menjadi kepala desa di tempat, kemudian disebut dengan Desa Abang Dukuh. Dukuh sendiri merupakan istilah dalam bahasa lokal yang berarti telugkup.[3]
                        Pangeran pertama akhirnya melanjutkan perjalanannya seorang diri, dan akhirnya menemukan sumber harum yang berasal dari pohon Taru Menyan. Di bawahnya ia melihat seorang Dewi yang sangat cantik jelita. Kemudian sang pangeran pun jatuh cinta dan berniat untuk melamar sang Dewi. Lamaran akan di terima dengan syarat pangeran mau menjadi pemimpin desa tersebut. Akhirnya pangeran itu diberi gelar Ratu Sakti Pancering Jagat, sedangkan istrinya diberi gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar sejak itu, desa Trunyan akhirnya berkembang menjadi kerajaan kecil. Kemudian untuk melindungi kerajaan yang tertarik dengan bau harum pohon Taru Menyan, Ratu Sakti Pancering Jagat memerintahkan untuk tidak menguburkan mayat, namun diletakkan saja di bawah pohon Taru Menyan hingga membusuk. Sejak saat itu pohon itu sudah tak tercium bau harum lagi, dan jenazah-jenazah tersebut tidak mengeluarkan bau busuk.[4]
2.      Menurut Legenda
                        Ada beberapa informasi tentang asal-usul Desa Trunyan yang terdapat dari legenda, berikut beberapa legenda yang dapat kita temukan datanya.
a.       LegendaMengenai Pasek Trunyan Yang Menyelewengkan Gamelan Pemberian Dalam Solo
Dalam Solo memiliki putra yang memerintah di Tirta Empul, Tampak Siring. Suatu ketika, putra tersebut pergi ke Majapahit untuk meminta dibuatkan seperangkat Gamelan. Oleh ayahnya permintaan itu dikabulkan dan dijanjikan akan dikirim ke Tirta Empul setelah selesai dibuatnya nanti. Setelah mendapat janji itu, ia pulang ke Tirta Empul.
Kabar ini terdengar oleg Donta (Da Tonta atau Ratu Sakti Pancering Jagat) . Berubung Donta juga ingin memiliki seperangkat gamelan, maka ia mengutus pembantunya yang disebut Pasek Trunyak untuk pergi ke Majapahit. Permohonannya juga dikabulkan Dalem Solo. Karena kebetulan ada utusan dari Bali ini, maka Dalem Solo menitipkan gamelan yang diperuntukkan putranya di Tirta Empul kepada Pasek Trunyan. Berhubung gamelan untuk Donta belum selesai, maka sebagai oleh-oleh, Donta diberi sebuah labu kuning yang katanya berisi kerbau-kerbau hidup.[5]
Dalam perrjalanan ke Tirta Empul, setibanya di Mengwi, tiba-tiba timbul keinginan Pasek trunyan untuk melihat kerbau-kerbau yang katanya berada di dalam buah itu, karena dalam hatinya ia tidak percaya bahwa kerbau yang ukuran tubuhnya beberapa kali lebih besar dari buah labu kuning, dapat dimuat dalam buah tersebut. Dorongan hatinya membuat dia membelah buah itu dan memang benar dari dalam buah berukuran biasa itu , kemudian keluar beberapa kerbau hidup dengan ukuran normal. Kejadian ini sangat mengejutkan Pasek Trunyan. Dengan amat menyesal ia berusaha menangkap kembali ternak itu, tapi tidak berhasil. Dalam keadaan putus asa datang seseorang dari tempat itu dengan kata-kata “biar saja kerbau-kerbaumu itu tetap berada di tempat saya ini. Bila kelak engkau memerlukannya untuk upacara Odalan(Upacara memperingati dewa), engkau beserta orang-orang Trunyan boleh datang kemari untuk mengambil salah seekor daripadanya.” sesudah mendapatkan janji itu, Pasek Trunyan dapat meninggalkan tempat itu dengan tenang. Namun karena terjadi peristiwa itu, ia tak lagi berkeinginan untuk pergi ke Tirta Empul, melainkan langsung pulang ke Trunyan. Untuk mendamaikan hati Tuannya, gamelan yang seharusnya diperuntukan putra Dalem Solo di Tirta Empul, diserahkan kepada yang memerintah di Trunyan.[6]
Karena lama sekali gamelan itu tak kunjung tiba, maka Raja Tirta Empul pergi sendiri ke Majapahit untuk menanyakan hal itu ke ayahanda. Karena itu Dalem Solo mengetahui penyelewengan itu. Peristiwa ini membuatnya marah sekali, sehingga dengan didampingi putranya Tirta Empul, ia menuju ke Trunyan. Dalam pengusutan, Pasek Trunyan tidak mengakui bahwa ia telah menyelewengkan alat-alat musik tersebut. Menurutnta gamelan itu telah terjatuh ke Danau Batur. Karena mengetahui pegawai putranya yang di Trunyan tidak jujur, Dalem Solo menjadi semakin geram. Karena murkanya, dikutuknya Pasek Trunyan agar tidak dapat mempunyai keturunan. Dan karena menurutnya Donta menyetujui perbuatan bawahannya, maka ia juga dikutuk, yaitu keturunannya pada setiap tahun menjelang Saba Gede (pesta besar untuk memperingati hari ulang tahun Donta) pada Purnama Kapat, (Purnama Keempat) harus pergi ke tempat-tempat di luar Desa Trunyan untuk melakukan pekerjaan hina yang bersifat setengah mengemis stengah barter, yang disebut Murub. Karena kutukan ini, sampai sekarang keturunan Donta, yaitu Penduduk Trunyan, sebulan menjelang Purnama Kapat, yaitu pada Sasih Ketiga (bulan ketiga Bali, kira-kira pada bulan September)nharus melakukan pekerjaan hina itu. Gamelan tersebut pada dewasa ini tinggal berupa sepasang gong yang bernama Madusara dan Madusari.[7]
B.       Adat Kebudayaan dan Ritual
1.      Adat Kebudayaan di suku Trunyan
Berikut data yang dapat kami paparkan tentang beberapa adat kebudayaan yang terdapat di suku Trunyan. Sebagai berikut:
a.       Proses Kelahiran
Dalam masyarakat truyan seorang wanita yang sedang mengandung mendapat berbagai larangan seperti larangan mengejak orang cacat tubuh dan wanita yang mengandung juga tidak diberikan perlakuan istimewa meskipun kandungannya sudah membesar. Pada masyarakat truyan bali pada umumnya kelahiran seorang anak adalah urusan laki-laki. Dukun beranak di truyan adalah laki-laki sehingga pada masyarakat truyan pada saat perempuan melahirkan yang membantu dukun bayi adalah ayah dari bayi tersebut dan ada sebuah lubang dangkal yang beralaskan tikar pandan,tempat menampung darah, ari-ari, tali pusar dan air tembuni yang akan keluar sebelum dan sesudah si anak lahir dan menurut adat truyan selama ari-ari belum keluar,tali pusar yang menghubungkannya dengan si bayi tidak boleh dipotong dahulu, karena menurut kepercayaan, jika dipotong tali tersebut akan dapat tertarik masuk kembali kedalam rahim si wanita.
Kemudian setelah bayi dan ari-ari keluar, para wanita yang berada didalam maupun diluar rumah baru ribut kian kemari untuk mengambil air hangat dan rempah-rempah. Setelah sisa tali pusat yang masih menempel pada pusat sibayi di ikat dengan benang,barulah seluruh tubuh sibayi di kuatbersihkan dari bekas darah ibunya dan setelah selesai dimandikan anak segera diberi makanan,yang terdiri dari kemiri mentah yang telah dikunyah lembut oleh salah seorang keluarganya. Setelah melahirkan,si ibu diperbolehkan pindah keatas tempat tidurnya,tetapi belum diperbolehkan membaringkan diri,melainkan masih diharuskan tetap berada dalam posisi duduk,katanya untuk menjaga agar yeh nyem yang masih belum keluar seluruhnya tidak mengalir dalam kepalanya,sehingga menyebabkan kematian.[8]
 Tugas balian tekuk dan ayah sang bayi belum selesai karena mereka harus mengurus “empat saudara” si bayi dengan cara mengambil sebuah tempurung kelapa, yang telah dibelah menjadi dua, dan yang tadinya dipergunakan untuk mengisi boreh si bayi kemudian tempurung itu ditutup dengan bagian tempurung yang sebelah lagi,dan diikat dengan daun lontar kering.dan setibanya di tantan bumi,ia memilih salah satu tanaman semak disana,dengan cabang yang kuat,yang disebut lanting landa (lantana). Pada cabang itu ia gantungkan nyampat bayinya. Namun untuk mengerjakan hal ini,ia harus berhati-hati sekali menjaga jangan sampai ikatanya dapat segera terlepas,karena hal itu dapat menyebabkan kematian bayinya.[9]
 Upacara tutug telu upacara ini sering disebut dengan nama rerebu, upacara ini diadakan tiga hari sejak kelahiran seorang bayi. Upacara ini harus dilakukan pada malam hari yaitu sesudah pukul 20.00 yang memimpin biasanya balian tekuk yang membantu sianak sewaktu dilahirkan,tetapi jika ia sedang sibuk boleh digantikan dengan seorang pedulu yang dapat memimpin upacara dan tempat upacara diatas tempat tidur (amben) keluarga bayi tersebut agar bayi terhindar dari roh jahat setelah upacara tutug telu dilakukan ayahnya baru diperbolehkan potong rambut. Suatu hal yang menjadi larangan selama istrinya mengandung yaitu ayahnya tidak boleh memotong rambutnya.
Upacara Tutug Wolu upacara ini diadakan pada waktu bayi berumur delapan hari. Upacara ini hanya upacara kecil saja karena hanya membuat tanda (pinget) yang terdiri dari tiga buah ketupat dan tiga buah bantal. Yaitu semacem lepet atau ketan yang dibungkus dengan daun kelapa muda yang dililitkan sehingga berbentuk bantal.upacara ini sebenarnya ditunjukan kepada dewa penjaga si bayi yang disebut empu rare itu,karena pingit tersebut diletakan di pelangkidan. [10]
Upacara tutug Dwadasa upacara ini diadakan pada waktu seorang bayi telah berusia dua belas hari. Pada hari kedua belas itu,pagi-pagi sekali sewaktu hari masih gelap,sianak digendong keluar rumah oleh ibunya untuk mencari damu (embun) dan pada upacara ini cuping telinga si anak dilubangi dengan bulu landak yang seperti duri itu,dan setelah itu untuk pertama kalinya ia boleh diperlihatkan matahari setelah selama ini ia dilarang keras keluar rumah pada siang hari. Pelubangan cuping pada masyarakat truyan berlaku pada semua jenis kelamin.
Upacara Tutug bulan pitung dina diadakan sesudah bayi berusia 42 hari. Upacara ini bulan pitung dina atau satu bulan tujuh hari,karena satu bulan di trunyan adalah 35 hari sehingga ditambah tujuh hari menjadi 42 hari. Setelah itu si anak lalu dimandikan.setelah mandi ia dibawa naik lagi keatas tempat tidur dan disana ia dikalungkan dengan kalung terbuat dari benang tukel dan liontin terbuat dari dua uang kepeng dan kemudian dikenakan pakaian baru untuk pertama kalinya, karena sebelumnya sejak lahir ia hanya dikenakan pakaian bekas saja.
Upacara tutug telu bulanan. Upacara ini diadakn sewaktu anak telah berusia tepat tiga bulan. Upacara ini diadakan pada malam hari, dengan sajian yang termasuk besar, yakni banten tetek sari.[11]
Upacara Tutug enem bulanan. Upacara ini disebut otonan dan upacara ini dilakukan setelah anak berusia dua ratus sepuluh hari upacara ini termasuk upacara besar karena,jalannya upacara ini hampir sama seperti upacara tutug telu perbedanya pada saat tutug bulanan hanya tangan kanan saja yang diberi gelang namun pada upacara enam bulanan kedua pergelangan tangan si bayi diberi gelang yang terbuat dari benang tukel. Kecuali itu pada upacara ini juga ada upacara tambahan (upacara ayapan) dilakukan dengan maksud mengumpulkan semua tenaga-tenaga yang telah terpencar-pencar,agar dapat terkumpul kembali. Bersamaan itu roh sibayi juga diminta untuk berkumpul.[12]
Upacara Tutug dua dasi bulanan. Upacara ini diadakan sewaktu anak menginjak usia dua belas bulan,dan disebut upacara pengeroras. Jalannya upacara tutug dua dasi bulanan ini sama dengan upacara metelu bulanan, atau otonan (tutug enem bulanan). Setelah upacara tutug dua dasi bulanan ini, maka pada setiap enem bulanan sepanjang hidupnya, dan enam bulan pertama setelah ia meninggal,seorang trunyan akan diupacarakan dengan suatu upacara yang disebut otonan.
 Upacara Otonan. Pada upacara ini yang paling penting adalah upacara Ayapan, yaitu untuk mengumpulkan semua tenaga hidup dan juga empat “saudara” (nyama pat) si bayi, yang menurut anggapan orang Trunyan selama itu sudah ada yang berkeliaran ke tempat lain. Semua upacara diatas merupakan upcara untuk menjaga keselamatan si bayi agar dapat tumbuh dengan subur, tetapi jika tidak dapat tercapai orang Trunyan juga tidak putus asa karena itu sudah menjadi kemauan jiwa anak itu sendiri, yang ternyata tidak betah dan hanya mau singgih saja pada keluarganya.[13]     
b.         Bentuk Perkawinan
Dalam adat Desa Trunyan, perkawinan mesti melalui beberapa tahapan diantaranya melakukan upacara di pinggir Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.Upacara yang dikenal dengan siraman atau "melukat" itu bertujuan untuk membersihkan diri para penganten, sehingga mereka bisa hidup damai dan sejahtera. Pada saat upacara, salah seorang pemimpin upacara yang ditunjuk yakin Jero Mangku Puji Nyarikan menyelesaikan upacara. Menariknya, usai siraman sejumlah sesajen yang telah usai dipergunakan dibuang ke danau dan menjadi bahan perebutan bagi anak-anak.Sebelum sesajen di lemparkan ke danau, anak-anak sudah bersiap-siap untuk menceburkan diri.Kemudian setelah terlempar, satu persatu anak langsung terjun untuk mengambil sesajen seperti makanan, buah-buahan dan uang yang dibuang ke danau.
Selanjutnya, setelah melaksanakan pembersihan, kedua mempelai melanjutkan upacara.Pada ritual kali ini mempelai melakukan persembahyangan ke empat penjuru mata angin sebagai permohonan untuk keselamatan dan kelanggengan bahtera rumah tangga yang akan dijalani.Sebelum pelaksanaan ritual di Danau Batur, rangkaian upacara dilakukan mempelai laki-laki dilanjutkan dengan upacara meseserahan kawisan" atau pemberian olahan daging ayam dan babi kepada keluarga mempelai wanita.Pada saat upacara ini, kedua mempelai diwajibkan  mengenakan pakaian adat khas Desa Trunyan.Karena uniknya upacara pernikahan di Desa Trunyan biasa dilakukan dari pagi hingga malam dan harus melibatkan seluruh warga setempat serta undangan.
c.         Bentuk Pemakaman
Desa Trunyan memiliki pemakaman yang unik, yang berbeda dengan Bali pada umumnya, yang dikenal dengan Ngaben. Namun, ini berbeda halnya dengan suku Trunyan. Orang yang meninggal bukan dibakar atau dimakamkan, melainkan dibiarkan membusuk ditanah membentuk cekungan panjang. Posisi peletakan jenazah berjejer bersanding dengan yang lainnya, lengkap dengan pembungkus kain sebagai pelindung tubuh waktu prosesi. Tampak hanya bagian muka yang terlihat dari celah bambu “Ancak Saji”. Ancak Saji merupakan anyaman bambu segitiga sama kaki yang berfungsi untuk melindungi jenazah dari serangan binatang buas. Peletakan jenazah di letakkan dibawah pohon yang dikenal dengan Taru Menyan, yang dipercayai mempunyai bau harum, yang dapat memnyerap bau busuk dari mayat tersebut.[14]
Meski masyarkat Trunyan menganut agama Hindhu, namun mereka memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Hindhu Bali umumnya.Ketika mendengar kata Trunyan, mungkin yang tersirat di dalam benak adalah sebuah desa yang berbau mistis. Hal ini mungkin dikarenakan oleh pengetahuan yang terpatri didalam pikiran adalah kebudayaan mengenai upacara kematian yang terdapat disana.[15] Tradisi ini sangat menarik perhatian budayawan dan wisatawan . Meskipun sama-sama menganut Hindu, warga Trunyan tidak melakukan upacara pembakaran jenasah. Jenasah kerabat yang meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru Menyan tanpa menguburnya. Jenasah hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan pagar dari belahan bambu. Pohon taru menyan itulah cikal bakal nama desa Trunyan. Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1)        Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar 7 ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang. Tidaklah mengherankan jika di area Sema banyak berserakan tengkorak dan tulang-tulang. Meskipun jenasah orang Trunyan tidak dikubur dan dibiarkan terbuka, konon tak menyebarkan bau busuk. Masyarakat Trunyan meyakini bahwa bau busuk jenasah telah disedot oleh pohon Taru Menyan. Memang secara logika pohon ini menebarkan aroma wangi sehingga bisa menetralkan bau di sekitarnya.
2)        Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.[16]
Desa ini juga  memiliki tiga cara unik penggolongan dalam mengupacarai mayat, yang  maknanya dikatakan setara dengan upacara pengabenan. Adapun cara tersebut adalah sebagai berikut:
1)        Jika yang meninggal adalah bayi, maka tempat pemakamannya akan berbeda dengan umumnya. Tempat pemakamannya disebut “Sema Muda”. Untuk jarak diperkirakan 200 meter dari pemakaman umum. Mayat bayi tidak diletakkan begitu saja, tetapi mayat akan dikubur. Tidak ada pemaparan khusus mengenai perbedaan perlakuan tersebut. Ini hanyalah tradisi yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat trunyan.
2)        Untuk mereka yang meninggal karena sesuatu yang tidak wajar seperti kecelakaan, pembunuhan, dan lainnya maka mayat dikatakan memiliki suatu kesalahan. Tempat penguburannya adalah di “Sema Bantas” yang terletak diperbatasan desa Trunyan dan desa Abang yang letaknya cukup jauh dari pemakaman umum.
3)        Untuk mereka yang meninggal wajar (normal), dalam artian meninggal karena faktor usia (bebas dari kriteria yang disebutkan sebelumnya diatas) maka akan diletakkan di pemakaman umum “sema wayah”. Mayat akan ditutupi kain kasa (kain putih) kemudian diletakkan dibawah pohon taru menyan. Mayat akan diletakkan diatas tanah dengan lubang yang sangat dangkal, berkisar 10 sampai 20 cm kemudian dipagari. Tujuan diletakkan pada lubang tidak lain agar mayat tidar bergeser mengingat keadaan tanah yang datar. Diinformasikan bahwa batasan mayat yang ada di bawah pohon taru hanyalah 11. Masyarakat setempat mengatakan, jika jumlah mayat melebihi sebelas maka mayat akan sedikit berbau (terkadang berbau dan terkadang tidak).[17]
Untuk masalah batasan jumlah mayat tersebut, ada pakar yang berpendapat bahwa kemampuan penyerapan bau pohon taru adalah 660 kg. Dengan perhitungan 11 x 60 kg = 660. 60 kg diasumsikan dari berat  rata-rata mayat. Tapi hal itu juga tidap dapat dipastikan, mengingat hal tersebut didasarkan atas mitos.[18]
images




index
Gambar:
d.      Pementasan Barung Brutuk

Selain keunikan dari penguburan mayat, Trunyan juga memiliki tarian langka bernama Barong Brutuk sangat jarang dipentaskan terkecuali saat odala di Pura Pancering Jagat desa Trunyan. Pada umumnya Barong di Bali itu bentuknya wujud binatang seperti macan, singa, gajah, naga maupun babi. Namun, yang ada di Trunyan ini berbeda, wajahnya barongnya menggunakan  seperti topeng primitive, dipakaikan kepada seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang kering.
Tokoh pada Barong Brutuk seseorang berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kakak sang ratu dan patih, selebihnya menjadi anggota biasa (unen-unen), dipentaskan pada siang hari, tepat saat mulai odalan di Pura Pancering Jagat , upacara odalan tersebut biasannya selama tiga hari berturut-turut. Penampilan barong ini dimulai dengan tampilan unen-unen tingkat anggota Brutuk, mereka mengelilingi penyengker pura selama 3 kali, sambil melambaikan cemeti dengan suara melengking kepada para penonton (peserta upacara), sehingga membuat para penonton takut. Kemudian doa-doa dan sesajian dihaturkan oleh seorang pemangku tatkala para tokoh ningrat seperti raja, ratu, patih dan kakak ratu tampil kemudian keempatnya juga mengelilingi tembok pura bergabung dengan unen-unen, para peserta (penonton) berlomba mengambil pakaian daun pisang yang lepas, yang nantinya disebar di area perkebunan untuk kesuburan.[19]

https://nimadesriandani.files.wordpress.com/2014/10/barong-brutuk2.jpg


e.       Arsitek Adat Desa Trunyan
Letak Desa Trunyan berada di seblah timur danau Batur, maka orientasi masa-masa bangunannya mengarah ke danau juga. Dalam filosofi bangunan Bali Aga, bangunannya mengarah ke dataran rendah, dalam hal ini adalah danau itu sendiri, sedangkan belakangnya berupa pegunungan. Pola desanya berbentuk grid karena bangunannya kearah danau, sehingga disepanjang pesisir bangunannya menghadap ke arah danau.
Untuk arsitek yang berada di Desa Trunyan sangat berbeda dengan arsitektur-arsitektur ditempat lain. Jika ditempat lain dalam satu pekarangan hanya terdapat satu kepala keluarga akan tetapi berbeda dengan desa Trunyan dimana di dalam satu pekarangan terdapat banyak kepala keluarga dimana dalam satu kepala keluarga memiliki satu bangunan atau rumah dalam satu pekarangan tersebut. Rumah tersebut dinamai bale saka roras, dimana dalam satu bangunan terdapat beberapa ruangan yang disesuaikan dengan pembagian dari saka-saka tersebut. Di dalam ruang tersebut semua kegiatan dilakukan di dalam ruangan. Mulai dari memasak, makan dan tidur serta berkumpul dengan keluarga.[20]

Gambar :
2.      Ritual dalam Desa Trunyan
Dalam ritual desa Trunyan yang membedakan dengan ritual suku-suku yang ada di Bali hanya dilihat dari bentuk pemakamannya. Umumnya dikubur atau dengan Ngaben tapi di Trunyan hanya diletakkan di bawah pohon saja.

C.    Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan
1.    Sistem Religi Desa Trunyan
Kepercayaan yang menghubungkan dengan sistem kepercayaan orang Trunyan adalah kepercayaan mengenal: Dunia gaib, Dewa-dewa, Mahluk-mahluk halus, Roh pribadi dan roh leluhur, dan Kekuatan sakti. Berikut penjelasan dari kepercayaan-kepercayaan tersebut.[21]
a)    Dunia Gaib, orang trunyan sadar bahwa dunianya terdiri dari dua aspek, yaitu dunia nyata dan yang tidak tampak. Yang tidak tampak itu lah yang menjadi sistem kepercayaan. Dunia ini berada di luar jangkauan panca indrannya dan diluar batas akalnya, yang disebut dengan dunia gaib. Di dunia tersebutlah terdapat berbagai mahluk halus dan kekuatan sakti, yang tidak dapat dikuasai manusia secara biasa, melainkan dengan cara luar biasa, dan karena kebanyakan orang  Trunyan tergolong mereka yang tidak mempunyai ilmu gaib untuk menghadapi mahluk-mahluk dan tenaga-tenaga gaib tersebut, maka timbullah ketakutan yang sangat terhadap mereka. Jalan yang ditempuh untuk menhadapinya adalah mengambil hati dan menyembahnya.
b)   Dewa-dewa, jumlah dewa-dewa yang diyakini di Trunyan sendiri sangat banyak. Kebanyakan dari mereka mempunyai tempat persemayaman (palinggih) sendiri di dalam kuil utama di Trunyan. Mereka meyakini bahwa dewa akan berada di tempat persemayaman ketika sedang ada upacara tertentu seperti peringatan untuk mereka pribadi masing-masing. Dewa disana dapat dibagi menjadi beberapa golongan, misalnya dewa-dewa di sana dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perhubungannya dengan dewanya (Ratu Sakti Pancering Jagat), yaitu dalam hubungan kekerabatan, atau dalam hubungan pemerintahan. Adapun pembagian yang lain dilihat dari perbedaan lokasi palinggihnya, yaitu berada di desa induk Trunyan. Dewa yang berada digolongan pertama adalah yang dipuja oleh setiap penduduk Trunyan, yang kedua hanya dipuji oleh penduduk desa tertentu saja.
c)    Mahluk-mahluk Halus, Selain para dewa orang Trunyan juga mempercayai tentang dunia alam gaib mereka, berdiam lain-lain mahluk halus, seperti buta kala, anak di petang, jim, bintang-bintang gaib dan lain-lain.
d)   Roh Pribadi dan Roh Leluhur, Orang trunyan juga membedakan antara badan halus dan badan kasar. Jika badan kasar akan lenyap ketika orang yang memiliki meninggal, maka badan halus atau rohnya tidak. Roh manusia itu abadi, dan roh tersebut akan terus kembali menitis ke tubuh orang sedadianya.  Penitisan terus menerus suatu roh di dalam suatu dadia, dari generasi yang satu ke generasi yang lain, menyebabkan orang Trunyan tidak berani menyakiti anak dam keturunannya, karena takut anak dan keturunannya itu sebenarnya titisan roh leluhur.
e)    Kekuatan Sakti, percaya tentang adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam gelaja-gejala, hal-hal dan peristiwa luar biasa. Gejala dan hal-hal itu dapat berupa gejala alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh manusia, tumbuh-tumbuhan, benda- benda serta suara yang luar biasa. Peristiwa luar biasanya itu peristiwa yang semata-mata menyimpang dari kebiasaan jalan kehidupannya sehari hari.
2.    Tempat dan Upacara Keagamaan
Upacara keagamaan yang terdapat di suku Trunyan terbagi menjadi lima, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Dewa Yadnya, biasa disebut dengan Odalan, yang bertujuan untuk mengambil hati dewa yang diupacarakan. Hampir setiap bulan ada upacara ini. Salah satunya adalah upacara Saba Gede yang dilakukan pada saat Tilem Kesanga dan Odalan Ratu Pingit Dalem pada saat purnama Sadha.
Kedua, Pitra Yadnya, upacara yang dilakukan untuk para leluhur dan para kerabat, apabila ada kematian. Ketiga, Resi Yadnya, upacara yang dilakukan untuk pentahbisan pendeta.Keempat, Buta Yadnya, Upacara yang dilakukan untuk para buta kala, biasanya juga dengan Mercaru.
Kelima, Manusia Yadnya, upacara yang dilakukan untuk manusia yang masih hidup. Misalnya upacara ulang tahun otonan yang berlangsung enam bulan sekali.
Dalam kebudayaan orang Trunyan, jika seseoran tidak dalam keadaan sebel maka bisa dikatakan bahwa upacara-upacara yang rutin akan dilakukan setiap lima belas hari sekali. Dari  kelima jenis upacara diatas hanya upacara Odalan, Mecaru dan Otonan yang dapat dikatakan sebagai upacara rutin.
Hindu Trunyan tidak memiliki hari raya yang sama dengan Hindu di Bali pada umumnya. Hari-hari raya seperti galangan, kunigan, ciwartri, saraswatri, dan pagerwesi, tidak dirayakan. Bahkan nyepi pun tidak. Jika diantara mereka melakukan amati geni pada saat nyepi bukan karena mereka merayakan tatapi karena takut tidak disebut sebagai orang Hindu oleh orang Hindu Bali fanatik. Hari dimana upacara seba gede dilakukan bisa dikatakan sebagai hari raya yagn terbesar bagi orang Trunyan, selain itu hair pelaksanaannya bertepatan dengan hari raya nyepi.[22]


D.    Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan Dengan Agama-agama Lain
Religi di Desa Trunyan berbentuk variant, atau salah satu versi yang berbeda dari agama Hindu Bali, yang dapat disebut sebagai agama Hindu Bali Trunyan, yang selanjutnya merupakan sebagian dari agama Hindu Dharma, yang juga telah diakui sebagai salah satu agama resmi Indonesia. Agama Hindu Trunya dianggap sebagai agama varian dari agama Hindu Bali, karena agama tersebut pada dasarnya lebih berpegang kepada kepercayaan Trunyan asli. Sedangkan maksut dari kepercayaan Trunyan asli adalah kepercayaan berlandaskan kepada pemujaan roh leluhur (ancerstor worship), yakni tentang adanya roh lainnya di alam sekeliling tempat tinggal, sehingga perlu untuk dipuja (animisme). Walaupun dari luar religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk agama Hindu, karena sudah mempergunakan liturgy Hindu, lebih tepatnya dengan Hindu Bali. Namun semua itu digunakan untuk memuja dewa-dewa asli Trunyan.[23]
Dewa-dewa desa Trunyan banyak sekali. Para dewa tersebut dibagi menjadi dua golongan, yaitu yang dipuja oleh segenap penduduk Desa Trunyan, dan yang satu dipuji oloh satu atau dua dadiai saja. Golongan pertama sebagian besar bersemayam di dalam Kuil utama Trunyan, dan golongan kedua bersemayam di sanggah-sanggah dadia yang ada di Desa Trunyan. Para dewa yang bersemayam di Kuil Bali Desa Pancering Jagat, semuanya berjumlah tujuh belas. Berikut pembagian penempatan dewa di kuilnya:
1.      Lima dewa berada di pelinggih yang berada di komplek Maospait Tempek Semangen, yaitu bagian terluar kuil Trunyan
2.      Tiga dewa bersemayam di pelinggih yang berada di kompleks Madruwe, yang berada di timur Tinggih Tengah.
3.      Dua dewa bersemayam di kompleks Gunung Agung kuil utama Trunyan.
4.      Tiga dewa  bersemayam di kompleks kuil utama Trunyan yang tersuci.
5.      Empat dewa bersemayam di kompleks Kepasekan
6.      Satu dewa bersemayam di kompleks Kemulan Kangin
Dari dewa-dewa tersebut yang paling tinggi kedudukannya adalah mereka yang bersemayam di kompleks Penaleman, terutama di komplek Penaleman terdalam, karena ibarat suatu kerajaan disanalah berdiam raja serta permaisurinya.[24]
Dinamika budaya serta perubahan sosial  di Trunyan juga menjadi salah satu bukti interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak Trunyan yang terpencil dari kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada lainnya. Biarpun seperti itu desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar, terutama dalam penyebaran agama Hindu disana, yang mayoritas di anaut oleh masyarakat Bali. Persentuhan desa Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama. Namun persentuhan tersebut sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu, persentuhan yang dibawa dari masa kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa, India dan Cina, ternyata tidak berdampak begitu berarti pada perkembangan kepercayaan. Mereka dengan teguh tetap berusaha melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Apalagi dewasa ini, Bali secara keseluruhan telah dikenal di mata Internasional menjadi salah satu tujuan wisata. Selain karena keindahan alam laiknya sentuhan agung Tuhan surgawi, juga karena keteguhan penduduknya akan tradisi keagamaan, yang lebih dikenal sebagai “Pulau Dewata”.
Dukungan dari pemerintahan untuk pariwisata seperti ini yang menyebabkan tradisi budaya lokal terus digalakan perkembangannya. Dewasa ini, pertumbuhan pembangunan modern sudah sangat nampak di daerah Trunyan. Pembangunan hotel, villa, restoran serta tempat peristirahatan lainnya berkembang pesat. Disamping itu, pembangunan kuil sesembahan, tempat pemujaan juga banyak dibangun. Meski sepertinya ada sangat besar pergeseran nilai yang terjadi seperti pergeseran kehidupan pertanian ke sektor pariwisata, namun pelestarian kebudayaan dan kepercayaan masih terus akan bertahan dan berkembang.[25]
Dinamika budaya serta perubahan sosial  di Trunyan juga menjadi salah satu bukti interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak Trunyan yang terpencil dari kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada lainnya. Biarpun seperti itu desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar, terutama dalam penyebaran agama Hindu disana, yang mayoritas di anaut oleh masyarakat Bali. Persentuhan desa Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama. Namun persentuhan tersebut sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu, persentuhan yang dibawa dari masa kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa, India dan Cina, ternyata tidak berdampak begitu berarti pada perkembangan kepercayaan. Mereka dengan teguh tetap berusaha melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Apalagi dewasa ini, Bali secara keseluruhan telah dikenal di mata Internasional menjadi salah satu tujuan wisata. Selain karena keindahan alam laiknya sentuhan agung Tuhan surgawi, juga karena keteguhan penduduknya akan tradisi keagamaan, yang lebih dikenal sebagai “Pulau Dewata”.
Dukungan dari pemerintahan untuk pariwisata seperti ini yang menyebabkan tradisi budaya lokal terus digalakan perkembangannya. Dewasa ini, pertumbuhan pembangunan modern sudah sangat nampak di daerah Trunyan. Pembangunan hotel, villa, restoran serta tempat peristirahatan lainnya berkembang pesat. Disamping itu, pembangunan kuil sesembahan, tempat pemujaan juga banyak dibangun. Meski sepertinya ada sangat besar pergeseran nilai yang terjadi seperti pergeseran kehidupan pertanian ke sektor pariwisata, namun pelestarian kebudayaan dan kepercayaan masih terus akan bertahan dan berkembang.[26]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Suku Trunyan awalnya terjadi disebabkan bau harum dari sebuah pohon yang disebut Taru Menyan, yang mempunyai arti pohon harum, yang menjadikan ketertarikan bagi siapa saja yang menghirupnya, hingga pangeran dan putri dari kerajaan Surakarta memutuskan untuk mencari bau harum itu. Dari cerita itulah awal mula terjadi DesamTrunyan.
Dari segala adat kebudayaan yang menjadi sorotan adalah tradisi pemakaman di desa ini. Jika pada umumnya di Bali, orang meninggal di makamkan, ataupun dengan cara Ngaben, namun di Trunyan hanya di letakkan dibawah pohon Taru Menyan, atau disebut dengan peristiwa Mepesah. Walaupun banyak yang bilang Bali Trunyan adalah Hindu namun pada kenyatannya banyak dari ajaran maupun keprcayaan mereka yang berbeda dari orang Hindu yang ada di Bali pada umumnya. Mereka mempunyai dewa-dewa sendiri.

B.     Saran
Makalah ini hanya mengambil sebagian kecil dari apa yang kita bahas. Maka dari itu di sarankan buat pembaca supaya lebih mendalami dari tulisan-tulisan lain agar bertambah dalam kepahaman dan ilmu yang didapatkan.






DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, JamesKebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta: UI-Press, 1989)
Junus, M Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa Di Indonesia,(Jakarta: CV. Eka Putra,1995)
Trisila, Akulturasi Budaya Islam Hindu di Bali, (Depasar : Universitas Udayana, 2002)





[1]James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta: UI-Press, 1989), h. 32
[5]James Danandjaja, Op.cit, h.  42
[6] Ibid,  h. 43
[7] Ibid,  h. 44
[8] Ibid, h. 467
[9] James Danandjaja, Op.cit, h. 471
[10] James Danandajaja, Ibid, h. 466
[11] Ibid, h. 474
[12] Ibid, h. 468
[13] Ibid, h.469
[14] Diakses pada 03 Maret 2016 dari https://embunpagii.wordpress.com/2011/01/09/trunyan/
[15] Diakses pada 03 Maret 2016 dari https://embunpagii.wordpress.com/2011/01/09/trunyan/

[16] Diakses pada 03 Maret 2016 dari https://embunpagii.wordpress.com/2011/01/09/trunyan/

[17] Diakses pada 03 Maret 2016 dari https://embunpagii.wordpress.com/2011/01/09/trunyan/
[18] Diakses pada 03 Maret 2016 dari https://embunpagii.wordpress.com/2011/01/09/trunyan/

[19] Diakses pada 3 Maret 2016 https://www.google.com/search?q=barong+brutuk&source=lnms&tbm=isch&sa
[20]M. Junus Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa Di Indonesia, (Jakarta: CV. Eka Putra, 1995), h. 843
[21] James Dananjaja, Op.cit, h. 316
[22] James Dananjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta, UI Press, 1980) h. 657
[23]  Kuntjaraningrat, Ilmu Antropologi, (Jakarta: UI Press, 1967), h. 218
[24] James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, ( Jakarta: UI Press, 1989), h.  634
[25]  James Dananjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta, UI Press, 1980) h. 444
[26]James Dananjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta, UI Press, 1980) h. 444

1 komentar:

  1. Mr. Macaulay Culkin - Dr.D.M.C.
    I started playing casino games at 경기도 출장마사지 Mr. Macaulay in Las Vegas, Nevada. 시흥 출장마사지 I began playing casino games 의왕 출장안마 at Mr. Macaulay 아산 출장안마 and 김천 출장안마 my wife and three dogs.

    BalasHapus