MAKALAH
AGAMA TRADISIONAL ORANG TRUNYAN DI
BALI
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Agama-Agama Lokal
Dosen
Pengampu: Siti Nadroh, M.Ag
Disusun
Oleh:
Shabrina Ghaisani 11140321000051
Maulaya Arinil Haq 11140321000085
Moh. Fauzan Chair
11140321000054
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN (UNIVERSITAS ISLAM NEGERI) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA
PENGANTAR
Kami panjatkan puji syukur kita kehadirat Allah Swt atas segala rahmat
dan karunia-Nya hingga makalah ini dapat diselesaikan. Kami mencoba
mengumpulkan beberapa data dan berusaha merangkaikan bahan-bahan temuan kami
menjadi sesuatu yang layak untuk dijadikan bacaan dalam mata kuliah Agama-agama
Lokal ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih terdapat banyak
kekurangan.Oleh karena itu kami megharap kritik dan saran dari teman – teman,
serta pembaca yang bersifat membangun agar lain waktu kami dapat mengahasikan
makalah yang lebih sempurna.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.
Atas perhatianya diucapkan terimankasih.
Penyusun,
Ciputat, 16 Maret 2016
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................................... 2
Daftar Isi................................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 4
A. LatarBelakangMasalah.............................................................................................. 4
B. RumusanMasalah....................................................................................................... 4
C. TujuanPenulisan......................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 5 ............................................................................................................................................... ............................................................................................................................................... ............................................................................................................................................... 5
A.
AsalUsulSukunTrunyan............................................................................................. 5
B.
Mite, Adatkebudayaandan Ritual.............................................................................. 6
C.
Religi, TempatdanUpacaraKeagamaan...................................................................... 7
D.
UpacaraKematiandanPemakamanTrunyan................................................................ 13
E.
InteraksiKepercayaan
orang Trunyandengan Agama-Agama Lain........................... 16
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 19
A.
Kesimpulan................................................................................................................ 19
B.
Saran.......................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Trunyan
terletak di dalam sutu kepundan gunung berapi purba, yang telah meletus
beberapa ribu tahun yang lalu. Gunung berapi itu ialah gunung Batur Purba.
Sebagian dari lubang kepunden itu kemudia berisi dengan air, dan sekarang
berubah menjadi danau, yang bernama Danau Batur. Disebelah barat kepundan danau
tersebut, tumbuhlah gunung yang tingginya mencapai 1717 meter, yang kini
dikenal dengan nama Gunung Batur.
Trunyan
tepatnya terletak disebelah pantai timur Danau Batur, dan di sebrang Gunung
Batur. Desa ini berawal dari kisah Raja Solo yang bertahta di Surakarta, yang
mempunyai satu anak prempuan dan tiga laki-laki. yang suatu hari menghirup aroma wangi yang sangat
tajam, hingga beliau memutuskan untuk mencari asal wangi itu, hingga sampailah
di desa Trunyan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Asal-asal
suku Trunyan Bali Aga
2. Mite,
Adat kebudayaan dan Ritual
3. Religi,
Tempat dan Upacara Keagamaan
4. Upacara
kematian dan Pemakaman Trunyan
5. Interaksi
Kepercayaan orang Trunyan dengan agama-agama lain
C.
Tujuan
Tujuan
disusunnya makalah ini ialah agar mahasiswa dapat mengetahui dengan jelas
tentang asal usul Trunyan, mite, adat kebudayaan, ritual, tempat dan upacara
kematian, serta bagaimana pemakamannya dan interaksi kepercayaannya kepada
agama-agama lain.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Asal
Usul suku Trunyan atau Bali Aga
1.
Menurut Para Ahli
Trunyan berasal dari
kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan menyan berarti wangi atau harum,yang
sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi perkuburan adat masyarakat
Trunyan. Pohon ini dipercaya mempunyai wangi yang semerbab yang membuat
jenazah-jenazah yang diletakkan di sekitar pohon tersebut tidak mengeluarkan
bau menyengat. Semuai itu dimulai dari kisah dahulu di kerajaan Surakarta di
pulau jawa, tercium bau harum yang berhasil menarik perhatian dari 4 bersudara,
pangeran dan putri kerajaan Surakarta. Bau harum tersebut telah berhasil
menarik perhatian 4 bersaudara tersebut untuk memutuskan pergi mengembara,
mereka terdiri dari 3 orang pangeran dan 1 orang putri.[2]
Waktu sampai di Kaki
Gunung Batur, sang Putri bungsu tertarik dengan tempat tersebut dan memutuskan
untuk tinggal disana. Meski perjalanan untuk menuju tujuannya baru setengah
perjalanan, namun keinginan itu disetujui oleh para kakak-kakaknya. Selanjutnya
sang putri pindah ke lereng gunung batur sebelah timur dan memiliki gelar Ratu
Ayu Mas Marketeg. Kemudian ketiga saudaranya melanjutkan perjalanannya. Hingga
suatu ketika mereka sampi di dataran bernama Kedisan, mereka mendengar suara
burung yang merdu. Mendengar suaru burung ini, pangeran ketiga sangat kegirangan.
Namun, pangeran pertama ternyata tidak menyukainya. Maka diperintahkannya
pangeran ketiga untuk berdiam diri di tempat tersebut. Ketika pangeran ketiga
menolak, pangeran sulung marah dan menendangnya hingga jatuh dalam posisi duduk
bersila dan berubah patung. Patung tersebut diberi nama Patung Bathara Dewa
yang sekarang masih ada di wilayah Kedisan dengan bentuk aslinya yang masih
duduk bersila.
Setelah itu kedua
pangeran yang tersisa melanjutkan perjalanannya hingga sampai ke sebuah
dataran, dimana mereka bertemu dengan dua orang gadis yang cantik. Sang
pangeran kedua kemudian menyapanya, melihat ini pangeran pertama kembali marah
dan memerintahkan untuk tinggal di tempat itu, pangeran keduapun menolak, dan
kemudian pangeran pertama menyepak adiknya hingga jatuh tertelungkup dan
kemudian ditinggalkan, disebutkan sang adik kemudian menjadi kepala desa di
tempat, kemudian disebut dengan Desa Abang Dukuh. Dukuh sendiri merupakan
istilah dalam bahasa lokal yang berarti telugkup.[3]
Pangeran pertama
akhirnya melanjutkan perjalanannya seorang diri, dan akhirnya menemukan sumber
harum yang berasal dari pohon Taru Menyan. Di bawahnya ia melihat seorang Dewi
yang sangat cantik jelita. Kemudian sang pangeran pun jatuh cinta dan berniat
untuk melamar sang Dewi. Lamaran akan di terima dengan syarat pangeran mau
menjadi pemimpin desa tersebut. Akhirnya pangeran itu diberi gelar Ratu Sakti
Pancering Jagat, sedangkan istrinya diberi gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar
sejak itu, desa Trunyan akhirnya berkembang menjadi kerajaan kecil. Kemudian
untuk melindungi kerajaan yang tertarik dengan bau harum pohon Taru Menyan,
Ratu Sakti Pancering Jagat memerintahkan untuk tidak menguburkan mayat, namun
diletakkan saja di bawah pohon Taru Menyan hingga membusuk. Sejak saat itu
pohon itu sudah tak tercium bau harum lagi, dan jenazah-jenazah tersebut tidak
mengeluarkan bau busuk.[4]
2.
Menurut Legenda
Ada beberapa informasi tentang asal-usul Desa Trunyan
yang terdapat dari legenda, berikut beberapa legenda yang dapat kita temukan
datanya.
a.
LegendaMengenai Pasek
Trunyan Yang Menyelewengkan Gamelan Pemberian Dalam Solo
Dalam
Solo memiliki putra yang memerintah di Tirta Empul, Tampak Siring. Suatu
ketika, putra tersebut pergi ke Majapahit untuk meminta dibuatkan seperangkat
Gamelan. Oleh ayahnya permintaan itu dikabulkan dan dijanjikan akan dikirim ke
Tirta Empul setelah selesai dibuatnya nanti. Setelah mendapat janji itu, ia
pulang ke Tirta Empul.
Kabar
ini terdengar oleg Donta (Da Tonta atau Ratu Sakti Pancering Jagat) . Berubung
Donta juga ingin memiliki seperangkat gamelan, maka ia mengutus pembantunya
yang disebut Pasek Trunyak untuk pergi ke Majapahit. Permohonannya juga
dikabulkan Dalem Solo. Karena kebetulan ada utusan dari Bali ini, maka Dalem
Solo menitipkan gamelan yang diperuntukkan putranya di Tirta Empul kepada Pasek
Trunyan. Berhubung gamelan untuk Donta belum selesai, maka sebagai oleh-oleh,
Donta diberi sebuah labu kuning yang katanya berisi kerbau-kerbau hidup.[5]
Dalam
perrjalanan ke Tirta Empul, setibanya di Mengwi, tiba-tiba timbul keinginan
Pasek trunyan untuk melihat kerbau-kerbau yang katanya berada di dalam buah
itu, karena dalam hatinya ia tidak percaya bahwa kerbau yang ukuran tubuhnya
beberapa kali lebih besar dari buah labu kuning, dapat dimuat dalam buah
tersebut. Dorongan hatinya membuat dia membelah buah itu dan memang benar dari
dalam buah berukuran biasa itu , kemudian keluar beberapa kerbau hidup dengan
ukuran normal. Kejadian ini sangat mengejutkan Pasek Trunyan. Dengan amat
menyesal ia berusaha menangkap kembali ternak itu, tapi tidak berhasil. Dalam
keadaan putus asa datang seseorang dari tempat itu dengan kata-kata “biar saja
kerbau-kerbaumu itu tetap berada di tempat saya ini. Bila kelak engkau
memerlukannya untuk upacara Odalan(Upacara memperingati dewa), engkau beserta
orang-orang Trunyan boleh datang kemari untuk mengambil salah seekor
daripadanya.” sesudah mendapatkan janji itu, Pasek Trunyan dapat meninggalkan
tempat itu dengan tenang. Namun karena terjadi peristiwa itu, ia tak lagi berkeinginan
untuk pergi ke Tirta Empul, melainkan langsung pulang ke Trunyan. Untuk
mendamaikan hati Tuannya, gamelan yang seharusnya diperuntukan putra Dalem Solo
di Tirta Empul, diserahkan kepada yang memerintah di Trunyan.[6]
Karena
lama sekali gamelan itu tak kunjung tiba, maka Raja Tirta Empul pergi sendiri
ke Majapahit untuk menanyakan hal itu ke ayahanda. Karena itu Dalem Solo
mengetahui penyelewengan itu. Peristiwa ini membuatnya marah sekali, sehingga
dengan didampingi putranya Tirta Empul, ia menuju ke Trunyan. Dalam pengusutan,
Pasek Trunyan tidak mengakui bahwa ia telah menyelewengkan alat-alat musik
tersebut. Menurutnta gamelan itu telah terjatuh ke Danau Batur. Karena
mengetahui pegawai putranya yang di Trunyan tidak jujur, Dalem Solo menjadi semakin
geram. Karena murkanya, dikutuknya Pasek Trunyan agar tidak dapat mempunyai
keturunan. Dan karena menurutnya Donta menyetujui perbuatan bawahannya, maka ia
juga dikutuk, yaitu keturunannya pada setiap tahun menjelang Saba Gede (pesta
besar untuk memperingati hari ulang tahun Donta) pada Purnama Kapat,
(Purnama Keempat) harus pergi ke tempat-tempat di luar Desa Trunyan untuk
melakukan pekerjaan hina yang bersifat setengah mengemis stengah barter, yang
disebut Murub. Karena
kutukan ini, sampai sekarang keturunan Donta, yaitu Penduduk Trunyan, sebulan
menjelang Purnama Kapat, yaitu pada Sasih Ketiga (bulan ketiga
Bali, kira-kira pada bulan September)nharus melakukan pekerjaan hina itu.
Gamelan tersebut pada dewasa ini tinggal berupa sepasang gong yang bernama
Madusara dan Madusari.[7]
B.
Adat
Kebudayaan dan Ritual
1.
Adat Kebudayaan di suku Trunyan
Berikut data yang dapat kami paparkan tentang
beberapa adat kebudayaan yang terdapat di suku Trunyan. Sebagai berikut:
a. Proses
Kelahiran
Dalam
masyarakat truyan seorang wanita yang sedang mengandung mendapat berbagai
larangan seperti larangan mengejak orang cacat tubuh dan wanita yang mengandung
juga tidak diberikan perlakuan istimewa meskipun kandungannya sudah membesar.
Pada masyarakat truyan bali pada umumnya kelahiran seorang anak adalah urusan
laki-laki. Dukun beranak di truyan adalah laki-laki sehingga pada masyarakat
truyan pada saat perempuan melahirkan yang membantu dukun bayi adalah ayah dari
bayi tersebut dan ada sebuah lubang dangkal yang beralaskan tikar pandan,tempat
menampung darah, ari-ari, tali pusar dan air tembuni yang akan keluar sebelum
dan sesudah si anak lahir dan menurut adat truyan selama ari-ari belum
keluar,tali pusar yang menghubungkannya dengan si bayi tidak boleh dipotong
dahulu, karena menurut kepercayaan, jika dipotong tali tersebut akan dapat
tertarik masuk kembali kedalam rahim si wanita.
Kemudian
setelah bayi dan ari-ari keluar, para wanita yang berada didalam maupun diluar
rumah baru ribut kian kemari untuk mengambil air hangat dan rempah-rempah.
Setelah sisa tali pusat yang masih menempel pada pusat sibayi di ikat dengan
benang,barulah seluruh tubuh sibayi di kuatbersihkan dari bekas darah ibunya
dan setelah selesai dimandikan anak segera diberi makanan,yang terdiri dari
kemiri mentah yang telah dikunyah lembut oleh salah seorang keluarganya.
Setelah melahirkan,si ibu diperbolehkan pindah keatas tempat tidurnya,tetapi
belum diperbolehkan membaringkan diri,melainkan masih diharuskan tetap berada
dalam posisi duduk,katanya untuk menjaga agar yeh nyem yang masih belum keluar
seluruhnya tidak mengalir dalam kepalanya,sehingga menyebabkan kematian.[8]
Tugas balian tekuk dan ayah sang bayi belum
selesai karena mereka harus mengurus “empat saudara” si bayi dengan cara
mengambil sebuah tempurung kelapa, yang telah dibelah menjadi dua, dan yang
tadinya dipergunakan untuk mengisi boreh si bayi kemudian tempurung itu ditutup
dengan bagian tempurung yang sebelah lagi,dan diikat dengan daun lontar
kering.dan setibanya di tantan bumi,ia memilih salah satu tanaman semak
disana,dengan cabang yang kuat,yang disebut lanting landa (lantana). Pada
cabang itu ia gantungkan nyampat bayinya. Namun untuk mengerjakan hal ini,ia
harus berhati-hati sekali menjaga jangan sampai ikatanya dapat segera
terlepas,karena hal itu dapat menyebabkan kematian bayinya.[9]
Upacara tutug telu upacara ini sering disebut
dengan nama rerebu, upacara ini diadakan tiga hari sejak kelahiran seorang
bayi. Upacara ini harus dilakukan pada malam hari yaitu sesudah pukul 20.00
yang memimpin biasanya balian tekuk yang membantu sianak sewaktu
dilahirkan,tetapi jika ia sedang sibuk boleh digantikan dengan seorang pedulu
yang dapat memimpin upacara dan tempat upacara diatas tempat tidur (amben)
keluarga bayi tersebut agar bayi terhindar dari roh jahat setelah upacara tutug
telu dilakukan ayahnya baru diperbolehkan potong rambut. Suatu hal yang menjadi
larangan selama istrinya mengandung yaitu ayahnya tidak boleh memotong
rambutnya.
Upacara
Tutug Wolu upacara ini diadakan pada waktu bayi berumur delapan hari. Upacara
ini hanya upacara kecil saja karena hanya membuat tanda (pinget) yang terdiri
dari tiga buah ketupat dan tiga buah bantal. Yaitu semacem lepet atau ketan
yang dibungkus dengan daun kelapa muda yang dililitkan sehingga berbentuk
bantal.upacara ini sebenarnya ditunjukan kepada dewa penjaga si bayi yang
disebut empu rare itu,karena pingit tersebut diletakan di pelangkidan. [10]
Upacara
tutug Dwadasa upacara ini diadakan pada waktu seorang bayi telah berusia dua
belas hari. Pada hari kedua belas itu,pagi-pagi sekali sewaktu hari masih gelap,sianak
digendong keluar rumah oleh ibunya untuk mencari damu (embun) dan pada upacara
ini cuping telinga si anak dilubangi dengan bulu landak yang seperti duri
itu,dan setelah itu untuk pertama kalinya ia boleh diperlihatkan matahari
setelah selama ini ia dilarang keras keluar rumah pada siang hari. Pelubangan
cuping pada masyarakat truyan berlaku pada semua jenis kelamin.
Upacara
Tutug bulan pitung dina diadakan sesudah bayi berusia 42 hari. Upacara ini
bulan pitung dina atau satu bulan tujuh hari,karena satu bulan di trunyan
adalah 35 hari sehingga ditambah tujuh hari menjadi 42 hari. Setelah itu si
anak lalu dimandikan.setelah mandi ia dibawa naik lagi keatas tempat tidur dan
disana ia dikalungkan dengan kalung terbuat dari benang tukel dan liontin terbuat
dari dua uang kepeng dan kemudian dikenakan pakaian baru untuk pertama kalinya,
karena sebelumnya sejak lahir ia hanya dikenakan pakaian bekas saja.
Upacara
tutug telu bulanan. Upacara ini diadakn sewaktu anak telah berusia tepat tiga
bulan. Upacara ini diadakan pada malam hari, dengan sajian yang termasuk besar,
yakni banten tetek sari.[11]
Upacara
Tutug enem bulanan. Upacara ini disebut otonan dan upacara ini dilakukan
setelah anak berusia dua ratus sepuluh hari upacara ini termasuk upacara besar
karena,jalannya upacara ini hampir sama seperti upacara tutug telu perbedanya
pada saat tutug bulanan hanya tangan kanan saja yang diberi gelang namun pada
upacara enam bulanan kedua pergelangan tangan si bayi diberi gelang yang
terbuat dari benang tukel. Kecuali itu pada upacara ini juga ada upacara
tambahan (upacara ayapan) dilakukan dengan maksud mengumpulkan semua
tenaga-tenaga yang telah terpencar-pencar,agar dapat terkumpul kembali.
Bersamaan itu roh sibayi juga diminta untuk berkumpul.[12]
Upacara
Tutug dua dasi bulanan. Upacara ini diadakan sewaktu anak menginjak usia dua
belas bulan,dan disebut upacara pengeroras. Jalannya upacara tutug dua dasi
bulanan ini sama dengan upacara metelu bulanan, atau otonan (tutug enem
bulanan). Setelah upacara tutug dua dasi bulanan ini, maka pada setiap enem
bulanan sepanjang hidupnya, dan enam bulan pertama setelah ia meninggal,seorang
trunyan akan diupacarakan dengan suatu upacara yang disebut otonan.
Upacara Otonan. Pada upacara ini yang paling
penting adalah upacara Ayapan, yaitu untuk mengumpulkan semua tenaga hidup dan
juga empat “saudara” (nyama pat) si bayi, yang menurut anggapan orang Trunyan
selama itu sudah ada yang berkeliaran ke tempat lain. Semua upacara diatas
merupakan upcara untuk menjaga keselamatan si bayi agar dapat tumbuh dengan
subur, tetapi jika tidak dapat tercapai orang Trunyan juga tidak putus asa
karena itu sudah menjadi kemauan jiwa anak itu sendiri, yang ternyata tidak
betah dan hanya mau singgih saja pada keluarganya.[13]
b.
Bentuk Perkawinan
Dalam
adat Desa Trunyan, perkawinan mesti melalui beberapa tahapan diantaranya
melakukan upacara di pinggir Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten
Bangli.Upacara yang dikenal dengan siraman atau "melukat" itu
bertujuan untuk membersihkan diri para penganten, sehingga mereka bisa hidup
damai dan sejahtera. Pada saat upacara, salah seorang pemimpin upacara yang
ditunjuk yakin Jero Mangku Puji Nyarikan menyelesaikan upacara. Menariknya,
usai siraman sejumlah sesajen yang telah usai dipergunakan dibuang ke danau dan
menjadi bahan perebutan bagi anak-anak.Sebelum sesajen di lemparkan ke danau,
anak-anak sudah bersiap-siap untuk menceburkan diri.Kemudian setelah terlempar,
satu persatu anak langsung terjun untuk mengambil sesajen seperti makanan,
buah-buahan dan uang yang dibuang ke danau.
Selanjutnya,
setelah melaksanakan pembersihan, kedua mempelai melanjutkan upacara.Pada
ritual kali ini mempelai melakukan persembahyangan ke empat penjuru mata angin
sebagai permohonan untuk keselamatan dan kelanggengan bahtera rumah tangga yang
akan dijalani.Sebelum pelaksanaan ritual di Danau Batur, rangkaian upacara
dilakukan mempelai laki-laki dilanjutkan dengan upacara meseserahan
kawisan" atau pemberian olahan daging ayam dan babi kepada keluarga
mempelai wanita.Pada saat upacara ini, kedua mempelai diwajibkan mengenakan pakaian adat khas Desa
Trunyan.Karena uniknya upacara pernikahan di Desa Trunyan biasa dilakukan dari
pagi hingga malam dan harus melibatkan seluruh warga setempat serta undangan.
c.
Bentuk Pemakaman
Desa
Trunyan memiliki pemakaman yang unik, yang berbeda dengan Bali pada umumnya,
yang dikenal dengan Ngaben. Namun, ini berbeda halnya dengan suku Trunyan.
Orang yang meninggal bukan dibakar atau dimakamkan, melainkan dibiarkan
membusuk ditanah membentuk cekungan panjang. Posisi peletakan jenazah berjejer
bersanding dengan yang lainnya, lengkap dengan pembungkus kain sebagai
pelindung tubuh waktu prosesi. Tampak hanya bagian muka yang terlihat dari
celah bambu “Ancak Saji”. Ancak Saji merupakan anyaman bambu segitiga sama kaki
yang berfungsi untuk melindungi jenazah dari serangan binatang buas. Peletakan
jenazah di letakkan dibawah pohon yang dikenal dengan Taru Menyan, yang
dipercayai mempunyai bau harum, yang dapat memnyerap bau busuk dari mayat
tersebut.[14]
Meski masyarkat Trunyan menganut agama Hindhu, namun
mereka memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Hindhu Bali umumnya.Ketika
mendengar kata Trunyan, mungkin yang tersirat di dalam benak adalah sebuah desa
yang berbau mistis. Hal ini mungkin dikarenakan oleh pengetahuan yang terpatri
didalam pikiran adalah kebudayaan mengenai upacara kematian yang terdapat
disana.[15] Tradisi ini sangat
menarik perhatian budayawan dan wisatawan . Meskipun sama-sama menganut Hindu,
warga Trunyan tidak melakukan upacara pembakaran jenasah. Jenasah kerabat yang
meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru Menyan tanpa menguburnya.
Jenasah hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan pagar dari belahan
bambu. Pohon taru menyan itulah cikal bakal nama desa Trunyan. Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang
Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2
macam yaitu:
1)
Meletakkan
jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan
dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang
yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang
gigi susunya telah tanggal.Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar
7 ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah.
Jika semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah
satu rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang.
Tidaklah mengherankan jika di area Sema banyak berserakan tengkorak dan
tulang-tulang. Meskipun jenasah orang Trunyan tidak dikubur dan dibiarkan
terbuka, konon tak menyebarkan bau busuk. Masyarakat Trunyan meyakini bahwa bau
busuk jenasah telah disedot oleh pohon Taru Menyan. Memang secara logika pohon
ini menebarkan aroma wangi sehingga bisa menetralkan bau di sekitarnya.
2)
Dikubur /
dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang
cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti
misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya.
Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga
dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat
meninggal.[16]
Desa ini juga memiliki tiga cara unik penggolongan dalam
mengupacarai mayat, yang maknanya
dikatakan setara dengan upacara pengabenan. Adapun cara tersebut adalah sebagai
berikut:
1)
Jika yang
meninggal adalah bayi, maka tempat pemakamannya akan berbeda dengan umumnya.
Tempat pemakamannya disebut “Sema Muda”. Untuk jarak diperkirakan 200 meter
dari pemakaman umum. Mayat bayi tidak diletakkan begitu saja, tetapi mayat akan
dikubur. Tidak ada pemaparan khusus mengenai perbedaan perlakuan tersebut. Ini
hanyalah tradisi yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat trunyan.
2)
Untuk mereka
yang meninggal karena sesuatu yang tidak wajar seperti kecelakaan, pembunuhan,
dan lainnya maka mayat dikatakan memiliki suatu kesalahan. Tempat penguburannya
adalah di “Sema Bantas” yang terletak diperbatasan desa Trunyan dan desa Abang
yang letaknya cukup jauh dari pemakaman umum.
3)
Untuk mereka
yang meninggal wajar (normal), dalam artian meninggal karena faktor usia (bebas
dari kriteria yang disebutkan sebelumnya diatas) maka akan diletakkan di
pemakaman umum “sema wayah”. Mayat akan ditutupi kain kasa (kain putih)
kemudian diletakkan dibawah pohon taru menyan. Mayat akan diletakkan diatas
tanah dengan lubang yang sangat dangkal, berkisar 10 sampai 20 cm kemudian
dipagari. Tujuan diletakkan pada lubang tidak lain agar mayat tidar bergeser
mengingat keadaan tanah yang datar. Diinformasikan bahwa batasan mayat yang ada
di bawah pohon taru hanyalah 11. Masyarakat setempat mengatakan, jika jumlah
mayat melebihi sebelas maka mayat akan sedikit berbau (terkadang berbau dan
terkadang tidak).[17]
Untuk masalah batasan
jumlah mayat tersebut, ada pakar yang berpendapat bahwa kemampuan penyerapan
bau pohon taru adalah 660 kg. Dengan perhitungan 11 x 60 kg = 660. 60 kg
diasumsikan dari berat rata-rata mayat.
Tapi hal itu juga tidap dapat dipastikan, mengingat hal tersebut didasarkan
atas mitos.[18]
Gambar:
d. Pementasan
Barung Brutuk
Tokoh pada
Barong Brutuk seseorang berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kakak sang ratu
dan patih, selebihnya menjadi anggota biasa (unen-unen), dipentaskan pada siang
hari, tepat saat mulai odalan di Pura Pancering Jagat , upacara odalan tersebut
biasannya selama tiga hari berturut-turut. Penampilan barong ini dimulai dengan
tampilan unen-unen tingkat anggota Brutuk, mereka mengelilingi penyengker pura
selama 3 kali, sambil melambaikan cemeti dengan suara melengking kepada para
penonton (peserta upacara), sehingga membuat para penonton takut. Kemudian
doa-doa dan sesajian dihaturkan oleh seorang pemangku tatkala para tokoh
ningrat seperti raja, ratu, patih dan kakak ratu tampil kemudian keempatnya
juga mengelilingi tembok pura bergabung dengan unen-unen, para peserta
(penonton) berlomba mengambil pakaian daun pisang yang lepas, yang nantinya
disebar di area perkebunan untuk kesuburan.[19]
e. Arsitek
Adat Desa Trunyan
Letak
Desa Trunyan berada di seblah timur danau Batur, maka orientasi masa-masa
bangunannya mengarah ke danau juga. Dalam filosofi bangunan Bali Aga,
bangunannya mengarah ke dataran rendah, dalam hal ini adalah danau itu sendiri,
sedangkan belakangnya berupa pegunungan. Pola desanya berbentuk grid karena
bangunannya kearah danau, sehingga disepanjang pesisir bangunannya menghadap ke
arah danau.
Untuk arsitek
yang berada di Desa Trunyan sangat berbeda dengan arsitektur-arsitektur
ditempat lain. Jika ditempat lain dalam satu pekarangan hanya
terdapat satu kepala keluarga akan tetapi berbeda dengan desa Trunyan dimana di
dalam satu pekarangan terdapat banyak kepala keluarga dimana dalam satu kepala
keluarga memiliki satu bangunan atau rumah dalam satu pekarangan tersebut.
Rumah tersebut dinamai bale saka roras, dimana dalam satu bangunan terdapat
beberapa ruangan yang disesuaikan dengan pembagian dari saka-saka tersebut. Di
dalam ruang tersebut semua kegiatan dilakukan di dalam ruangan. Mulai dari
memasak, makan dan tidur serta berkumpul dengan keluarga.[20]
Gambar :
2. Ritual
dalam Desa Trunyan
Dalam
ritual desa Trunyan yang membedakan dengan ritual suku-suku yang ada di Bali
hanya dilihat dari bentuk pemakamannya. Umumnya dikubur atau dengan Ngaben tapi
di Trunyan hanya diletakkan di bawah pohon saja.
C.
Religi,
Tempat dan Upacara Keagamaan
1. Sistem
Religi Desa Trunyan
Kepercayaan
yang menghubungkan dengan sistem kepercayaan orang Trunyan adalah kepercayaan
mengenal: Dunia gaib, Dewa-dewa, Mahluk-mahluk halus, Roh pribadi dan roh
leluhur, dan Kekuatan sakti. Berikut penjelasan dari kepercayaan-kepercayaan
tersebut.[21]
a) Dunia
Gaib, orang trunyan sadar bahwa dunianya terdiri dari dua aspek, yaitu dunia
nyata dan yang tidak tampak. Yang tidak tampak itu lah yang menjadi sistem
kepercayaan. Dunia ini berada di luar jangkauan panca indrannya dan diluar
batas akalnya, yang disebut dengan dunia gaib. Di dunia tersebutlah terdapat
berbagai mahluk halus dan kekuatan sakti, yang tidak dapat dikuasai manusia
secara biasa, melainkan dengan cara luar biasa, dan karena kebanyakan orang Trunyan tergolong mereka yang tidak mempunyai
ilmu gaib untuk menghadapi mahluk-mahluk dan tenaga-tenaga gaib tersebut, maka
timbullah ketakutan yang sangat terhadap mereka. Jalan yang ditempuh untuk
menhadapinya adalah mengambil hati dan menyembahnya.
b) Dewa-dewa,
jumlah dewa-dewa yang diyakini di Trunyan sendiri sangat banyak. Kebanyakan
dari mereka mempunyai tempat persemayaman (palinggih)
sendiri di dalam kuil utama di Trunyan. Mereka meyakini bahwa dewa akan berada
di tempat persemayaman ketika sedang ada upacara tertentu seperti peringatan
untuk mereka pribadi masing-masing. Dewa disana dapat dibagi menjadi beberapa
golongan, misalnya dewa-dewa di sana dapat dibagi menjadi dua golongan
berdasarkan perhubungannya dengan dewanya (Ratu Sakti Pancering Jagat), yaitu
dalam hubungan kekerabatan, atau dalam hubungan pemerintahan. Adapun pembagian
yang lain dilihat dari perbedaan lokasi palinggihnya, yaitu berada di desa
induk Trunyan. Dewa yang berada digolongan pertama adalah yang dipuja oleh
setiap penduduk Trunyan, yang kedua hanya dipuji oleh penduduk desa tertentu
saja.
c) Mahluk-mahluk
Halus, Selain para dewa orang Trunyan juga mempercayai tentang dunia alam gaib
mereka, berdiam lain-lain mahluk halus, seperti buta kala, anak di petang, jim, bintang-bintang gaib dan lain-lain.
d) Roh
Pribadi dan Roh Leluhur, Orang trunyan juga membedakan antara badan halus dan
badan kasar. Jika badan kasar akan lenyap ketika orang yang memiliki meninggal,
maka badan halus atau rohnya tidak. Roh manusia itu abadi, dan roh tersebut
akan terus kembali menitis ke tubuh orang sedadianya. Penitisan terus menerus suatu roh di dalam
suatu dadia, dari generasi yang satu
ke generasi yang lain, menyebabkan orang Trunyan tidak berani menyakiti anak
dam keturunannya, karena takut anak dan keturunannya itu sebenarnya titisan roh
leluhur.
e) Kekuatan
Sakti, percaya tentang adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam gelaja-gejala,
hal-hal dan peristiwa luar biasa. Gejala dan hal-hal itu dapat berupa gejala
alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh manusia, tumbuh-tumbuhan, benda-
benda serta suara yang luar biasa. Peristiwa luar biasanya itu peristiwa yang
semata-mata menyimpang dari kebiasaan jalan kehidupannya sehari hari.
2. Tempat
dan Upacara Keagamaan
Upacara
keagamaan yang terdapat di suku Trunyan terbagi menjadi lima, yaitu sebagai
berikut:
Pertama, Dewa Yadnya, biasa disebut dengan Odalan, yang
bertujuan untuk mengambil hati dewa yang diupacarakan. Hampir setiap bulan ada
upacara ini. Salah satunya adalah upacara Saba Gede yang dilakukan pada saat Tilem
Kesanga dan Odalan Ratu Pingit Dalem pada saat purnama Sadha.
Kedua, Pitra Yadnya, upacara yang dilakukan untuk para leluhur
dan para kerabat, apabila ada kematian. Ketiga, Resi Yadnya, upacara
yang dilakukan untuk pentahbisan pendeta.Keempat, Buta Yadnya, Upacara
yang dilakukan untuk para buta kala, biasanya juga dengan Mercaru.
Kelima, Manusia Yadnya, upacara yang dilakukan untuk manusia
yang masih hidup. Misalnya upacara ulang tahun otonan yang berlangsung enam
bulan sekali.
Dalam
kebudayaan orang Trunyan, jika seseoran tidak dalam keadaan sebel maka bisa
dikatakan bahwa upacara-upacara yang rutin akan dilakukan setiap lima belas
hari sekali. Dari kelima jenis upacara diatas hanya upacara Odalan,
Mecaru dan Otonan yang dapat dikatakan sebagai upacara rutin.
Hindu Trunyan
tidak memiliki hari raya yang sama dengan Hindu di Bali pada umumnya. Hari-hari
raya seperti galangan, kunigan, ciwartri, saraswatri, dan pagerwesi, tidak
dirayakan. Bahkan nyepi pun tidak. Jika diantara mereka melakukan amati geni
pada saat nyepi bukan karena mereka merayakan tatapi karena takut tidak disebut
sebagai orang Hindu oleh orang Hindu Bali fanatik. Hari dimana upacara seba
gede dilakukan bisa dikatakan sebagai hari raya yagn terbesar bagi orang
Trunyan, selain itu hair pelaksanaannya bertepatan dengan hari raya nyepi.[22]
D.
Interaksi
Kepercayaan Orang Trunyan Dengan Agama-agama Lain
Religi di Desa Trunyan berbentuk variant, atau salah
satu versi yang berbeda dari agama Hindu Bali, yang dapat disebut sebagai agama
Hindu Bali Trunyan, yang selanjutnya merupakan sebagian dari agama Hindu
Dharma, yang juga telah diakui sebagai salah satu agama resmi Indonesia. Agama
Hindu Trunya dianggap sebagai agama varian dari agama Hindu Bali, karena agama
tersebut pada dasarnya lebih berpegang kepada kepercayaan Trunyan asli.
Sedangkan maksut dari kepercayaan Trunyan asli adalah kepercayaan berlandaskan
kepada pemujaan roh leluhur (ancerstor worship), yakni tentang adanya roh
lainnya di alam sekeliling tempat tinggal, sehingga perlu untuk dipuja (animisme).
Walaupun dari luar religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk agama
Hindu, karena sudah mempergunakan liturgy Hindu, lebih tepatnya dengan Hindu
Bali. Namun semua itu digunakan untuk memuja dewa-dewa asli Trunyan.[23]
Dewa-dewa desa Trunyan banyak sekali. Para dewa
tersebut dibagi menjadi dua golongan, yaitu yang dipuja oleh segenap penduduk
Desa Trunyan, dan yang satu dipuji oloh satu atau dua dadiai saja. Golongan pertama sebagian besar bersemayam di dalam
Kuil utama Trunyan, dan golongan kedua bersemayam di sanggah-sanggah dadia yang ada di Desa Trunyan. Para dewa yang
bersemayam di Kuil Bali Desa Pancering Jagat, semuanya berjumlah tujuh belas.
Berikut pembagian penempatan dewa di kuilnya:
1. Lima
dewa berada di pelinggih yang berada di komplek Maospait Tempek Semangen, yaitu
bagian terluar kuil Trunyan
2. Tiga
dewa bersemayam di pelinggih yang berada di kompleks Madruwe, yang berada di
timur Tinggih Tengah.
3. Dua
dewa bersemayam di kompleks Gunung Agung kuil utama Trunyan.
4. Tiga
dewa bersemayam di kompleks kuil utama
Trunyan yang tersuci.
5. Empat
dewa bersemayam di kompleks Kepasekan
6. Satu
dewa bersemayam di kompleks Kemulan Kangin
Dari dewa-dewa tersebut yang paling tinggi
kedudukannya adalah mereka yang bersemayam di kompleks Penaleman, terutama di
komplek Penaleman terdalam, karena ibarat suatu kerajaan disanalah berdiam raja
serta permaisurinya.[24]
Dinamika budaya serta perubahan sosial di Trunyan juga menjadi salah satu bukti
interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak Trunyan yang terpencil dari
kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada lainnya. Biarpun
seperti itu desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar, terutama dalam
penyebaran agama Hindu disana, yang mayoritas di anaut oleh masyarakat Bali.
Persentuhan desa Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama.
Namun persentuhan tersebut sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu,
persentuhan yang dibawa dari masa kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa,
India dan Cina, ternyata tidak berdampak begitu berarti pada perkembangan kepercayaan.
Mereka dengan teguh tetap berusaha melestarikan kebudayaan yang dimiliki.
Apalagi dewasa ini, Bali secara keseluruhan telah dikenal di mata Internasional
menjadi salah satu tujuan wisata. Selain karena keindahan alam laiknya sentuhan
agung Tuhan surgawi, juga karena keteguhan penduduknya akan tradisi keagamaan,
yang lebih dikenal sebagai “Pulau Dewata”.
Dukungan dari pemerintahan untuk pariwisata seperti
ini yang menyebabkan tradisi budaya lokal terus digalakan perkembangannya. Dewasa
ini, pertumbuhan pembangunan modern sudah sangat nampak di daerah Trunyan.
Pembangunan hotel, villa, restoran serta tempat peristirahatan lainnya
berkembang pesat. Disamping itu, pembangunan kuil sesembahan, tempat pemujaan
juga banyak dibangun. Meski sepertinya ada sangat besar pergeseran nilai yang
terjadi seperti pergeseran kehidupan pertanian ke sektor pariwisata, namun
pelestarian kebudayaan dan kepercayaan masih terus akan bertahan dan
berkembang.[25]
Dinamika budaya serta perubahan sosial di Trunyan juga menjadi salah satu bukti
interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak Trunyan yang terpencil dari
kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada lainnya. Biarpun
seperti itu desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar, terutama dalam
penyebaran agama Hindu disana, yang mayoritas di anaut oleh masyarakat Bali.
Persentuhan desa Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama.
Namun persentuhan tersebut sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu, persentuhan
yang dibawa dari masa kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa, India dan
Cina, ternyata tidak berdampak begitu berarti pada perkembangan kepercayaan. Mereka
dengan teguh tetap berusaha melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Apalagi
dewasa ini, Bali secara keseluruhan telah dikenal di mata Internasional menjadi
salah satu tujuan wisata. Selain karena keindahan alam laiknya sentuhan agung
Tuhan surgawi, juga karena keteguhan penduduknya akan tradisi keagamaan, yang
lebih dikenal sebagai “Pulau Dewata”.
Dukungan
dari pemerintahan untuk pariwisata seperti ini yang menyebabkan tradisi budaya
lokal terus digalakan perkembangannya. Dewasa ini, pertumbuhan pembangunan
modern sudah sangat nampak di daerah Trunyan. Pembangunan hotel, villa,
restoran serta tempat peristirahatan lainnya berkembang pesat. Disamping itu,
pembangunan kuil sesembahan, tempat pemujaan juga banyak dibangun. Meski
sepertinya ada sangat besar pergeseran nilai yang terjadi seperti pergeseran
kehidupan pertanian ke sektor pariwisata, namun pelestarian kebudayaan dan
kepercayaan masih terus akan bertahan dan berkembang.[26]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Suku
Trunyan awalnya terjadi disebabkan bau harum dari sebuah pohon yang disebut
Taru Menyan, yang mempunyai arti pohon harum, yang menjadikan ketertarikan bagi
siapa saja yang menghirupnya, hingga pangeran dan putri dari kerajaan Surakarta
memutuskan untuk mencari bau harum itu. Dari cerita itulah awal mula terjadi
DesamTrunyan.
Dari
segala adat kebudayaan yang menjadi sorotan adalah tradisi pemakaman di desa
ini. Jika pada umumnya di Bali, orang meninggal di makamkan, ataupun dengan
cara Ngaben, namun di Trunyan hanya di letakkan dibawah pohon Taru Menyan, atau
disebut dengan peristiwa Mepesah. Walaupun banyak yang bilang Bali Trunyan
adalah Hindu namun pada kenyatannya banyak dari ajaran maupun keprcayaan mereka
yang berbeda dari orang Hindu yang ada di Bali pada umumnya. Mereka mempunyai
dewa-dewa sendiri.
B.
Saran
Makalah
ini hanya mengambil sebagian kecil dari apa yang kita bahas. Maka dari itu di
sarankan buat pembaca supaya lebih mendalami dari tulisan-tulisan lain agar
bertambah dalam kepahaman dan ilmu yang didapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, JamesKebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta:
UI-Press, 1989)
Junus, M Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa Di Indonesia,(Jakarta:
CV. Eka Putra,1995)
Trisila, Akulturasi Budaya Islam Hindu di
Bali, (Depasar : Universitas Udayana, 2002)
http://www.dgspeak.com/mengenal-sejarah-desa-trunyan/,
13 Maret 2016
[1]James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali,
(Jakarta: UI-Press, 1989), h. 32
3
Diakses
dari http://ceritadewata.blogspot.co.id/2012/08/kisah-putri-ayu-di-desa-trunyan.html,
pada 15 Maret 2016
[5]James Danandjaja, Op.cit, h. 42
[6] Ibid, h. 43
[8]
Ibid, h. 467
[9] James Danandjaja, Op.cit, h. 471
[10] James Danandajaja, Ibid, h. 466
[11]
Ibid, h. 474
[12] Ibid, h. 468
[13] Ibid, h.469
[14]
Diakses pada 03 Maret 2016
dari https://embunpagii.wordpress.com/2011/01/09/trunyan/
[15]
Diakses pada 03 Maret 2016 dari https://embunpagii.wordpress.com/2011/01/09/trunyan/
[16]
Diakses pada 03 Maret 2016 dari https://embunpagii.wordpress.com/2011/01/09/trunyan/
[17] Diakses pada 03 Maret 2016 dari
https://embunpagii.wordpress.com/2011/01/09/trunyan/
[18] Diakses pada 03 Maret 2016 dari
https://embunpagii.wordpress.com/2011/01/09/trunyan/
[19] Diakses pada 3 Maret 2016 https://www.google.com/search?q=barong+brutuk&source=lnms&tbm=isch&sa
[20]M. Junus Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa Di Indonesia,
(Jakarta: CV. Eka Putra, 1995), h. 843
[21]
James Dananjaja, Op.cit, h. 316
[22]
James Dananjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta, UI
Press, 1980) h. 657
[23]
Kuntjaraningrat,
Ilmu Antropologi, (Jakarta: UI Press,
1967), h. 218
[24] James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (
Jakarta: UI Press, 1989), h. 634
[25] James Dananjaja, Kebudayaan Petani Desa
Trunyan Di Bali, (Jakarta, UI Press, 1980) h. 444
[26]James
Dananjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta, UI Press,
1980) h. 444
Mr. Macaulay Culkin - Dr.D.M.C.
BalasHapusI started playing casino games at 경기도 출장마사지 Mr. Macaulay in Las Vegas, Nevada. 시흥 출장마사지 I began playing casino games 의왕 출장안마 at Mr. Macaulay 아산 출장안마 and 김천 출장안마 my wife and three dogs.