Suku Mandar
A. Letak Geografis
Gambar : https://www.google.com/search?q=peta+suku+mandar&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjjzdmcoKzNAhXKPY8KHSLsAPgQ_AUICCgB&biw=1366&bih=657
Wilayah suku mandar terletak di ujung utara Sulawesi Selatan tepatnya di
Sulawesi Barat dengan letak geografis antara 10-30 lintang selatan dan antara
1’180-1’190 bujur timur.
Luas wilayah Mandar adalah 23.539,40
km2, terurai dengan :
1. luas kabupaten Mamuju dan Mamuju Utara : 11.622,40 Km2
2. luas kabupaten Mameje : 1.932 Km2
3. luas kabupaten Polewali Mamasa :
9.985 Km2[1]
B. Asal-Usul
Kata Mandar
memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti
saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya
menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai,
dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam
perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti
tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai
pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti
“sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak
berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah
itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah
sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang,
Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.
Selain itu,
dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar
yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful
Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara
menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu
ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai
Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3).
Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian
tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan
(digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya
penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga
diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.[2]
C. Sistem Religi
Pada
umumnya dewasa ini suku Mandar adalah penganut agama Islam yang setia tetapi
dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lepas dari kepercayaan-kepercayaan
seperti pemali, larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat
atau benda-benda keramat dan sesaji. Didaerah
pedalaman seperti di pegunungan Pitu Ulunna Salu sebelum Islam masuk, religi budaya yang dikenal ketika itu adalah
adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai
bepeganng pada falsafah Pemali Appa Randanna.
Sedangkan
untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga sendiri, religi budayanya dapat ditemui pada peningglannya yang
berupa ritual dan upacara-upacara adat yang tampaknya bisa dijadikan patokan
bahwa ia besumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya. Seperti
ritual Mappasoro (menghanyutkan sesaji di
sungai) atau Mattula bala’ (menyiapkan sesaji untuk
menolak musibah) dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada
masyarakat yang melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa simbol-simbol
budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam
Islam.[3]
D.
Upacara Adat
1.
Aqiqah
Bagi keluarga yang mampu, akikah sebaiknya
dilakukan sedini mungkin misalnya : hari ke-7, ke-14, dan ke-21. Pada upacara
ini ada 2 tata-cara pokok yaitu : pemotongan hewan dan pembacaan barzanji.
Kemudian beberapa cara yang sering dikaitkan yaitu: pemberian/peresmian nama
dan pengguntingan rambut.
Persiapan-persiapan
yang diperlukan pada upacara ini antara lain : kue, songkol, pisang berbagai
jenis. Kemudian alat-alat antara lain : gunting, kelapa muda yang telh
dilubangi, patties atau lilin, dan dupa.
1. Pemotongan Hewan
Bagi
anak laki-laki dianjurkan dipotongkan 2 ekor kambing dewasa, jantan dan sehat,
sedangakan anak wanita dianjurkan seekor, juga dewasa, jantan dan sehat.
Secara
tradisional pemotongan ini dimaksudkan sebagai syukuran, selamatan dan penolak
bala dari gangguan roh-roh jahat.
2. Pembacaan Barzanji.
Pada
saat dupa dan lilin dibakar, barzanji mulai dibaca, anak yang telah diakikah
ditimbang oleh dukun beranak atau ibunya atau siapa saja yang ditunjuk di
sekitar pembaca barzanji. Saat bacaan tiba pada kalimat “ASYARAKAL BADRU
ALAINA”, pembaca barzanji, ibu yang memangku si bayi diangkat ke tengah-tengah
para penggunting yang telah diundang untuk acara tersebut. Ada dua cara untuk
melakukan pengguntingan rambut yaitu secara “aturan adapt” dan secara “biasa”
atau “umum” atau “bebas”.
Secara aturan adat dilakukan pengguntingan rambut
menurut Anggota Hadat. Untuk
Kerajaan
Pamboang urutannya sebagai berikut :
1. Kadhi Pamboang
2. Maradia (bisa Maradia Matoa atau Maradia Malolo)
3. Pabicara Bonde
4. Pabicara Adolang
5. Pabicara Lalampanua
6. Suro Puang di Tawaro
7. Suro Puang di Polo (ng).
Secara umum bisa dilakukan sebagai berikut:
a. Kadhi atau Imam
b. Pejabat
c. Orang yana banyak anak dan berhasil mendidiknya
d. Orang berilmu pengetahuan
e. Orang kaya
f. Pemuka masyarakat yang disegani (berani)
g. Pemuka masyarakat yang dukun.
Setelah rambut bayi tergunting,
guntingannya dimasukkan ke dalam kelapa muda yang sudah dilubangi, langsung
oleh masing-masing para penggunting. Penggunaan kelapa muda pada acara ini,
dimaksudkan agar si anak tetap kelihatan bersih dan tahan serangan penyakit.
Jika
kita perhatikan acara pengguntingan rambut ini terlihat ada maksud-maksud
tertentu dan rahasia dari orang tua si bayi, bahwa dengan pengguntingan rambut
ini diharapkan si bayi kelak bernasib sama dengan para penggunting rambut pada
acara ini.
Sementara pengguntingan rambut pembacaan
barzanji jaln terus dan sesudah pengguntingan pembaca barzanji duduk bersama
seluruh hadirin.
Sesudah
pembacaan barzanji konsumsi khusus berupa songkol, cucur, telur, dan pisang
berbagai macam dibagikan kepada para segenap peserta. Khusus untuk
pembagian Kadhi, Raja dan anggota Hadat diantarkan langsung ke rumahnya. Kemudian pada acara istirahat kambing
sembelihan untuk akikah dimakan bersama. Sesudah itu maka selesailah upacara
akikah dan seluruh rangkaiannya.
2.
Niuri
Niuri
dalam masyarakat Mandar adalah upaya penyelamatan lahirnya seorang bayi. Bagi
wanita utamanya yang baru pertama kalinya hamil sudah menjadi tradisi
(kebiasaan) diadakan acara niuri dalam masa kehamilan 7 sampai 8 bulan.
Untuk
melaksanakan acara ini, yang lebih dahulu disiapkan yaitu : Kue-kue sebanyak
mungkin, ayam betina satu ekor, tempayan berisi air, kayu api, beras dan
lain-lain. Tata cara melaksanakan sebagai berikut :
1.
Wanita yang akan niuri duduk bersanding dengan suaminya, keduanya dalam busana
tradisional lengkap. Wanita boleh memakai perhiasan emas seperti pattu’du boleh
juga memakai boko atau pasangan berwarna biru atau putih. Keduanya disuruh
memilih kue-kue yang muncul diseleranya masing-masing. Jika yang dipilih yang
bundar misalnya : Onde-onde, gogos dan semacamnya maka diperkirakan akan lahir
bayi laki-laki. Jika yang gepeng-gepeng misalnya : Pupu, kue lapis, katiri
mandi dan semacamnya, diharapkan akan lahir seorang bayi wanita.
2. Sesudah
makan bersama, istilah Mandarnya “nipande mangidang” orang yang akan niuri
dibaringkan oleh “sando peana” atau “dukun beranak” dihamparan kasur di lantai
rumah. Setelah
dibaringkan si dukun menaburkan beras di bagian dahi dan perut to-niuri.
Kemudian ayam yang telah tersedia yang sehat dan tidak cacat di suruh mencocot
beras-beras yang bertaburan tadi sampai habis.
3.
Masih dalam posisi berbaring,
si dukun mengambil piring yang berisi beras ketan, telur dan lilin yang sedang
menyala diletakkan sejenak di atas perut lalu ke bagian dahi, kemudian
diayun-ayunkan beberapa kali mulai dari kepala sampai ke kaki. Sesudah itu ayam
pencotot tadi dilambai-lambaikan ke sekujur tubuh toniuri sebanyak 3 atau 5
atau 7 kali. Sesudah itu dilepaskan melalui pintu depan dan toniuri
di bangunkan.
4. Selesai tahap ke-3,toniuri
diantar ke pintu depan rumah kemudian diambil kayu-api yang masih menyala, lalu
dipegang diatas kepala. Setelah itu diambil air yang telah dicampur dengan
burewe tadu, bagot tuo, ribu-ribu, daun atawang dan daun alinduang, dan dengan
timbah khusus disiramkan di atas kayu api langsung ke kepala dan membasahi
seluruh tubuh serta memadamkan api yang masih menyala di kayu api. Sesudah itu
secepatnya kayu api yang sudah padam dibuang ke tanah. Seluruh busana yang
dikenakan oleh toniuri diserahkan kepada si dukun untuk dimiliki. Dalam istilah
Mandarnya disebut “nilullus”. Menimba air cukup 14 kali saja.
Sementara
seluruh tahap-tahap peurian berlangsung bagi keturunan bangsawan yang ada darah
Bugis-Makasarnya, alat musik siasia dibunyikan terus dengan lagu-lagu bersifat
doa yang contohnya sebagai berikut :
“Alai
sipa’uwaimmu
Pidei
sipa’ apimmu
“Tallammo’o
liwang
Muammung pura beremu”
Artinya :
“Ambil sifat airmu (gampang mengalir)
Padamkan
sifat apimu (panas)
Keluarlah
engkau Membawa takdirmu”.
“Uwai
penjarianmu
Uwai
pessungammu
Uwai
pellosormu
Uwai
pellene’mu
Uwai
peoromu
Uwai
pellambamu
Uwai
atuo-tuoammu”.
Artinya
:
“Engkau
tercipta dari air
Keluarlah
merangkak, duduk dan berjalan seperti lancarnya air mengalir.
Murahlah
rezekimu an dingin seperti air”
Ada beberapa maksud-maksud tersembunyi dalam upacara
niuri ini yaitu :
1. Menimba air 14 kali, dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa,
memiliki wajah seperti bulan purnama.
2. Bangot tuo yaitu semacam tumbuh-tumbuh biar dimana saja gampang
tumbuh dan tumbuh subur. Bangong artinya bangun dan tuo artinya hidup.
Dimaksudkan agar si bayi sampai dewasa tetap sehat bugar.
3. Ribu-ribu juga semacam tumbuh-tumbuhan yang bunganya lebih banyak
dari pada daunnya. Ini dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa menjadi orang kaya.
E. Sosial Budaya
Masyarakat Mandar mengenal
pelapisan sosial. Sebagai masyarakat yang pernah berbentuk kerajaan, mereka
mengenal tiga lapisan sosial, yakni lapisan atas yang terdiri atas golongan
bangsawan (Todiang Laiyana), golongan orang kebanyakan (Tau Maradika), dan
lapisan budak (Batua). Golongan bangsawan memiliki gelar kebangsawanan yaitu
Daeng bagi "bangsawan raja" dan Puang bagi "bangsawan
adat". Sistem kekerabatan orang Mandar ditandai oleh beberapa periode,
antara lain : periode Tomakala, ketika pemerintahan belum teratur dan hukum
belum ada; periode transisi (Pappuangang), ketika hubungan sosial dalam
masyrakat mulai menampakkan polanya: periode penuh tata cara, aturan, nilai
yaitu periode Arajang. Pada jaman ini raja tidak lagi berkuasa secara turun
temurun akan tetapi dipilih oleh lembaga adat (hadat). Dalam tradisi Mandar,
destar yang miring ke kiri bermakna isyrat bahwa raja harus mengoreksi diri dan
kebijaksanaannya. Menurut pandangan orang Mandar, raja dianggap buruk
(sikap/perilaku maupun kepemimpinannya) bila raja ditinggalkan rakyat.
Terdapat juga asal-usul kesatuan
Lita atau Tana Mandar,di jelaskan bahwa Pitu Ulunna Salu (Tujuh Hulu Sungai)
dan Pitu Ba, Bana Binanga (Tujuh Muara Sungai), adalah Negara Wilayah
(Kesatuan) Mandar. Orang -orang dari wilayah permukiman itu, merasa bersaudara
semuanya. Orang Mandar percaya bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang
(Leluhur), yaitu Ulu Sa’ dan yang bernama
Tokombong di Wura, (Laki-laki) dan Towisse di Tallang (Perempuan).
Mereka itu di sebut juga To-Manurung di Langi. Suku Mandar selama ini di
kenal sangat kuat dengan
budayanya.Mereka menjunjung tinggi
tradisi, bahasa dan adat istiadatnya. Filosofi hidup mereka berbeda
dengan suku Bugis, Makassar, Toraja dan suku lainnya yang berdekatan dengan
lingkungan kehidupan mereka di Sulawesi. Suku Mandar di kenal teguh dengan
prinsip hidupnya.Pada abad ke-20 karena banyak gerakan-gerakan pemurnian ajaran
islam seperti Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak
bagian-bagian dari panngaderreng itu sebagai syirik, tindakan yang Taik sesuai
dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya ditinggalkan. Demikian Islam di
Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian.
Di Mandar juga sudah menjadi budaya
pandai menghasilkan atau membuatSandeq, yaitu perahu khas suku mandar kerajinan
rumah-tangga yang khas dari Sulawesi Selatan adalah tenunan sarung sutera dari
Mandar. Terdapat juga Kuda Pattuddu" (Kuda Menari) sebagai salah satu
budaya suku mandar, seekor kuda akan di hias sedemikian rupa layaknya kuda
tunggangan seorang raja. Sementara untuk penunggangnya adalah warga suku Mandar
yang sudah tamat dalam membaca Alquran, dihiasi memakai baju adat (baju 'bodo')
lengkap dengan aksesorisnya serta dipayungi payung kehormatan kerajaan yang
disebut 'Lallang Totamma'.
F.
Ekonomi
Suku
Mandar dalam kehidupan sehari-hari untuk bertahan hidup, mayoritas adalah
berprofesi sebagai nelayan. Mereka menangkap ikan dengan perahu-perahu layar
berukuran kecil selama beberapa hari. Mereka pandai menentukan kapan harus
melaut sesuai dengan kondisi angin dan cuaca yang akan mereka hadapi di tengah
laut. Selain itu beberapa ada juga yang berprofesi sebagai pedagang. Di halaman
rumah, mereka memelihara beberapa hewan ternak untuk melengkapi kebutuhan
daging bagi keluarga mereka.[5]
[1] http://syamzhuu.blogspot.co.id/2012/07/suku-mandar-part-i.html
[2] https://simbayoputras.wordpress.com/2013/01/11/mengenal-asal-mula-suku-mandar/
[3] http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/bab-2-sistem-religi-suku-mandar.html
[4] http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/bab-2-sistem-religi-suku-mandar.html
[5] http://protomalayans.blogspot.co.id/2012/10/suku-mandar-sulawesi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar