laporan observasi
kearifan lokal DESA bandrong PANDEGLANG
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Agama Lokal
Oleh
1.
Windi Anisa Dhiya 11140321000058
2.
Siti Meli Marliana 11140321000049
3.
M. Ibnu Sina 11140321000048
4.
Athoillah Tantowi 11140321000071
5.
M. Fauzan Chair
11140321000054
|
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Local wisdom merupakan nilai yang dianggap baik dan benar yang berlangsung secara turun-temurun
dan dilaksanakan oleh masyarakat daerah setempat. Begitu halnya dengan suku
atau desa yang ada Provinsi Banten, selain suku Baduy ada pula desa-desa di
Banten yang memiliki local wisdom. Laporan ini merupakan hasil observasi di
Desa Bandrong kecamatan Saketi, kabupaten Pandeglang, provinsi Banten. Desa
Bandrong yang sebagian besar penduduknya beragama Islam namun memiliki keunikan
tersendiri yang berbeda terutama karena budaya dan adat setempat yang masih
sangat kental.
1.2 Rumusan masalah
1.
Bagaimana profil desa Bandrong?
2.
Apa saja kepercayaan lokal di desa Bandrong?
3.
Bagaimana ritual dan upacara keagamaan di desa
Bandrong?
4.
Apa yang di maksud dengan dzikir saman?
5.
Bagaimana prosesi adat perkawinan masyarakat Bandrong?
1.3 Tujuan penulisan
1.
Untuk mengetahui letak
geografis dan asal-usul desa Bandrong
2.
Untuk
mengetahui kepercayaan lokal yang ada di desa
Bandrong
3.
Untuk mengetahui apa saja ritual dan upacara keagamaan
di desa Bandrong
4.
Untuk mengetahui seperti apa dzikir saman
5.
Untuk mengetahui prosesi adat perkawinan masyarakat
Bandrong
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Profil Desa Bandrong
A. Letak
Geografis
Sumber: www.bantenprov.go.id
Secara
administrasi Desa Bandrong terletak di wilayah Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Wilayah
Desa Bandrong dibatasi oleh wilayah-wilayah desa tetangga. Pada bagian sebelah
Utara berbatasan dengan Desa Bandrong,
disebelah Selatan berbatasan dengan Desa Ciandur, disebelah Barat berbatasan
dengan Desa Talagasari dan sisi Timur berbatasan dengan Desa Kadudampit.[1]
B.
Asal-Usul
Desa Bandrong
Desa Bandrong
merupakan desa pemekaran dari Desa Wanagiri pada tahun 1982. Sebagaiman
keterangan dari tokoh dan sesepuh masyarakat bahwa pada tahun 1982 pada saat
itu Desa Bandrong sudah padat dengan penduduk serta
kondisi wilayah yang sangat repot bagi sebagian besar masyarakat untuk menempuh
jarak ke kantor desa. Atas dasar pertimbangan dan persetujuan pihak terkait
maka dimekarkanlah menjadi Desa Bandrong , sebagai mana bahwa desa Bandrong
berada dibagaian selatan Gunung Pulosari, serta "Bandrong" yakni
merupakan kata yang mencerminkan kekuatan/kokoh sebuah Gunung, maka disepakati
tokoh-tokoh dan kasepuhan masyarakat dinamakan Desa Bandrong.[2]
2.2 Kepercayaan Lokal Desa Bandrong
A. Keberadaan Gunung Pulosari
Pulosari yang dipercaya sebagai salah satu gunung keramat
diperkirakan telah muncul jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banten Girang yaitu
kerajaan yang bercorak Hindu/Buddha sebelum berdirinya Kesultanan Banten Islam.
Berita-berita dari beberapa pakar kepurbakalaan seperti Pleyte mengisahkan
Sanghyangdengdek. Berdasarkan sumber cerita Ahmad Djayadiningrat pada tahun
1913 dan NJ Krom dalam Rapporten van der Oudheikundingen Diens in Nederlandsch
Indie tahun 1914 menyatakan pula bahwa di seputar Kabupaten Pandeglang ada
peninggalan arkeologi berupa arca nenek moyang. Salah satu arca yang dimaksud
adalah patung tipe polinesia di Tenjo (Sanghyangdengdek).
Gambaran Gunung Pulosari sebagai gunung keramat diperoleh pula dari
keterangan Claude Guillot bahwa di Desa Sanghyangdengdek, Kecamatan Saketi,
Kabupaten Pandeglang terdapat pemujaan lama yang menyandang nama dewa.[3]
Tempat pemujaan tersebut sudah lama dikenal berupa
batu berdiri yang tingginya kira-kira satu meter dan puncaknya dipahat
sederhana dan kasar berbentuk kepala, mata bulat, mulutnya hanya berupa
goresan, telinganya dibuat hanya tipis sederhana dan hidung tidak nyata,
lengan-lengan dan kelamin lelaki kelihatan pula, tetapi hampir tidak menonjol. Tidak
hanya itu. Keberadaan Gunung Pulosari yang dikenal sebagai gunung keramat dapat
dikatakan sebagai salah satu pusat peradaban masa lalu di daerah Banten. Pernyataan
ini tentunya didukung bukti-bukti peninggalannya. Kira-kira empat kilometer
dari Sanghyangdengdek di atas bukit Kaduguling tepatnya di perbatasan Desa
Sukasari dan Desa Bongkaslandeuh, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang
terdapat kompleks megalitik berlanjut yang disebut Batu Goong-Citaman. Hasil
penggambaran Direktorat Purbakala tahun 1999, tampak situs Batu Goong adalah
punden berundak yang merekayasa bentukan alam. Bukit Kaduguling sebagai bukit
tertinggi di seputar situs, posisinya tepat berada pada garis lurus ke Sanghyangdengdek
berorientasi ke puncak Gunung Pulosari dibentuk pelataran-pelataran
bertrap-trap makin ke timur makin tinggi menjadikan bentuk
memusat ke belakang. Di tempat tertinggi itulah ditempatkan Batu Goong
bersama menhir. Menhir ini berdiri di tengah-tengah sebagai pusat dikelilingi
oleh batu-batu yang berbentuk gamelan seperti gong dan batu pelinggih. Formasi
semacam ini lazim disebut formasi “temu gelang”. Di tempat lain dapat diperbandingkan
dengan peninggalan megalitik di Matesih, Jawa Tengah, dan di
situs Pugungraharjo di Lampung Timur.
Selain gunung Pulosari di Kampung Cidaresi, Desa
Palanyar, Kecamatan Cimanuk, ditemukan pula batu monolit megalitik yang
ternyata batu bergores. Bentuk goresannya sangat berlainan dari batu-batu
bergores di tempat lain. Batu
bergores Cidaresi berbentuk segi tiga dengan lubang di tengah-tengah
sehingga
menyerupai kemaluan wanita. Karena itu, penduduk setempat menamakannya
“batu tumbung” yang berarti kemaluan wanita. Diduga batu Cidaresi ini
menggambarkan simbol kesuburan, atau sebagai lambang kesucian wanita.[4]
Menurut narasumber mang Haji Lukman pada bulan
Safar masyarakat desa Bandrong ngeriung, mengadakan pengajian, setiap warga membawa
nasi, ikan dan lauk pauk, kemudian duduk dan makan bersama di pinggir jalan
kampung. Setelah itu biasanya keesokan harinya para pemuda di desa Bandrong naik
gunung pulosari namun tidak melakukan ritual kesana hanya mendaki saja karena
di percaya bahwa gunung Pulosari merupakan gunung keramat.[5]
B.
Keberadaan
Batu Qur’an di Cibulakan
Batu Qur’an terdapat di mata air
cibulakan atau biasa disebut cimajep. Batu Qur’an berada di dalam mata air yang
jernih dan bersih. Ketika kami melihat batu Qur’an kami tidak melihat ayat suci
Al-Qur’an di atasnya. Tetapi, menurut narasumber mamang Haji Lukman, secara
kasat mata batu tersebut akan terlihat seperti batu pada umumnya kecuali dengan
hati dan jiwa yang bersih bisa melihat tulisan al-Qur’an pada batu tersebut,
yaitu dengan melakukan beberapa proses ritual, seperti berpuasa, shalat, dzikir
dan memanjatkan doa kepada Allah SWT. Sebab, hanya atas izin Allah seseorang
bisa melihatnya. Para peziarah yang datang meyakini air dari kolam Batu Qur’an
memiliki khasiat sebagai obat. Kemudian, bagi yang bisa menyelam dan berenang
sambil mengitari batu Qur’an sebanyak tujuh kali, permintaannya akan terkabul.
Masih banyak hal-hal lain yang diyakini para peziarah. Namun, yang paling
meyakinkan adalah Batu Qur’an berkaitan erat dengan nama Syekh Maulana Mansyur,
seorang ulama terkenal di jaman kesultanan Banten abad ke-15.
Batu Qur’an tidak boleh di injak,
para petani disana yang hanya sekedar minum atau membersihkan diri biasa
menggeser atau memindahkan batu Qur’an agar tidak terinjak untuk menghormati
karena batu tersebut dianggap suci dan keramat. Menurut narasumber juga ada
pendapat lain yang mengatakan kalau batu Qur’an tersebut dahulu pernah
dijadikan tempat Syekh Maulana tadarus Qur’an hingga khatam. Di siang hari mata
air cimajep dianggap memiliki kekuatan gaib seperti contohnya dahulu ada seseorang yang mandi ke cibulakan atau
cimajep di tengah hari namun orang yang mandi tersebut tidak mau pulang hingga
malam setelah di obati oleh orang pintar ternyata disana banyak makhluk
halusnya. Ada juga sebagian orang yang mengatakan sebelum ke mata air bahwa
disana ikannya banyak namun setelah sampai disana ikan-ikannya justru tidak
terlihat.[6]
Batu Qur’an yang ada di mata air cibulakan atau cimajep. Foto ini diambil
oleh: Windi
C.
Kepercayaan
Keris
Tidak semua masyarakat di desa Bandrong
memiliki keris, namun narasumber kami aa Dicki Herlimana memiliki Keris yang
dianggap sakti atau memiliki kekuatan. contohnya keris marmesem untuk memikat
hati orang lain, untuk jodoh, untuk melancarkan suatu hubungan. Caranya keris
di dekatkan ke lawan jenis dengan menempelkan pada badannya sedikit tanpa
sepengetahuan orang itu atau juga kerisnya di bacain agar yang punya keris itu
dilihat orang enak di pandang disukai banyak orang. Keris biasa untuk jaga diri
isinya harimau dan selempang, di baca-baca doa kemudian keris akan bergerak
sendiri. Keris dimandiinnya pada bulan-bulan Islam seperti bulan safar dan pada
malam jumat keliwon, menggunakan air, kelapa ijo, minyak wangi, dan kembang tujuh
rupa. Kegunaan keris tergantung dengan kepentingan orang-orangnya yang
memiliki.[7]
Ket:
foto ini di ambil oleh Dede Nurafiyah di kediaman kang Diki Herliman
Ket:
foto ini di ambil oleh Dede Nurafiyah di kediaman kang Diki Herliman
2.3 Ritual dan Upacara Keagamaan di Desa Bandrong
A.
Selametan Kehamilan
Di desa Bandrong
Selametan dilakukan oleh wanita yang sedang hamil 3 bulan, 4 bulan dan 7 bulan.
Selametan 3 dan 4 bulan dilakukan seperti Selametan biasa pada umumnya
mengadakan pengajian yang dihadiri oleh saudara dan kerabat serta
tetangga-tetangga. Sedangkan selametan 7 bulan atau yang orang Jawa suka
menyebutnya nujuh bulan yaitu dengan cara membuat rujak buah, rujak dibuat
bersama oleh ibu-ibu di sekitar rumah. Kemudian rujak tersebut di bungkus menggunakan
daun pisang atau daun pisang yang dibuat seperti mangkok dan dicicipi oleh
tetangga-tetangga terdekat kalau rasanya enak berarti anak yang dikandungnya
merupakan anak perempuan, begitupun sebaliknya jika rasanya tidak enak maka
anak tersebut merupakan anak laki-laki.[8]
B.
Maulid Nabi (Maulidan)
Menurut narasumber mamang
Haji Lukman tanggal dan hari perayaan Maulidan tidak mesti pada hari itu juga
yang tertera pada kalender. Kapan saja diadakan yang terpenting niatnya untuk
mengagungkan Nabi besar Muhammad Saw. Maulidan dilakukan dengan masyarakat
setempat mambawa hasil bumi ke masjid. Yang dihadiri semua masyarakat desa,
BUPATI dan pemerintah desa dan kabupaten juga diundang. Acara maulidan yang
pertama melaksanakan Salsilah atau kirim doa seakan-seakan saudara atau kerabat
yang sudah tiada dan namanya disebut dalam doa akan hadir di tengah-tengah
acara berlangsung, yang kedua melakukan pembacaan illahi, yang ketiga sambutan
panitia, pemerintah, yang ke empat membaca kitab albarjanji dan bacaannya pada
bagian tertentu, selanjutnya melakukan dzikir Saman, dan doa dipimpin oleh
sesepuh. Acara puncak yakni pengambilan hadiah yaitu seperti TV di bungkus
menarik di tempel mie instant, uang, bunga sambil dibawa penari saman dan tetap
melakukan dzikir lagi dengan berjalan disaksikan oleh masyarakat banyak.[9]
C.
Dzikir Saman
Seni pertunjukan yang berfungsi sebagai sarana
ritual banyak berkembang di kalangan masyarakat yang dalam tata kehidupannya
masih mengacu pada nilai nilai budaya yang agraris, serta masyarakat yang
memeluk agama dalam kegiatan keagamaannya sangat melibatkan seni pertunjukan. Menurut
narasumber dzikir saman atau tarian saman ini pembawanya adalah Syekh Saman
yang dahulu membawa tari Saman ke dua daerah pertama di Aceh dan kedua di
banten, tariannya berbeda tapi gunanya sama yaitu untuk memperkenalkan Islam
pada waktu dulu.[10]
Adapun ciri-ciri seni
pertunjukan ritual memiliki ciri-ciri khas,yaitu :
(1)
diperlukan pemilihan hari serta saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap
sakral
(2)
diperlukan permainan yang terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci atau
yang telah membersihkan diri secara spiritual
(3)
tujuan lebih dipentingkan dari pada penampilannya secara estetis; dan
(4)
diperlukan busana yang khas.
Dzikir Saman yang merupakan Fungsi ekonomi
Masyarakat Desa Ciandur, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang-Banten,
mengaitkan agama dengan kebudayaan yang ada pada masyarakat yang terkait dengan
unsur-unsur lain, seperti kesenian, mata pencaharian dan lain sebagainya.
Kesenian yang hidup dan berkembang di Desa Ciandur yaitu Seni Dzikir Saman
sangat kental sekali dengan agama Islam di dalamnya, karena disetiap bagian-bagian
dari kesenian ini tidak lepas dari berdzikir dan berdoa pada Allah SWT. “Religiusitas
manusia yang tercermin dalam kesenian dan kebudayaan mereka tidak lepas dari
pemahaman tentang kehidupan beragama dan kebudayaan yang dianut oleh
masyarakat”. Seni Dzikir Saman sudah ada sejak zaman kesultanan Banten, yang
dikenalkan oleh para ulama sebagai penyebaran agama islam. Seperti yang kita
ketahui, kesultanan Banten dahulu adalah kesultanan yang sangat makmur sebagai
pusat penyebaran agama islam. Pada mulanya Seni Dzikir Saman muncul hanya untuk
penyambutan hari lahir Nabi Muhammad SAW saja. Pada saat itu yang dilakukan hanyalah
berdzikir dan berdzikir semat-mata untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipa.
Dewasa ini, “Seni Dzikir Saman telah berkembang sebagai seni pertunjukan yang
berfungsi sebagai hiburan”.[11]
Masyarakat
sering menganggap pertunjukan Seni Dzikir Saman sebagai ungkapan rasa syukur
atas peristiwa penting, seperti khitanan, upacara dan pernikahan. Latar
Belakang Lahir dan Berkembangnya Seni Dzikir Saman di Desa Ciandur Kecamatan
Saketi Kabupaten Pandeglang Dikenalkannya Seni Dzikir Saman oleh Bapak Sarka
Affandi di Kabupaten Pandeglang Kecamatan Saketi Desa Ciandur, tidak hanya
dalam bentuk dzikir dan membaca kitab “Berjanji”/”Albarjanji” saja, tetapi
dimasukannya gerakan-gerakan di dalamnya yang menyesuaikan dengan irama beluk.
Gerakan-gerakan yang diciptakan oleh beliau masih sangat sederhana atau begitu
simple. setelah wafatnya Bapak Sarka Affandi, kepemimpinan di gantikan oleh
Bapak H. Lukman yang kebetulan narasumber kami sendiri, bapak H. Lukman hingga
sekarang dan melahirkan sebuah perkumpulan baru yang diberi nama “Mekar Muda”.
Pada masa kepemimpinan Bapak H. Lukman, Seni Dzikir Saman di Desa Ciandur
Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang mengalami banyak perkembangan, baik itu
dari segi gerak, kostum dan pola lantai. Hal ini bertujuan agar Seni Dzikir Saman
di Desa Ciandur tidak berkesan monoton. Pertunjukan Seni Dzikir Saman dilakukan
seharian, dari mulai pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 18.00 WIB.
Pertunjukan Seni Dzikir Saman dibagi kedalam tiga babakan yang masing-masing
babakan dimulai pada jam yang berbeda. Babakan yang pertama yaitu babakan
dzikir yang dimana pada babakan ini, seluruh pemain hanya melakukan dzikir
dengan khidmat, masing-masing pemain saling berhadapan satu dengan yang lainnya
sampai batas waktu yang ditentukan batas waktu dilakukan mulai pukul
08.00-12.00 WIB. Babakan yang kedua yaitu babakan asroqol, pada babakan ini
merupakan bagian yang menonjolkan lengkingan suara untuk mengucapkan
syair-syair yang mengagungkan Nabi Muhammad SAW yang diambil dari kitab
“Albarjanji”. Selain tukang beluk melengkingkan suaranya, pada babakan ini pun
mulai terdapat gerakan-gerakan sederhana, tidak hanya duduk saja, terkadang
melakukan gerak berdiri, jongkok dan berputar. Selain itu, pemain mengadukan
hihidnya dengan pemain lainnya. Babakan yang terakhir yaitu babakan saman, yang
dimulai pada pukul 16.00 sampai dengan selesai, tapi biasanya sebelum maghrib
pertunjukan Dzikir Saman sudah selesai. Pada bagian ini seluruh pemain Dzikir
Saman melakukan joged dengan masyarakat atau penonton (Ngalage) sesuai dengan
irama beluk, karena babakan ini merupakan bagian hiburan dari pertunjukan
Dzikir Saman. Setiap babak pastilah ada pola lantai, namun pada pola lantai
yang terdapat pada Seni Dzikir Saman di Desa Ciandur khususnya, tidak mempunyai
makna atau arti tersendiri, hanya untuk memperlihatkana nilai estetisnya saja.
Sebelum penyajian Dzikir Saman berakhir, dilakukan pembacaan doa bersama-sama. [12]
Fungsi Seni Dzikir Saman di Desa Ciandur Kecamatan
Saketi Kabupaten Pandeglang-Banten Dzikir Saman di Desa Ciandur memiliki
berbagai macam fungsi di kalangan masyarakat setempat. Fungsi-fungsi yang
dimiliki oleh Seni Dzikir Saman yaitu sebagai sarana ritual, sebagai sarana
hiburan, sebagai sarana sosial dan sebagai sarana ekonomi. Unsur-unsur religi
terlihat sekali pada kesenian ini, karena dalam penyajiannya tidak terlepas
dari doa-doa, baik ditujukan langsung kepada Tuhan maupun doa yang ditujukan
khusus untuk menghormati leluhur mereka. Sedangkan unsur hiburan bisa dilihat
pada saat sebelum akhir pertunjukan Dzikir Saman, khususnya pada babakan Saman.
Mengapa Dzikir Saman berfungsi sebagai sarana ritual, karena sehari sebelum
dilaksanakannya pertunjukan, semua pemain Dzikir Saman terlebih dahulu
melakukan sebuah ritual yang sudah biasa dilakukan, yaitu mengunjungi pemakaman
leluhur mereka disertai dengan membakar kemenyan, ini bertujuan untuk
menghormati leluhur mereka dan meminta izin agar pada saat pertunjukan Seni
Dzikir Saman dapat berjalan dengan lancar.[13]
Akan tetapi, pada masa sekarang
ritual-ritual tersebut hanya sebagai formalitas semata. Ritual-ritual tersebut
masih tetap dilakukan, tetapi tanpa adanya keyakinan yang berlebih. Fungsi Seni
Dzikir Saman sebagai sarana hiburan, karena pada masa sekarang, dapat
dipertunjukan pula di acara-acara seperti pernikahan, dan khitanan. Selain
sebagai fungsi ritual dan fungsi hiburan, Dzikir Saman pun berfungsi sebagai
sarana sosial, karena sebelum dan setelah melaksanakan pertunjukan Dzikir Saman
melibatkan masyarakat, sehingga dapat menjalin silaturahmi dan dapat memupuk tali
persaudaran antara masyarakat dengan pemain Dzikir Saman. Fungsi terakhir dari
Dzikir Saman yaitu sebagai sarana ekonomi, karena untuk mereka yang tergabung
dengan perkumpulan Seni Dzikir Saman di Desa Ciandur, dengan adanya kesenian
ini mereka sangat terbantu, selain mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya
masing-masing, juga mendapatkan penghasilan tambahan sebagai penyambung biaya
hidupnya.[14]
HGF
F
Ket: kitab Albarjanji, foto ini diambil di kediaman mamang Haji Lukman
selaku ketua RT dan ketua pemimpin Saman
Ket: atribut dan pakaian tarian dzikir Saman diperagakan oleh M. Fauzan, M.
Irfan, Athoillah dan M. Ibnu
Sumber:https://www.bing.com/images/search?q=dzikir+saman&view=detailv2&&id
D. Upacara
Perkawinan
Sebelum melangsungkan pernikahan
ada istilah yang di sebut dengan Nakeni, dimana pihak keluarga perempuan
mendahului datang ke tempat laki-laki yang dirasa pantas untuk menjadi calon
menantunya, untuk mempertanyakan apakah anak laki-lakinya sudah mempunyai calon
istri atau belum. Tapi pada perkembangan Nakeni saat ini dijadikan sebagai
suatu upaya untuk mendekatkan keduanya dalam menjaga silaturahmi.[15]
Tahapan selanjutnya adalah
Mastetaken, istilah yang digunakan untuk mematangkan rencana yang telah di
sampaikan pada upacara Nakeni. Wakil orang tua calon laki-laki berkunjung pada
calon pengantin perempuan untuk melamar dan menentukan hari baik pernikahan.
Pada kesempatan ini, dibawakan seserahan yang biasanya berupa seperangkat
pakaian perempuan. Pada hari yang telah ditentukan, mempelai laki-laki
melaksanakan akad nikah namun sebelumnya ada upacara Mapag pengantin atau
upacara kedatangan calon pengantin laki-laki beserta keluarganya. Pada prosesi
ini mempelai di sambut dengan tarian penyambutan. Dalam prosesi akad nikah,
pengantin perempuan tidak di sandingkan dengan pengantin laki-laki. Setelah
selesai prosesi akad nikah barulah keduanya duduk bersanding. Setelah
mendapatkan doa restu dari seluruh keluarga pengantin laki-laki pulang ke
rumahnya untuk mengikuti acara adat yang berlangsung pada malam harinya.
Sedangkan pengantin perempuan dan orang tuanya tetap di rumah untuk
mempersiapkan upacara Mapag Jawadah.[16]
Masih di hari yang sama,
pada malam harinya diadakan prosesi adat Mapag Jawadah yakni merupakan
penjemputan jawadah atau makanan kecil berbagai jenis seperti kue lapis, pisang
setandan, tebu wulung, tumpeng kecil dari beras ketan, dan sebagainya dari rumah
keluarga pengantin laki-laki. Pengantin perempuan bersama keluarganya
menyambangi ke kediaman pengantin laki-laki untuk selanjutnya membawa jawadah.
Selama Mapag Jawadah, sepanjang perjalanan sambil bershalawat.[17]
Kedua pengantin selanjutnya
di arak menuju rumah pengantin perempuan dan di dampingi keluarga kedua belah
pihak sambil diiringi lantunan Marhaban. Setelah tiba di kediaman pengantin
perempuan dilanjutkan dengan Yalil (buka pintu). Disini pengantin perempuan di
bawa masuk ke dalam rumah sedangkan pengantin laki-laki menunggu di depan pintu
yang di beri tirai. Pelaksanaan buka pintu di lakukan oleh rombongan fakih yang
lazim di sebut Yalil. Di dalam Yalil tersebut berisi nasehat-nasehat yang di
selingi dengan kata-kata menggoda pengantin.
Prosesi selanjutnya
adalah ngeroncong (nyembah). Kedua mempelai duduk di pelaminan, di depannya ada
wadah seperti baskom kecil untuk menampung uang, keluarga bergantian
melemparkan uang receh sebagai simbol pemberian bekal untuk memulai hidup baru.
Selanjutnya yang terakhir merupakan acara arak-arakan atau ngarak pengantin
dengan di meriahkan oleh tabuhan musik rebana dan lantunan doa-doa pujian kehadirat
Illahi.[18]
2.5 Dokumentasi
Ket: Foto
bersama Bapak Haji Lukman dan Istri
Ket: Foto
bersama Jaro desa kanekes Baduy luar, pak Saija
Ket: Foto
perjalanan ke Cimajep mata air yang terdapat batu Qur’an
BAB III
PENUTUP
Setiap daerah memiliki lokal wisdom yang
beragam begitu pula di desa Bandrong. Setelah kami melakukan observasi barulah
kami mengetahui ternyata masih ada lokal wisdom di desa yang juga sudah
beranjak modern. Banten tidak lepas dari pengaruh ajaran agama Islam, hal ini
di karenakan Banten pernah manjadi kerajaan Islam tertua di nusantara. Syekh
Saman membawa tarian Saman bukan hanya di Aceh saja, walaupun yang lebih di
kenal adalah tarian adat Aceh, namun sebenarnya di Banten juga ada tari Saman
yang dibawa oleh Syekh Saman meskipun berbeda pembawaan tariannya tetapi tujuannya
sama yaitu untuk memperkenalkan Islam pada zaman dahulu. Daerah banten
khususnya desa Bandrong meskipun sudah banyak yang memeluk agama Islam tetapi
masyarakatnya masih mempercayai hal-hal mistik seperti keris yang memiliki
kesaktian dan lain sebagainya. Dalam prosesi pernikahan desa Bandrong sangat
kental dengan budaya Islamnya, sedangkan dalam upacara kematian sama seperti
orang Islam pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Wawancara langsung dengan narasumber
mamang Haji Lukman selaku ketua RT desa Bandrong sekaligus ketua penari saman
desa Ciandur.
Wawancara langsung dengan salah seorang
pemuda di desa Bandrong, Dicki Herlimana
http://www.bantenprov.go.id
pada 12 Mei. 16
http://www.pandeglangkab.go.id
pada 12 Mei. 16
http://ghoibnet.blogspot.co.id/2011/12/gunung-pulosari-pusat-peradaban-masa.html
pada 12 Mei. 16
http://rumahmanten.com/?ForceFlash=true#/submenu/pernikahan-adat-banten.html
pada 12 Mei. 16
[1]
Di akses dari http://www.bantenprov.go.id pada 12 Mei. 16
[2]
Di akses dari http://www.bantenprov.go.id pada 12 Mei. 16
[3]
Di akses dari http://www.pandeglangkab.go.id pada 12 Mei. 16
[4]
Di akses dari http://ghoibnet.blogspot.co.id/2011/12/gunung-pulosari-pusat-peradaban-masa.html
pada 12 Mei. 16
[5]
Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[6]
Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[7]
Wawancara dengan pemuda di Desa Bandrong yaitu aa Dicki Herlimana
[8]
Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[9]
Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[10]
Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[11]
Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[12]
Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[13]
Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[14]
Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[15]
Di akses dari http://rumahmanten.com/?ForceFlash=true#/submenu/pernikahan-adat-banten.html
pada 12 Mei. 16
[16]
Di akses dari http://rumahmanten.com/?ForceFlash=true#/submenu/pernikahan-adat-banten.html
pada 12 Mei. 16
[17]
Di akses dari http://rumahmanten.com/?ForceFlash=true#/submenu/pernikahan-adat-banten.html
pada 12 Mei. 16
[18]
Di akses dari http://rumahmanten.com/?ForceFlash=true#/submenu/pernikahan-adat-banten.html
pada 12 Mei. 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar