Kamis, 02 Juni 2016

responding paper suku naulu



Suku Naulu
A.    Asal Usul Suku Naulu
Suku Naulu sering disebut juga orang Naulu atau Nuahunai, artinya orang yang berdiam di hulu Sungai Nua yaitu daerah dari mana mereka berasal sebelum menempati daerah yang sekarang.[1] Suku Naulu terletak di wilayah Kecamatan Amhai, kampung Lama/Yahisiro dan Bonara. Naulu terdiri dari dua kata Nua yang berarti air, Ulu artinya kepala. Jadi Naulu artinya suku yang mendiami kepala air Nua/ Sungai Nua. Penamaan suku Naulu dilatar belakangi oleh tempat tinggal nenek moyang mereka. Sungai Nua bersumber di gunung Manusela dan terbagi menjadi 2 bagian :
1.      Nua Ulu yang bermuara ke Seram Uatar.
2.      Nua Ulu yang bermuara ke Marakiri.
Asal muasal mereka bertempat tinggal di Weri Hulawano (Kepala air Nua) karena terjadi perselisihan antar klan. Akibat perselisihan itu para kepala suku bersepakat untuk pindah ke pantai. Yang menjadi masalah mereka kemudian, pantai mana yang cocok untuk menjadi tempat tinggal mereka yang baru ?mereka juga mencari acuannya di mana matahari naik pada bagian mana matahari masuk. Masing-masing kepala suku berebutan tempat pada kedua bagian tersebut. akibatnya, di antara mereka pun berselisih ladi gan mereka kembali lagi ke Pia dan Weno di Amtrino.
Sekian lamanya mereka tinggal di Pia dan  Weno, kemudian mereka melakukan hubungan dengan Raja Sepa. Raja Sepa tidak keberatan hidup berdampingan dengan Suku Naulu asal saja suku Naulu memenuhi persyaratan-persyaratan yang di ajukan raja Sepa. Pesyaratannya yaitu :
1.      Kebiasaan suku Naulu yang  memotong kepala manusia digantikan dengan kain merah (berang) dan piring tua serta tikar sebagai pembungkus orang meninggal.
2.      Baileu adalah rumah yang digunakan sebagai tempat rapat-rapat dipindahkan dari tepi pantai ke tempat yang baru, dan tiang Leeuwaka ditanggung oleh suku Naulu.
Sejak itu suku Naulu bertempat tinggal di Kampung Lama, yakni kurang lebih 25 km dari Sepa. dan sudah tidak ada pemenggalan kepala dan bergotong royong untuk membangun Bailue.
B.     Pokok Ajaran S uku Naulu
Pokok ajaran di suku Naulu terbagi menjadi dua yaitu konsep tentang tuhan dan mite penjadian  yang disini akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut:
1.      Konsep Tentang Tuhan
Orang Nuaulu, mempercayai adanya tokoh Pencipta Pertama yang mereka sebut Upu Kuanahatana. Kepercayaan ini sebenarnya merupakan bagian dari sistem keyakinan mereka kepada dewa-dewa dan roh kakek moyang yang dianggap tetap mempengaruhi kehidupan manusia. Roh-roh yang mereka puja terutama roh para kapitan, untuk itu mereka buatkan sebuah altar pemujaan dalam baileo. Roh-roh alam yang jahat mereka sebut nitu. Alam pikiran seperti ini juga mempercayai adanya kekuatan magis yang bisa digunakan manusia untuk tujuan baik maupun jahat. Kekuatan magis itu mereka sebut matakau.[2]
Upu Kuanahatana atau Upu Allah taala suatu zat yang merupakan kepercayaan tertinggi bagi suku Naulu. Apa saja permohonan mereka langsung dimintakan kepada Allah taala. Untuk melaksanakan pembacaan doa tersebut harus ada upacara adat terlebih dahulu, seperti makanan, sirih, pinang, tembakau, kapur dan beberapa jenis daun tertentu yang di letakkan di atas piring tua. Para tetua adat diundang dalam upacara tersebut, tetua adat diundang dalam upacara tersebut, tetua berdiri di tengah pintu sambil membaca kabata atau sejenis dengan itu. Kalaupun ada kepercayaan kepada arwah nenek moyang hal itu adalah bentuk penghargaan atas jasa-jasa mereka selama hidupnya. Tetapi kepercayaan utama mereka hanya kepada Upu Allah taala.

2.      Mite Penjadian
Ada beberapa mite dalam proses kejadian alam ini. Pertama, Awalu (Upu kuanahatana) menjadikan Nunusaku. Nunusaku adalah suatu yang berpribadi. Dari Nunusaku  inilah menjelma seorang berpribadi yang berbentuk laki-laki dengan seorang wanita yang berasal dari kayangan (langit). Dari hubungan kedua lawan jenis ini lahirlah manusia-manusia, seperti Tala, Eti dan sapalewa. Dengan izin Upu Kuanahatana darah yang mengalir dari kelahiran Tala, Eti dan sapalewaa itu menjadi danau. Danau itu mengalir menjadi 3 sungai. Ketiga sungai itu adalah :
1.      Sungai yang mengalir ke utara bernama Sapalewa.
2.      Sungai yang mengalir ke selatan bernama Tala
3.      Sungai yang mengalir ke barat bernama Eti.
Dari sinilah manusia dan alam berkembang hingga saat ini. Kedua, Upu Kuanahatana menciptakan langit sebagai pribadi laki-laki (adam) dan bumi sebagai pribadi perempuan (hawa). Dari persentuhan kedua pribadi tersebut, lahirlah benda-benda alam yang lain. Setelah terjadi semua isi bumi, Upu Kuanahatana menurunkan Maatope dari langit. Maatope diturunkan dari langit dengan tali seperti benang sutera yng sangat halus, mengingat bumi dimana tempat turunnya Maatope ini masih cair. Berubah padat, dan akhirnya Maatope Maanawa yakni Maatope laki-laki. Setelah itu Upu Kuanahatana menciptakan Maatope Hihina (perempuan) dari langit. Langsung diturunkan ke bumi. Dari Maatope Maanawa dari Maatope Hihina inilah berkembang manusia. Sebagai buktibahwa Maatope/Upu Ama itu keluar dari Nunusaku ialah Kabata yang berbunyi “ He le te Nunusaku” intinya dari ungkapan kabata ini Maatope berasal dari Nunusaku.[3]
C.     Upacara Keagamaan Suku Naulu
Suku ini sebenarnya memiliki dua tradisi yang aneh yaitu mengasingkan wanita yang sedang haid dan melahirkan, serta tradisi memenggal kepala manusia sebagai persembahan. Di setiap pemukiman masyarakat suku ini baik yang telah dimukimkan pihak pemerintah maupun yayasan pembinaan masyarakat terasing bahkan yang masih hidup mengembara di pedalaman Pulau Seram, kaum lelakinya membangun gubuk-gubuk kecil yang disebut gubuk posuno. Gubuk ini digunakan sebagai tempat sementara bagi perempuan yang diasingkan. Masyarakat Suku Naulu menganggap bahwa dengan mempersembahkan kepala manusia, maka rumah-rumah adat mereka akan terbebas dari musibah.Selain itu, ada juga tradisi jika seorang raja Suku Naulu hendak mengambil seorang menantu laki-laki, calon menantu tersebut harus mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawin dan juga bukti kejantanannya. Namun semenjak tahun 1900-an sudah mulai dihapuskan, namun sempat muncul kembali pada tahun 2005
a.       Upacara Suu Anaku (Memandikan Anak)
Dikalangan mereka ada suatu tradisi yang termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu. Yaitu upacara yang berkenaan dengan masa peralihan dari masa kandungan hingga kelahiran. Upacara tersebut dinamakan oleh mereka upacara “Suu Anaku” yang berarti “memandikan anak”. Berikut bentuk-bentuk pelaksanaannya,
1.      Ketika seorang perempuan hamil tua akan melahirkan, maka ia akan diantar oleh irihitipue dan kaum perempuan sekitar rumah yang telah dewasa menuju ke posuno. Setelah ibu hamil sampai di posuno, maka pihak keluarga perempuan akan memberi tahu pihak kerabat suaminya bahwa tidak lama lagi akan berlangsung persalinannya. Pada saat kelahiran tiba, irihitipue meminta kepada yang hadir dalam posuno untuk berdoa kepada Upu Kuanahatana (Tuhan pencipta alam semesta) agar kelahirannya lancer. Setelah sang bayi lahir, irihitipue mengambil kaitimana untuk memotong pusar bayi.
2.      Setelah bayi berusia 8 hari upacara kedua diadakan yaitu pemandian bayi kembali. Upacara ini dimulai atas intruksi irihitipue kepada ukakie (saudara tertua perempuan yang melahirkan) untuk mengambil dan menggendong bayi tersebut dari ibunya yang kemudian diserahkan kepada irihitipue yang telah menyiapkan ruas-ruas bambu yang berisi air keramat. Kemudian bayi dimandikan dan dikeringkan. Kemudian diberi pakaian dari sejenis pohon cidaku, namun sekarang seiring perkembangan zaman pakaian tersebut diganti dengan pakaian tekstil.
3.      Sesampai di rumah sang bayi dan ibunya telah di tunggu oleh ayahnya. Ukakie menyerahkan kembali kepada ibunya, dan ibunya berjalan ke arah suami menyerahkan bayinya. Oleh sang suami bayi tersebut kemudian di perlihatkan kepada semua hadirin. Setelah selesai di perkenalkan mereka semua dipersilahkan menuju meja upacara untuk makan bersama.
4.      Setelah pesta adat maka sang ayah satu sampai tiga hari diharuskan membawa bayi pergi ke tengah hutan untuk melakukan bagian terakhir dari upacara Suu Anaku. Untuk itu sang ibu dan anaknya di keluarkan oleh irihitipue dari posuno dengan disaksikan oleh para kerabat perempuan. Sang suami kemudian menjemput sang istri untuk pergi menuju ke hutan tempat pelaksanaan upacara selanjutnya. Setelah tiba di tempat yang ditentukan, sang ayah mengambil daun-daun sagu dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti tikar. Bayi mereka di letakkan diatas tikar tersebut dan di tunggui oleh ibunya. Maksud dari upacara ini adalah untuk memperkenalkan bayi kepada roh para leluhur, juga sebagai pernyataan syukur keluarga yang ditujukan kepada Upu Kuanahatana atas kelahiran anak mereka. Menjelang matahari terbenam berakhirlah acara ini, maka mereka bertiga pulang ke rumah.
b.      Upacara Masa Dewasa bagi Perempuan (Pinamou)
Istilah  pinamou  dalam  pengertian  lokal  berarti  wanita  bisu  karena selama berlangsungnya upacara ini si wanita bertindak seperti orang bisu. Wanita pinamou  dibolehkan  berbiacara  tapi  harus  berbisik  tidak  boleh  berbicara  keraskeras.  Adapun  maksud  dan  tujuan  penyelenggaraan  upacara  ini  adalah  untuk mangalihkan status seorang perempuan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Upacara  masa  dewasa  bagi  seoranga  anak  perempuan  mempunyai  arti penting  dalam  tata  kehidupan  masyarakat  suku  Nuaulu,  sebab  pesta  adat  yang diadakan  dalam  kaitannya  dengan  upacara  ini  merupakan  pernyataan  bahwa didalam masyarakat telah bertambah seorang wanita dewasa yang telah siap untuk berumah tangga. Karena pentingnya, sehingga upacara ini tidak hanya melibatkan si gadis yang diupacarakan bersama kelompok kerabatnya tetapi juga melibatkan masyarakat umum.
c.       Ritual masa Dewasa bagi laki-laki
Dalam  kehidupan  suku  Nuaulu  laki-laki  mempunyai  kedudukan  khusus didalamkehidupan  sosial  budaya  masyarakat.  Anak  laki-laki sejak kecil telah ditempa  sedemikian  rupa  sehingga  mereka  setelah  dewasa  mampu  bertindaksebagai  pria-pria  yang  bertanggung  jawab.  Kalau kedewasaan wanita nuaulu ditentukan oleh datangnya haid, maka kedewasaan seorang laki-laki ditentukan berdasarkan kedewasaannya  menggunakan  senjata,  panah  dan  tombak.  Kelangsungan  hidup masyarakat  suku  Nuaulu  sangat  ditentukan  oleh  tombak  dan  panah.  Kalau  pada masa  dulu  kedua alat ini berfungsi untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan  musuh  dan  berburu,  maka  kini  fungsi  pertama  sudah  hilang.  Adapun  beberapa  tahap  yang dilakukan dalam pelaksanaan upacara pataheri adalah sebagai berikut:
1.      Kurungan Selama 3 hari
Setelah  semua  persiapan  selesai  dilakukan,  pada  hari  yang  telah ditentukan dilaksanakanlah rangkaian upacara. Semua peserta pataheri berkumpul kemudian diberikan nasihat dan pengarahan oleh  kepala adat  Matoke  dan kepala soa  serta  tua-tua  adat  lainnya,  setelah  kegiatan  penghargaan  selesai,  maka selanjutnaya mereka dipersilahkan secara khusus oleh kepala suku untuk berdoa. Anggota  pataheri dimasukkan/dikurung  dalam  rumah  kepala  suku  dan  selama  masa  kurungan mereka tidak melakukan apa-apa. Di dalam masa kurungan mereka merenungkan nasib mereka, karena setelah ritual ini selesai mereka punya tanggung jawab yang besar,  sudah  harus  berdiri  sendiri  serta  membangun  keluarga  nantinya,  mereka harus benar-benar siap dalam menjalankan setiap  rangakaian prosesi  ritual  yang akan  dilaksanakan.
2.      Berburu dan mencari kayu dammar
Langkah  berikutnya  adalah  melakukan  perburuan/beruburu  dihutan. Kegiatan  berburu  ini  hanya  dilakukan  oleh  pemuda  yang  akan  melakukan pataheri.  Berburu  berlangsung  selama  2  hari  saja. 
3.      Pemandian, pemakaian cawat dan berang merah diikat dipingang
Upacara  pataheri  kemudian  dilanjutkan  berjalan  pataheri  membersihkan diri/ mandi kemudian mereka dipakaikan cawat yang tadinya digantung dibaeleo. Selanjutnya  kain  berang  (kain  merah)  dipakaikan  menutupi  bagian  depan (kelamin  laki-laki),  atau  seiring  mereka  sebut  sebagai  pakaian  adat  (laki-laki) yang  telah  disiapkan  oleh  orang  tua  (ina)  mereka  masing-masing.  Setelah  itu mereka akan berjalan berbaris menuju ke baeleo.
4.      Menuju ke baeleo
Acara  puncaknya  ada  dibaeleo,  yakni  setelah  mereka  di  baeleo  maka pertama-tama  yang  harus  dilakukan  adalah  semuanya  berjalan  mengelilingi tempat  yang dikeramatkan di dekat baeleo selama  lima  kali putaran. Setelah itu masing-masing  soa  terpencar  berdasarkan  soa  masing-masing.  Didalam  baeleobiasanya  mereka  akan  berada  selama  lima  hari,  akan  tetapi  sesudah  tiga  hari mereka  akan  dinilai  oleh  tua-tua  adat.  Jika  ada  diantara  mereka  yang  dianggap nantinya mampu menggantikan kedudukan kepala suku matoke atau tua-tua adat lainnya,  maka  mereka  ini  disebut  sebagai  laki-laki  perkasa  dari  suku  nuaulu. Selama di  baeleo  patahari ini berpuasa selama 5  hari  puasa dilakukan hanya pada (malam hari saja sedangkan siangnya mereka boleh makan).
5.      Pemotongan kepala ayam dan buah kelapa
Setelah tiba di dalam baeleo, hari pertama yang dilakukan  pataheri adalah memotong  kepala  ayam.  Masing-masing  pataheri  memotong  ayamnya  masingmasing. Setelah itu ayam tersebut akan diolah orang tuanya masing-masing untuk nantinya dimakan oleh pataheri. Menurut informasi dahulu kala, ritual pataheri ini adalah  bentuk  pengukuran  kehebatan  laki-laki  suku  nuaulu  karena  sebenarnya yang harus dilakukan adalah  memenggal kepala manusia. Namun karena hukum yang  sudah  semakin  tegas  di  Indonesia  kegiatan  pemenggalam  kepala  manusia dini digantikan  dengan  pemenggalan  kepala  binatang  (ayam)  dan  pembelahan buah  kelapa.

6.      Pataheri (pemakaian kain berang dan cidaku merah)
Air yang keluar dari buah kelapa terebut akan dipercikkan kepada masingmasing pataheri  sebagai tanda bahwa mereka telah dikukuhkan. Namun sebelum acara pengukuhan tokoh-tokoh adat  suku Nuaulu yakni, kepala suku kapitan, dan tuan-tuan tanah, maka pertama-tama mereka akan mengadakan doa khusus kepada air kelapa tersebut juga kepada semua anggota  pataheri. Setelah itu acara adat ini akan dilanjutkan  oleh  kepala suku  bapak matoke dengan melakukan percikan air tersebut ke atas kepala  pataheri  sebagai suatu tanda bahwa mereka telah mampu berdiri  sendiri.  Setelah  percikan  air  itu  selesai,  maka  tahap  selanjutnya  adalah pemakaian  kain  berang  (kain  merah)  di  kepala  masing-masing  sebagai  tanda penghargaan laki-laki suku nuaulu. Hari ketiga, akan dilakukan pemakaian  cidaku merah  (kain merah) sebagai salah satu tanda bahwa mereka telah sah menjalani proses  urutn  ritual  pataheri,  pemakaian  cidaku  ini  dilakukan  oleh  kepala  suku Matoke.
7.      Papar gigi
Setelah acara pemakaian cidaku selesai maka langkah selannjutnya adalah papar  gigi.  Acara  ritual  papar  gigi  akan  dilakukan  oleh  orang  yang  sudah dikhususskan  untuk  memapar  gigi.  Batu  yang  dipakai  untuk  memapar  gigi pataheri  adalah  batu  yang  sama  dipakai  untuk  memapar  gigi  pinamou.  Setelah urutan proses acara ini  selesai, maka acara penutupan adalah diadakannya pesta makan bersama  (makan patita). Proses acara ini di tutup/dikunci dengan doa yang dilakukan oleh kepala suku Matoke. Upacara ini lah yang menjadi penutup dari upacara dewasa bagi laki-laki.
d.      Upacara Kematian
Berikut beberapa tahapan dari prosesi  upacara  adat  kematian yang akan dipimpin  oleh seorang  pendeta  adat.
1.      Memukul tifa
Pembunyian tifa sebagai tanda pemberitahuan pemberitahuan kepada  seluruh  warga/tetangga  kerabat  bahwa  ada  salah  satu  dari  anggota  suku Nuaulu mereka  yang meninggal.
2.      Memandikan jenazah dan melepaskan Jenazah
Jenazah  orang  meninggal  kemudian  dimandikan  oleh  pendeta  adat  dan seseorang  dari  pihak  keluarga  kemudian  diberi  pakaian/baju.  Setelah  jenazah  di bawa ke rumah adat  dengan pakaiannya  untuk menunggu keluarga besarnya dan setiap  marga  membawa  piring-piring  kecil/besar  (pirune).  Setelah  itu  mayat dibawa ke rumah adat dan digunting pakaiannya untuk di  letakan ke tikar  (kinoe)Jenazah  yang digunting pakaiannya di tutup dengan kain (nipae).  Jenazah  yang mau dibawa ke tempat pemakamannya harus dibawa dengan pakaiannya, seperti patah, baju, celana, dan kain merah (tunue, papite,taka dan karanunu).  Setelah itu orang tua adat menyuruh 2 orang mama untuk mencari rumput (monote mosone putieh)  untuk  mengusir  lalat.
3.      Pukul sagu dan berburu
Setelah  disepakati  maka  keesokan  harinya  berkumpulah  laki-laki  suku Nuaulu untuk menokok pohon sagu yang telah  disediakan keluarga khusus untuk orang  yang  sudah  meninggal  tersebut,  sebagai  suatu  rangkain  upacara  kematian untuk  nantinya  diolah  dan  disantap  dalam  acara  makan  bersama  (patita) memperingati  hari  kematian  yang  meninggal.  Kegiatan  menokon  sagu  ini biasanya  dilakukan dalam jangka waktu 3 hari saja. Setelah selsesai meramunya maka  hasilnya  akan  dibawa  pulang  oleh  mereka  dalam  bentuk  tumang  sagu (tempat  sagu  yang  terbuat  dari  daun  sagu  di  bentuk  menjadi  seperti  keranjang).
Sagu  ini  kemudian  akan  diolah  oleh  para  wanita  menjadi  sagu  dan papeda, semuanya dilakukan dalam jangka waktu satu hari.Setelah pulang dari kegiatan meramu sagu, maka keesokan harinya mereka kembali mempersiapkan diri untuk melakukan kegiatan berburu di hutan dengan anjing.  Biasanya  bila  kegiatan  berburu  dengan  melepaskan  anjing  akan mendapatkan banyak hasil buruan, karena anjing dijadikan sebagai alat  pelacak. Untuk  diketahui,setiap  rumah/keluarga  dari  suku  Nuaulu  memiliki  1-2  ekor anjing.  Anjing  ini  nantinya  akan  berperan  sebagai  pelacak  dalam  kegiatan perburuan  mereka. 


4.      Kegiatan malam pertama dan malam kedua
Setela  pulang  dari  kegiatan  berburu,  malamnya  langsung  dirayakan upacara  kematian  malam  pertama.  Pada  hakekatnya  prosesi  kematian dilaksanakan  di  ruma  adat.  Kemudian  tua-tua  adat  diundang  oleh  keluarga,  dan pendeta  adat  kemudian  memulai  ritual  upacaranya.  Semua  orang  dipersilahkan masuk  ke  rumah  besar  (kebagian  dalam  rumah),  sedangkan  pendeta  adat  adat kemudian  mengambil  dua  buah  priring  (tersbuat  dari  aluminium/blek) dan mengisi  piring  tersebut  dengan  abu  yang  berasal  dari  bekas  pembakaran  tungku (tempat memask) dari rumah yang meninggal. Setelah itu meletakan kedua piring tersebut pada kedua pintu masuk rumah-rumah  yang terletak pada bagain depan rumah (kiri dan kanan). Pendeta  adat  bersama  dengan  tua-tua  adat  dan  keluarga  memanjakan bentuk  doa  kepada  arwah  orang  yang  telah  meninggal  terrsebut  dengan  tujuan agar dia akan bangkit dari kematian dan hidup dialam lain.
e.       Upacara Pernikahan
Dalam  sistem kepercayaan masyarakat Nuaulu, upacara perkawinan merupakan salah satu rangakaian siklus hidup  yang  senantiasa  dilalui  oleh  semua  orang  dan  oleh  karenannya  perlu dirayakan  karena  merupakan  salah  satu  budaya  lokal  yang  masih  dilestarikan. Itulah  sebabnya  masyarakat  Nuaulu  percaya  bahwa  perkawinan  bukanlah merupakan urusan dari kedua individu, melainkan merupakan urusan kelompokkelompok  kerabat  dari  kedua  belah  pihak  yang  akan  melaksanakan  perkawinan terebut. 
Prosesi perkawinannya ada 4 tahap yaitu:
a) Acara peminangan,
b)  Pembicaraan harta kawin dan tanggal perkawinan,
c)  Bawa harta (Rori Susau) di acara perkawinan,
d) Menyuapi pengantin perempuan (Pamana) dan Makan Patita.
Makan Patita adalah upacara makan bersama,  yang  didahului sebelumnya  dengan  dilaksanakan  upacara  pamana  yakni  menyuapi  pengantin perempuan.  Acara  ini  dipimpin  oleh  istri  kepala  suku  Matoke.  Dalam  acara  ini, beberapa saudara dari pengantin laki-laki baik itu kaka/adik, oom dan tante akan mengambil  sedikit-sedikit  dari  setiap  makanan  yang  sudah  tersedia  danmenyuapkannya kepada pengantin perempuan. Maksudnya supaya dia tidak lagi merasa malu-malu atau asing dirumah mertuanya. Setelah itu  dilanjutkan dengandiadakannya  makan bersama.    Berakhirnya makan brsama ini maka berakhir pula ritual upacara perkawinan meminang (maso minta ) ini.
D.    Adat dan Etika suku Naulu
1.      Adat meminang (Ruetauanamana)
Kebanyakan dalam etika Naulu, sebelum calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-kali menikah. Calon pengantin laki-laki tersebut melaksanakan perkumpulan keluarga dahulu dalam rangka membicarakan tujuan calon pengantin laki-laki untuk meminang calon pengantin perempuan dan mementukan pula kapan pernikahan akan dilaksanakan. Seterusnya keluarga calon pengantin laki-laki keluar meninggal rumah huniannya untuk meminang calon pengantin perempuan di rumah pengantin perempuannya.
Persiapan calon pengantin laki-laki dalam mempersiapkan pernikahannya, calon pengantin laki-laki harus memenuhi syarat dari calon pengantin perempuan. Rata-rata dalam etika naulu telah ditetapkan persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk calon pengantin laki-laki berupa seperti :
1.  lima buah piring lanjut umur yang telah menjadi warisan turun temurun dari nenek moyang suku naulu untuk anak cucu mereka
2.  Kain merah 5 m
3.  Uang minimal 5 juta
4.  Kain 100 buah beserta kebaya yg dapat di bagikan terhadap seluruhnya keluarga, baik keluarga calon pengantin laki lakiataupun perempuan. Kain & kebaya beserta uangnya ini, di serahkan pada calon pengantin perempuan. Semuanya ditanggung oleh keluarga calon pengantin laki-laki. Adapun persyaratan bagi calon pengantin perempuan berupa:
a.       Sirih pinang yang dibagikan kepada kedua keluarga
b.      Makanan kala perkawinan berjalan(itu seluruhnya terhitung dgn duit yg di minta calon pengantin perempuankepada calon pengantin laki-laki).
2.      Pakian Khas Suku Naulu
Kemajuan  zaman  cukup  mempengaruhi  sikap,  tingkah  laku  dan  cara berpakaian  mereka.  Bila  ditelusuri  dulu  orang  laki-laki  dewasa  memakai  cidaku yaitu  sehelai  kain  yang  berbentuk  empat  persegi  panjang  (mirip  sepotong selendang)  cidaku  ini  sebenarnya  adalah  celana.  Cara  memakainya  yaitu  melilit aurat  dan  diikat  pada  pinggang.  Ujungnya  bagian  depan  tergantung  ke  bawah. Karena termasuk kelompok masyarakat adat patalima maka ujung cidakunya agak panjang  yang  membedakannya  dengan  cidaku  pada  kelompok  masyarakat  adat patasiwa  yang  agak  pendek  pada  bagian  bawah  dari  celana/cidaku. pakaian adat Naulu itu bisa dibedakan menjadi dua,
(1)  Pakaian  sehari-hari, Untuk  pakaian  sehari-harinya  masyarakat  suku  Nuaulu biasanya  memakai  pakaian  seperti  masyarakat  pada  umumnya  yang
(2)  pakaian  adat  yang  hanya  digunakan  khusuus untuk  acara-acara  adat.[4]
E. Interaksi Kepercayaan Suku Naulu dengan Agama-agama Lain
Suku Naulu adalah suku yang bermukim di bagian utara pulau Seram di provinsi Maluku Indonesia. Pulau Seram selama ini lebih dikenal dengan suku Alifuru sebagai penduduk asli di pulau Seram ini, tapi di  bagian utara pulau ini, terdapat pemukiman suatu suku yang hidupnya masih terasing dan dikategorikan sebagai suku primitif, yaitu suku Naulu. Interaksi  suku Naulu dengan agama masyarakat sekitar dapat dikatakan saling menghargai, bahkan saat ada tradisi mereka yang dilarang karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, mereka pun rela melepas tradisi mereka. Salah satunya adalah tradisi yang kontroversial yaitu dimana ada rumah adat yang baru atau memeperbaiki rumah adat yang lama, maka mereka akan menggunakan kepala manusia dalam ritual sakral ini.

















[2] Diakses pada tanggal 24 Mei 2016, http://suku-dunia.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-suku-nuaulu-di-maluku.html
[3]Ahmad Syafi’I Mufid, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999), h. 107-108.
[4] Diakses dari  http://www.dahsyat.net/tradisi-suku-naulu/1477pada tanggal 16 maret 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar