Kamis, 16 Juni 2016

SUKU MANDAR



Suku Mandar 

A.  Letak Geografis
Hasil gambar untuk peta suku mandar 
Gambar : https://www.google.com/search?q=peta+suku+mandar&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjjzdmcoKzNAhXKPY8KHSLsAPgQ_AUICCgB&biw=1366&bih=657
Wilayah suku mandar terletak di ujung utara Sulawesi Selatan tepatnya di Sulawesi Barat dengan letak geografis antara 10-30 lintang selatan dan antara 1’180-1’190 bujur timur.
Luas wilayah Mandar adalah 23.539,40 km2, terurai dengan :
1. luas kabupaten Mamuju dan Mamuju Utara : 11.622,40 Km2
2. luas kabupaten Mameje : 1.932 Km2
3. luas kabupaten Polewali Mamasa : 9.985 Km2[1]
B.  Asal-Usul
Kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.
Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.[2]

C.   Sistem Religi
Pada umumnya dewasa ini suku Mandar adalah penganut agama Islam yang setia tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lepas dari kepercayaan-kepercayaan seperti pemali, larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat atau benda-benda keramat dan sesaji. Didaerah pedalaman seperti di pegunungan Pitu Ulunna Salu sebelum Islam masuk, religi budaya yang dikenal ketika itu adalah adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai bepeganng pada falsafah Pemali Appa Randanna.
Sedangkan untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga sendiri, religi budayanya dapat ditemui pada peningglannya yang berupa ritual dan upacara-upacara adat yang tampaknya bisa dijadikan patokan bahwa ia besumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya. Seperti ritual Mappasoro (menghanyutkan sesaji di sungai) atau Mattula bala’ (menyiapkan sesaji untuk menolak musibah) dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa simbol-simbol budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam Islam.[3]
D.  Upacara Adat
1.      Aqiqah
Bagi keluarga yang mampu, akikah sebaiknya dilakukan sedini mungkin misalnya : hari ke-7, ke-14, dan ke-21. Pada upacara ini ada 2 tata-cara pokok yaitu : pemotongan hewan dan pembacaan barzanji. Kemudian beberapa cara yang sering dikaitkan yaitu: pemberian/peresmian nama dan pengguntingan rambut.
Persiapan-persiapan yang diperlukan pada upacara ini antara lain : kue, songkol, pisang berbagai jenis. Kemudian alat-alat antara lain : gunting, kelapa muda yang telh dilubangi, patties atau lilin, dan dupa.
1. Pemotongan Hewan
Bagi anak laki-laki dianjurkan dipotongkan 2 ekor kambing dewasa, jantan dan sehat, sedangakan anak wanita dianjurkan seekor, juga dewasa, jantan dan sehat.
Secara tradisional pemotongan ini dimaksudkan sebagai syukuran, selamatan dan penolak bala dari gangguan roh-roh jahat.
2. Pembacaan Barzanji.
Pada saat dupa dan lilin dibakar, barzanji mulai dibaca, anak yang telah diakikah ditimbang oleh dukun beranak atau ibunya atau siapa saja yang ditunjuk di sekitar pembaca barzanji. Saat bacaan tiba pada kalimat “ASYARAKAL BADRU ALAINA”, pembaca barzanji, ibu yang memangku si bayi diangkat ke tengah-tengah para penggunting yang telah diundang untuk acara tersebut. Ada dua cara untuk melakukan pengguntingan rambut yaitu secara “aturan adapt” dan secara “biasa” atau “umum” atau “bebas”.
Secara aturan adat dilakukan pengguntingan rambut menurut Anggota Hadat. Untuk
Kerajaan Pamboang urutannya sebagai berikut :
      1.      Kadhi Pamboang
      2.     Maradia (bisa Maradia Matoa atau Maradia Malolo)
      3.     Pabicara Bonde
      4.     Pabicara Adolang
      5.     Pabicara Lalampanua
      6.     Suro Puang di Tawaro
      7.     Suro Puang di Polo (ng).
Secara umum bisa dilakukan sebagai berikut:
a. Kadhi atau Imam
b. Pejabat
c. Orang yana banyak anak dan berhasil mendidiknya
d. Orang berilmu pengetahuan
e. Orang kaya
f. Pemuka masyarakat yang disegani (berani)
g. Pemuka masyarakat yang dukun.

Setelah rambut bayi tergunting, guntingannya dimasukkan ke dalam kelapa muda yang sudah dilubangi, langsung oleh masing-masing para penggunting. Penggunaan kelapa muda pada acara ini, dimaksudkan agar si anak tetap kelihatan bersih dan tahan serangan penyakit.
Jika kita perhatikan acara pengguntingan rambut ini terlihat ada maksud-maksud tertentu dan rahasia dari orang tua si bayi, bahwa dengan pengguntingan rambut ini diharapkan si bayi kelak bernasib sama dengan para penggunting rambut pada acara ini.
Sementara pengguntingan rambut pembacaan barzanji jaln terus dan sesudah pengguntingan pembaca barzanji duduk bersama seluruh hadirin.
Sesudah pembacaan barzanji konsumsi khusus berupa songkol, cucur, telur, dan pisang berbagai macam dibagikan kepada para segenap peserta. Khusus untuk pembagian Kadhi, Raja dan anggota Hadat diantarkan langsung ke rumahnya. Kemudian pada acara istirahat kambing sembelihan untuk akikah dimakan bersama. Sesudah itu maka selesailah upacara akikah dan seluruh rangkaiannya.
2.      Niuri
Niuri dalam masyarakat Mandar adalah upaya penyelamatan lahirnya seorang bayi. Bagi wanita utamanya yang baru pertama kalinya hamil sudah menjadi tradisi (kebiasaan) diadakan acara niuri dalam masa kehamilan 7 sampai 8 bulan.
Untuk melaksanakan acara ini, yang lebih dahulu disiapkan yaitu : Kue-kue sebanyak mungkin, ayam betina satu ekor, tempayan berisi air, kayu api, beras dan lain-lain. Tata cara melaksanakan sebagai berikut :
1.      Wanita yang akan niuri duduk bersanding dengan suaminya, keduanya dalam busana tradisional lengkap. Wanita boleh memakai perhiasan emas seperti pattu’du boleh juga memakai boko atau pasangan berwarna biru atau putih. Keduanya disuruh memilih kue-kue yang muncul diseleranya masing-masing. Jika yang dipilih yang bundar misalnya : Onde-onde, gogos dan semacamnya maka diperkirakan akan lahir bayi laki-laki. Jika yang gepeng-gepeng misalnya : Pupu, kue lapis, katiri mandi dan semacamnya, diharapkan akan lahir seorang bayi wanita.
2.     Sesudah makan bersama, istilah Mandarnya “nipande mangidang” orang yang akan niuri dibaringkan oleh “sando peana” atau “dukun beranak” dihamparan kasur di lantai rumah. Setelah dibaringkan si dukun menaburkan beras di bagian dahi dan perut to-niuri. Kemudian ayam yang telah tersedia yang sehat dan tidak cacat di suruh mencocot beras-beras yang bertaburan tadi sampai habis.
3.     Masih dalam posisi berbaring, si dukun mengambil piring yang berisi beras ketan, telur dan lilin yang sedang menyala diletakkan sejenak di atas perut lalu ke bagian dahi, kemudian diayun-ayunkan beberapa kali mulai dari kepala sampai ke kaki. Sesudah itu ayam pencotot tadi dilambai-lambaikan ke sekujur tubuh toniuri sebanyak 3 atau 5 atau 7 kali. Sesudah itu dilepaskan melalui pintu depan dan toniuri di bangunkan.
4.     Selesai tahap ke-3,toniuri diantar ke pintu depan rumah kemudian diambil kayu-api yang masih menyala, lalu dipegang diatas kepala. Setelah itu diambil air yang telah dicampur dengan burewe tadu, bagot tuo, ribu-ribu, daun atawang dan daun alinduang, dan dengan timbah khusus disiramkan di atas kayu api langsung ke kepala dan membasahi seluruh tubuh serta memadamkan api yang masih menyala di kayu api. Sesudah itu secepatnya kayu api yang sudah padam dibuang ke tanah. Seluruh busana yang dikenakan oleh toniuri diserahkan kepada si dukun untuk dimiliki. Dalam istilah Mandarnya disebut “nilullus”. Menimba air cukup 14 kali saja.

Sementara seluruh tahap-tahap peurian berlangsung bagi keturunan bangsawan yang ada darah Bugis-Makasarnya, alat musik siasia dibunyikan terus dengan lagu-lagu bersifat doa yang contohnya sebagai berikut :
“Alai sipa’uwaimmu
Pidei sipa’ apimmu
“Tallammo’o liwang
Muammung pura beremu”
Artinya :
“Ambil sifat airmu (gampang mengalir)
Padamkan sifat apimu (panas)
Keluarlah engkau Membawa takdirmu”.
“Uwai penjarianmu
Uwai pessungammu
Uwai pellosormu
Uwai pellene’mu
Uwai peoromu
Uwai pellambamu
Uwai atuo-tuoammu”.
Artinya :
“Engkau tercipta dari air
Keluarlah merangkak, duduk dan berjalan seperti lancarnya air mengalir.
Murahlah rezekimu an dingin seperti air”
Ada beberapa maksud-maksud tersembunyi dalam upacara niuri ini yaitu :
1. Menimba air 14 kali, dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa, memiliki wajah seperti bulan purnama.
2. Bangot tuo yaitu semacam tumbuh-tumbuh biar dimana saja gampang tumbuh dan tumbuh subur. Bangong artinya bangun dan tuo artinya hidup. Dimaksudkan agar si bayi sampai dewasa tetap sehat bugar.
3. Ribu-ribu juga semacam tumbuh-tumbuhan yang bunganya lebih banyak dari pada daunnya. Ini dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa menjadi orang kaya.
4. Daun atawang, dimaksudkan agar si bayi tetap terhindar dari penyakit.[4]
E.   Sosial Budaya
 

Masyarakat Mandar mengenal pelapisan sosial. Sebagai masyarakat yang pernah berbentuk kerajaan, mereka mengenal tiga lapisan sosial, yakni lapisan atas yang terdiri atas golongan bangsawan (Todiang Laiyana), golongan orang kebanyakan (Tau Maradika), dan lapisan budak (Batua). Golongan bangsawan memiliki gelar kebangsawanan yaitu Daeng bagi "bangsawan raja" dan Puang bagi "bangsawan adat". Sistem kekerabatan orang Mandar ditandai oleh beberapa periode, antara lain : periode Tomakala, ketika pemerintahan belum teratur dan hukum belum ada; periode transisi (Pappuangang), ketika hubungan sosial dalam masyrakat mulai menampakkan polanya: periode penuh tata cara, aturan, nilai yaitu periode Arajang. Pada jaman ini raja tidak lagi berkuasa secara turun temurun akan tetapi dipilih oleh lembaga adat (hadat). Dalam tradisi Mandar, destar yang miring ke kiri bermakna isyrat bahwa raja harus mengoreksi diri dan kebijaksanaannya. Menurut pandangan orang Mandar, raja dianggap buruk (sikap/perilaku maupun kepemimpinannya) bila raja ditinggalkan rakyat.
Terdapat juga asal-usul kesatuan Lita atau Tana Mandar,di jelaskan bahwa Pitu Ulunna Salu (Tujuh Hulu Sungai) dan Pitu Ba, Bana Binanga (Tujuh Muara Sungai), adalah Negara Wilayah (Kesatuan) Mandar. Orang -orang dari wilayah permukiman itu, merasa bersaudara semuanya. Orang Mandar percaya bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang (Leluhur), yaitu Ulu Sa’ dan yang bernama  Tokombong di Wura, (Laki-laki) dan Towisse di Tallang (Perempuan). Mereka itu di sebut juga To-Manurung di Langi. Suku Mandar selama ini di kenal  sangat kuat dengan budayanya.Mereka menjunjung tinggi  tradisi, bahasa dan adat istiadatnya. Filosofi hidup mereka berbeda dengan suku Bugis, Makassar, Toraja dan suku lainnya yang berdekatan dengan lingkungan kehidupan mereka di Sulawesi. Suku Mandar di kenal teguh dengan prinsip hidupnya.Pada abad ke-20 karena banyak gerakan-gerakan pemurnian ajaran islam seperti Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian-bagian dari panngaderreng itu sebagai syirik, tindakan yang Taik sesuai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian.
Di Mandar juga sudah menjadi budaya pandai menghasilkan atau membuatSandeq, yaitu perahu khas suku mandar kerajinan rumah-tangga yang khas dari Sulawesi Selatan adalah tenunan sarung sutera dari Mandar. Terdapat juga Kuda Pattuddu" (Kuda Menari) sebagai salah satu budaya suku mandar, seekor kuda akan di hias sedemikian rupa layaknya kuda tunggangan seorang raja. Sementara untuk penunggangnya adalah warga suku Mandar yang sudah tamat dalam membaca Alquran, dihiasi memakai baju adat (baju 'bodo') lengkap dengan aksesorisnya serta dipayungi payung kehormatan kerajaan yang disebut 'Lallang Totamma'.
F.  Ekonomi
Suku Mandar dalam kehidupan sehari-hari untuk bertahan hidup, mayoritas adalah berprofesi sebagai nelayan. Mereka menangkap ikan dengan perahu-perahu layar berukuran kecil selama beberapa hari. Mereka pandai menentukan kapan harus melaut sesuai dengan kondisi angin dan cuaca yang akan mereka hadapi di tengah laut. Selain itu beberapa ada juga yang berprofesi sebagai pedagang. Di halaman rumah, mereka memelihara beberapa hewan ternak untuk melengkapi kebutuhan daging bagi keluarga mereka.[5]






[1] http://syamzhuu.blogspot.co.id/2012/07/suku-mandar-part-i.html
[2] https://simbayoputras.wordpress.com/2013/01/11/mengenal-asal-mula-suku-mandar/
[3] http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/bab-2-sistem-religi-suku-mandar.html
[4] http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/bab-2-sistem-religi-suku-mandar.html
[5] http://protomalayans.blogspot.co.id/2012/10/suku-mandar-sulawesi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar