Suku Naulu
A.
Asal Usul Suku
Naulu
Suku Naulu sering disebut juga orang Naulu atau
Nuahunai, artinya orang yang berdiam di hulu
Sungai Nua yaitu daerah dari mana mereka berasal sebelum menempati daerah yang
sekarang.[1]
Suku Naulu terletak di wilayah Kecamatan Amhai, kampung Lama/Yahisiro dan
Bonara. Naulu terdiri dari dua kata Nua yang
berarti air, Ulu artinya kepala. Jadi Naulu artinya suku yang mendiami kepala
air Nua/ Sungai Nua. Penamaan suku Naulu dilatar belakangi oleh tempat tinggal
nenek moyang mereka. Sungai Nua bersumber di gunung Manusela dan terbagi
menjadi 2 bagian :
1.
Nua Ulu yang
bermuara ke Seram Uatar.
2.
Nua Ulu yang
bermuara ke Marakiri.
Asal muasal
mereka bertempat tinggal di Weri Hulawano (Kepala air Nua) karena terjadi
perselisihan antar klan. Akibat perselisihan itu para kepala suku bersepakat
untuk pindah ke pantai. Yang menjadi masalah mereka kemudian, pantai mana yang
cocok untuk menjadi tempat tinggal mereka yang baru ?mereka juga mencari
acuannya di mana matahari naik pada bagian mana matahari masuk. Masing-masing kepala
suku berebutan tempat pada kedua bagian tersebut. akibatnya, di antara mereka
pun berselisih ladi gan mereka kembali lagi ke Pia dan Weno di Amtrino.
Sekian lamanya
mereka tinggal di Pia dan Weno, kemudian
mereka melakukan hubungan dengan Raja Sepa. Raja Sepa tidak keberatan hidup
berdampingan dengan Suku Naulu asal saja suku Naulu memenuhi
persyaratan-persyaratan yang di ajukan raja Sepa. Pesyaratannya yaitu :
1.
Kebiasaan suku
Naulu yang memotong kepala manusia
digantikan dengan kain merah (berang) dan
piring tua serta tikar sebagai pembungkus orang meninggal.
2.
Baileu adalah
rumah yang digunakan sebagai tempat rapat-rapat dipindahkan dari tepi pantai ke
tempat yang baru, dan tiang Leeuwaka ditanggung oleh suku Naulu.
Sejak itu suku Naulu
bertempat tinggal di Kampung Lama, yakni kurang lebih 25 km dari Sepa. dan
sudah tidak ada pemenggalan kepala dan bergotong royong untuk membangun Bailue.
B.
Pokok Ajaran S
uku Naulu
Pokok ajaran di suku Naulu terbagi menjadi dua yaitu konsep tentang
tuhan dan mite penjadian yang disini
akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut:
1.
Konsep Tentang
Tuhan
Orang
Nuaulu, mempercayai adanya tokoh Pencipta Pertama yang mereka sebut Upu
Kuanahatana. Kepercayaan ini sebenarnya merupakan bagian dari sistem keyakinan
mereka kepada dewa-dewa dan roh kakek moyang yang dianggap tetap mempengaruhi
kehidupan manusia. Roh-roh yang mereka puja terutama roh para kapitan, untuk
itu mereka buatkan sebuah altar pemujaan dalam baileo. Roh-roh alam yang jahat
mereka sebut nitu. Alam pikiran seperti ini juga mempercayai adanya kekuatan
magis yang bisa digunakan manusia untuk tujuan baik maupun jahat. Kekuatan
magis itu mereka sebut matakau.[2]
Upu Kuanahatana atau Upu Allah taala suatu zat yang
merupakan kepercayaan tertinggi bagi suku Naulu. Apa saja permohonan mereka
langsung dimintakan kepada Allah taala. Untuk melaksanakan pembacaan doa
tersebut harus ada upacara adat terlebih dahulu, seperti makanan, sirih,
pinang, tembakau, kapur dan beberapa jenis daun tertentu yang di letakkan di
atas piring tua. Para tetua adat diundang dalam upacara tersebut, tetua adat
diundang dalam upacara tersebut, tetua berdiri di tengah pintu sambil membaca
kabata atau sejenis dengan itu. Kalaupun ada kepercayaan kepada arwah nenek
moyang hal itu adalah bentuk penghargaan atas jasa-jasa mereka selama hidupnya.
Tetapi kepercayaan utama mereka hanya kepada Upu Allah taala.
2.
Mite Penjadian
Ada beberapa
mite dalam proses kejadian alam ini. Pertama,
Awalu (Upu kuanahatana) menjadikan Nunusaku.
Nunusaku adalah suatu yang berpribadi. Dari Nunusaku inilah menjelma
seorang berpribadi yang berbentuk laki-laki dengan seorang wanita yang berasal
dari kayangan (langit). Dari hubungan kedua lawan jenis ini lahirlah
manusia-manusia, seperti Tala, Eti dan sapalewa. Dengan izin Upu Kuanahatana
darah yang mengalir dari kelahiran Tala, Eti dan sapalewaa itu menjadi danau.
Danau itu mengalir menjadi 3 sungai. Ketiga sungai itu adalah :
1.
Sungai yang mengalir ke utara bernama Sapalewa.
2.
Sungai yang mengalir ke selatan bernama Tala
3.
Sungai yang mengalir ke barat bernama Eti.
Dari sinilah manusia dan alam berkembang hingga saat
ini. Kedua, Upu Kuanahatana
menciptakan langit sebagai pribadi laki-laki (adam) dan bumi sebagai pribadi
perempuan (hawa). Dari persentuhan kedua pribadi tersebut, lahirlah benda-benda
alam yang lain. Setelah terjadi semua isi bumi, Upu Kuanahatana menurunkan
Maatope dari langit. Maatope diturunkan dari langit dengan tali seperti benang
sutera yng sangat halus, mengingat bumi dimana tempat turunnya Maatope ini
masih cair. Berubah padat, dan akhirnya Maatope Maanawa yakni Maatope
laki-laki. Setelah itu Upu Kuanahatana menciptakan Maatope Hihina (perempuan)
dari langit. Langsung diturunkan ke bumi. Dari Maatope Maanawa dari Maatope
Hihina inilah berkembang manusia. Sebagai buktibahwa Maatope/Upu Ama itu keluar
dari Nunusaku ialah Kabata yang berbunyi “ He
le te Nunusaku” intinya dari ungkapan kabata ini Maatope berasal dari
Nunusaku.[3]
C.
Upacara Keagamaan Suku Naulu
Suku ini sebenarnya memiliki dua tradisi yang
aneh yaitu mengasingkan wanita yang sedang haid dan melahirkan, serta tradisi
memenggal kepala manusia sebagai persembahan. Di setiap pemukiman masyarakat
suku ini baik yang telah dimukimkan pihak pemerintah maupun yayasan pembinaan
masyarakat terasing bahkan yang masih hidup mengembara di pedalaman Pulau
Seram, kaum lelakinya membangun gubuk-gubuk kecil yang disebut gubuk posuno.
Gubuk ini digunakan sebagai tempat sementara bagi perempuan yang diasingkan. Masyarakat
Suku Naulu menganggap bahwa dengan mempersembahkan kepala manusia, maka
rumah-rumah adat mereka akan terbebas dari musibah.Selain itu, ada juga tradisi
jika seorang raja Suku Naulu hendak mengambil seorang menantu laki-laki, calon
menantu tersebut harus mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawin dan
juga bukti kejantanannya. Namun semenjak tahun
1900-an sudah mulai dihapuskan, namun sempat muncul kembali pada tahun 2005
a. Upacara Suu Anaku (Memandikan Anak)
Dikalangan mereka ada suatu tradisi yang
termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu. Yaitu upacara yang berkenaan
dengan masa peralihan dari masa kandungan hingga kelahiran. Upacara tersebut
dinamakan oleh mereka upacara “Suu Anaku” yang berarti “memandikan anak”. Berikut bentuk-bentuk pelaksanaannya,
1. Ketika
seorang perempuan hamil tua akan melahirkan, maka ia akan diantar oleh
irihitipue dan kaum perempuan sekitar rumah yang telah dewasa menuju ke posuno.
Setelah ibu hamil sampai di posuno, maka pihak keluarga perempuan akan memberi
tahu pihak kerabat suaminya bahwa tidak lama lagi akan berlangsung
persalinannya. Pada saat kelahiran tiba, irihitipue meminta kepada yang hadir
dalam posuno untuk berdoa kepada Upu Kuanahatana (Tuhan pencipta alam semesta)
agar kelahirannya
lancer. Setelah sang bayi lahir, irihitipue mengambil kaitimana untuk memotong
pusar bayi.
2. Setelah
bayi berusia 8 hari upacara kedua diadakan yaitu pemandian bayi kembali.
Upacara ini dimulai atas intruksi irihitipue kepada ukakie (saudara tertua
perempuan yang melahirkan) untuk mengambil dan menggendong bayi tersebut dari
ibunya yang kemudian diserahkan kepada irihitipue yang telah menyiapkan
ruas-ruas bambu yang berisi air keramat. Kemudian bayi dimandikan dan
dikeringkan. Kemudian diberi pakaian dari sejenis pohon cidaku, namun sekarang
seiring perkembangan zaman pakaian tersebut diganti dengan pakaian tekstil.
3. Sesampai
di rumah sang bayi dan ibunya telah di tunggu oleh ayahnya. Ukakie menyerahkan
kembali kepada ibunya, dan ibunya berjalan ke arah suami menyerahkan bayinya.
Oleh sang suami bayi tersebut kemudian di perlihatkan kepada semua hadirin.
Setelah selesai di perkenalkan mereka semua dipersilahkan menuju meja upacara
untuk makan bersama.
4. Setelah
pesta adat maka sang ayah satu sampai tiga hari diharuskan membawa bayi pergi
ke tengah hutan untuk melakukan bagian terakhir dari upacara Suu Anaku. Untuk
itu sang ibu dan anaknya di keluarkan oleh irihitipue dari posuno dengan
disaksikan oleh para kerabat perempuan. Sang suami kemudian menjemput sang
istri untuk pergi menuju ke hutan tempat pelaksanaan upacara selanjutnya.
Setelah tiba di tempat yang ditentukan, sang ayah mengambil daun-daun sagu dan
mengaturnya sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti tikar. Bayi mereka di
letakkan diatas tikar tersebut dan di tunggui oleh ibunya. Maksud dari upacara
ini adalah untuk memperkenalkan bayi kepada roh para leluhur, juga sebagai
pernyataan syukur keluarga yang ditujukan kepada Upu Kuanahatana atas kelahiran
anak mereka. Menjelang matahari terbenam berakhirlah acara ini, maka mereka
bertiga pulang ke rumah.
b. Upacara Masa Dewasa bagi Perempuan (Pinamou)
Istilah
pinamou dalam pengertian
lokal berarti wanita
bisu karena selama berlangsungnya
upacara ini si wanita bertindak seperti orang bisu. Wanita pinamou dibolehkan
berbiacara tapi harus
berbisik tidak boleh
berbicara keraskeras. Adapun
maksud dan tujuan
penyelenggaraan upacara ini
adalah untuk mangalihkan status
seorang perempuan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Upacara masa
dewasa bagi seoranga
anak perempuan mempunyai
arti penting dalam tata
kehidupan masyarakat suku
Nuaulu, sebab pesta
adat yang diadakan dalam
kaitannya dengan upacara
ini merupakan pernyataan
bahwa didalam masyarakat telah bertambah seorang wanita dewasa yang
telah siap untuk berumah tangga. Karena pentingnya, sehingga upacara ini tidak
hanya melibatkan si gadis yang diupacarakan bersama kelompok kerabatnya tetapi
juga melibatkan masyarakat umum.
c.
Ritual masa
Dewasa bagi laki-laki
Dalam kehidupan
suku Nuaulu laki-laki
mempunyai kedudukan khusus didalamkehidupan sosial
budaya masyarakat. Anak
laki-laki sejak kecil telah ditempa
sedemikian rupa sehingga
mereka setelah dewasa
mampu bertindaksebagai pria-pria
yang bertanggung jawab.
Kalau kedewasaan wanita nuaulu ditentukan oleh datangnya haid, maka
kedewasaan seorang laki-laki ditentukan berdasarkan kedewasaannya menggunakan
senjata, panah dan
tombak. Kelangsungan hidup masyarakat suku
Nuaulu sangat ditentukan
oleh tombak dan
panah. Kalau pada masa
dulu kedua alat ini berfungsi
untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan musuh
dan berburu, maka
kini fungsi pertama
sudah hilang. Adapun
beberapa tahap yang dilakukan dalam pelaksanaan upacara
pataheri adalah sebagai berikut:
1.
Kurungan Selama
3 hari
Setelah semua persiapan
selesai dilakukan, pada
hari yang telah ditentukan dilaksanakanlah rangkaian
upacara. Semua peserta pataheri berkumpul kemudian diberikan nasihat dan pengarahan
oleh kepala adat Matoke
dan kepala soa serta tua-tua
adat lainnya, setelah
kegiatan penghargaan selesai,
maka selanjutnaya mereka dipersilahkan secara khusus oleh kepala suku
untuk berdoa. Anggota pataheri
dimasukkan/dikurung dalam rumah
kepala suku dan
selama masa kurungan mereka tidak melakukan apa-apa. Di
dalam masa kurungan mereka merenungkan nasib mereka, karena setelah ritual ini
selesai mereka punya tanggung jawab yang besar,
sudah harus berdiri
sendiri serta membangun
keluarga nantinya, mereka harus benar-benar siap dalam
menjalankan setiap rangakaian prosesi ritual
yang akan dilaksanakan.
2.
Berburu dan
mencari kayu dammar
Langkah berikutnya adalah
melakukan perburuan/beruburu dihutan. Kegiatan berburu ini
hanya dilakukan oleh
pemuda yang akan
melakukan pataheri. Berburu berlangsung
selama 2 hari
saja.
3.
Pemandian,
pemakaian cawat dan berang merah diikat dipingang
Upacara pataheri kemudian
dilanjutkan berjalan pataheri
membersihkan diri/ mandi kemudian mereka dipakaikan cawat yang tadinya
digantung dibaeleo. Selanjutnya
kain berang (kain
merah) dipakaikan menutupi
bagian depan (kelamin laki-laki),
atau seiring mereka
sebut sebagai pakaian
adat (laki-laki) yang telah
disiapkan oleh orang
tua (ina) mereka
masing-masing. Setelah itu mereka akan berjalan berbaris menuju ke
baeleo.
4.
Menuju ke
baeleo
Acara puncaknya ada
dibaeleo, yakni setelah
mereka di baeleo
maka pertama-tama yang harus
dilakukan adalah semuanya
berjalan mengelilingi tempat yang dikeramatkan di dekat baeleo selama lima
kali putaran. Setelah itu masing-masing
soa terpencar berdasarkan
soa masing-masing. Didalam
baeleobiasanya mereka akan
berada selama lima
hari, akan tetapi
sesudah tiga hari mereka
akan dinilai oleh
tua-tua adat. Jika
ada diantara mereka
yang dianggap nantinya mampu
menggantikan kedudukan kepala suku matoke atau tua-tua adat lainnya, maka
mereka ini disebut
sebagai laki-laki perkasa
dari suku nuaulu. Selama di baeleo
patahari ini berpuasa selama 5
hari puasa dilakukan hanya pada
(malam hari saja sedangkan siangnya mereka boleh makan).
5.
Pemotongan
kepala ayam dan buah kelapa
Setelah
tiba di dalam baeleo, hari pertama yang dilakukan pataheri adalah memotong kepala
ayam. Masing-masing pataheri
memotong ayamnya masingmasing. Setelah itu ayam tersebut akan
diolah orang tuanya masing-masing untuk nantinya dimakan oleh pataheri. Menurut
informasi dahulu kala, ritual pataheri ini adalah bentuk
pengukuran kehebatan laki-laki
suku nuaulu karena
sebenarnya yang harus dilakukan adalah
memenggal kepala manusia. Namun karena hukum yang sudah
semakin tegas di
Indonesia kegiatan pemenggalam
kepala manusia dini digantikan dengan
pemenggalan kepala binatang
(ayam) dan pembelahan buah kelapa.
6.
Pataheri
(pemakaian kain berang dan cidaku merah)
Air yang keluar dari buah kelapa terebut akan dipercikkan kepada
masingmasing pataheri sebagai tanda
bahwa mereka telah dikukuhkan. Namun sebelum acara pengukuhan tokoh-tokoh
adat suku Nuaulu yakni, kepala suku
kapitan, dan tuan-tuan tanah, maka pertama-tama mereka akan mengadakan doa
khusus kepada air kelapa tersebut juga kepada semua anggota pataheri. Setelah itu acara adat ini akan
dilanjutkan oleh kepala suku
bapak matoke dengan melakukan percikan air tersebut ke atas kepala pataheri
sebagai suatu tanda bahwa mereka telah mampu berdiri sendiri.
Setelah percikan air
itu selesai, maka
tahap selanjutnya adalah pemakaian kain
berang (kain merah)
di kepala masing-masing
sebagai tanda penghargaan
laki-laki suku nuaulu. Hari ketiga, akan dilakukan pemakaian cidaku merah
(kain merah) sebagai salah satu tanda bahwa mereka telah sah menjalani
proses urutn ritual
pataheri, pemakaian cidaku
ini dilakukan oleh
kepala suku Matoke.
7.
Papar gigi
Setelah acara pemakaian cidaku selesai maka langkah selannjutnya
adalah papar gigi. Acara
ritual papar gigi
akan dilakukan oleh
orang yang sudah dikhususskan untuk
memapar gigi. Batu
yang dipakai untuk
memapar gigi pataheri adalah
batu yang sama
dipakai untuk memapar
gigi pinamou. Setelah urutan proses acara ini selesai, maka acara penutupan adalah
diadakannya pesta makan bersama (makan
patita). Proses acara ini di tutup/dikunci dengan doa yang dilakukan oleh
kepala suku Matoke. Upacara ini lah yang menjadi penutup dari upacara dewasa
bagi laki-laki.
d.
Upacara
Kematian
Berikut
beberapa tahapan dari prosesi
upacara adat kematian yang akan dipimpin oleh seorang
pendeta adat.
1.
Memukul tifa
Pembunyian tifa sebagai tanda pemberitahuan pemberitahuan
kepada seluruh warga/tetangga kerabat
bahwa ada salah
satu dari anggota
suku Nuaulu mereka yang meninggal.
2.
Memandikan
jenazah dan melepaskan Jenazah
Jenazah orang meninggal
kemudian dimandikan oleh
pendeta adat dan seseorang
dari pihak keluarga
kemudian diberi pakaian/baju.
Setelah jenazah di bawa ke rumah adat dengan pakaiannya untuk menunggu keluarga besarnya dan
setiap marga membawa
piring-piring kecil/besar (pirune).
Setelah itu mayat dibawa ke rumah adat dan digunting
pakaiannya untuk di letakan ke tikar (kinoe)Jenazah yang digunting pakaiannya di tutup dengan
kain (nipae). Jenazah yang mau dibawa ke tempat pemakamannya harus
dibawa dengan pakaiannya, seperti patah, baju, celana, dan kain merah (tunue,
papite,taka dan karanunu). Setelah itu
orang tua adat menyuruh 2 orang mama untuk mencari rumput (monote mosone
putieh) untuk mengusir
lalat.
3.
Pukul sagu dan
berburu
Setelah disepakati maka
keesokan harinya berkumpulah
laki-laki suku Nuaulu untuk
menokok pohon sagu yang telah disediakan
keluarga khusus untuk orang yang sudah
meninggal tersebut, sebagai
suatu rangkain upacara
kematian untuk nantinya diolah
dan disantap dalam
acara makan bersama
(patita) memperingati hari kematian
yang meninggal. Kegiatan
menokon sagu ini biasanya
dilakukan dalam jangka waktu 3 hari saja. Setelah selsesai meramunya
maka hasilnya akan
dibawa pulang oleh
mereka dalam bentuk
tumang sagu (tempat sagu
yang terbuat dari
daun sagu di
bentuk menjadi seperti
keranjang).
Sagu ini kemudian
akan diolah oleh
para wanita menjadi
sagu dan papeda, semuanya
dilakukan dalam jangka waktu satu hari.Setelah pulang dari kegiatan meramu
sagu, maka keesokan harinya mereka kembali mempersiapkan diri untuk melakukan
kegiatan berburu di hutan dengan anjing.
Biasanya bila kegiatan
berburu dengan melepaskan
anjing akan mendapatkan banyak
hasil buruan, karena anjing dijadikan sebagai alat pelacak. Untuk diketahui,setiap rumah/keluarga dari
suku Nuaulu memiliki
1-2 ekor anjing. Anjing
ini nantinya akan
berperan sebagai pelacak
dalam kegiatan perburuan mereka.
4.
Kegiatan malam
pertama dan malam kedua
Setela pulang dari
kegiatan berburu, malamnya
langsung dirayakan upacara kematian
malam pertama. Pada
hakekatnya prosesi kematian dilaksanakan di
ruma adat. Kemudian
tua-tua adat diundang
oleh keluarga, dan pendeta
adat kemudian memulai
ritual upacaranya. Semua
orang dipersilahkan masuk ke
rumah besar (kebagian
dalam rumah), sedangkan
pendeta adat adat kemudian
mengambil dua buah
priring (tersbuat dari
aluminium/blek) dan mengisi
piring tersebut dengan
abu yang berasal
dari bekas pembakaran
tungku (tempat memask) dari rumah yang meninggal. Setelah itu meletakan
kedua piring tersebut pada kedua pintu masuk rumah-rumah yang terletak pada bagain depan rumah (kiri
dan kanan). Pendeta adat bersama
dengan tua-tua adat
dan keluarga memanjakan bentuk doa
kepada arwah orang
yang telah meninggal
terrsebut dengan tujuan agar dia akan bangkit dari kematian
dan hidup dialam lain.
e.
Upacara
Pernikahan
Dalam sistem kepercayaan masyarakat Nuaulu, upacara
perkawinan merupakan salah satu rangakaian siklus hidup yang
senantiasa dilalui oleh
semua orang dan
oleh karenannya perlu dirayakan karena
merupakan salah satu
budaya lokal yang
masih dilestarikan. Itulah sebabnya
masyarakat Nuaulu percaya
bahwa perkawinan bukanlah merupakan urusan dari kedua
individu, melainkan merupakan urusan kelompokkelompok kerabat
dari kedua belah
pihak yang akan
melaksanakan perkawinan
terebut.
Prosesi perkawinannya
ada 4 tahap yaitu:
a) Acara peminangan,
b) Pembicaraan harta kawin dan tanggal
perkawinan,
c) Bawa harta (Rori Susau) di acara perkawinan,
d) Menyuapi pengantin
perempuan (Pamana) dan Makan Patita.
Makan Patita adalah
upacara makan bersama, yang didahului sebelumnya dengan
dilaksanakan upacara pamana
yakni menyuapi pengantin perempuan. Acara
ini dipimpin oleh
istri kepala suku
Matoke. Dalam acara
ini, beberapa saudara dari pengantin laki-laki baik itu kaka/adik, oom
dan tante akan mengambil
sedikit-sedikit dari setiap
makanan yang sudah
tersedia danmenyuapkannya kepada
pengantin perempuan. Maksudnya supaya dia tidak lagi merasa malu-malu atau
asing dirumah mertuanya. Setelah itu
dilanjutkan dengandiadakannya
makan bersama. Berakhirnya
makan brsama ini maka berakhir pula ritual upacara perkawinan meminang (maso
minta ) ini.
D. Adat
dan Etika suku Naulu
1. Adat meminang
(Ruetauanamana)
Kebanyakan dalam etika Naulu, sebelum calon pengantin
perempuan dan calon pengantin laki-kali menikah. Calon pengantin laki-laki
tersebut melaksanakan perkumpulan keluarga dahulu dalam rangka membicarakan
tujuan calon pengantin laki-laki untuk meminang calon pengantin perempuan dan
mementukan pula kapan pernikahan akan dilaksanakan. Seterusnya keluarga calon
pengantin laki-laki keluar meninggal rumah huniannya untuk meminang calon
pengantin perempuan di rumah pengantin perempuannya.
Persiapan calon pengantin laki-laki dalam mempersiapkan
pernikahannya, calon pengantin laki-laki harus memenuhi syarat dari calon
pengantin perempuan. Rata-rata dalam etika naulu telah ditetapkan
persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk calon pengantin laki-laki berupa
seperti :
1. lima buah piring lanjut umur yang
telah menjadi warisan turun temurun dari nenek moyang suku naulu untuk anak
cucu mereka
2. Kain merah 5 m
3. Uang minimal 5 juta
4. Kain 100 buah beserta kebaya yg dapat di bagikan terhadap seluruhnya keluarga, baik keluarga calon
pengantin laki
laki, ataupun perempuan. Kain & kebaya beserta uangnya ini, di
serahkan pada calon pengantin perempuan. Semuanya ditanggung oleh keluarga calon
pengantin laki-laki. Adapun persyaratan bagi calon pengantin perempuan berupa:
a. Sirih pinang yang dibagikan kepada
kedua keluarga
b. Makanan kala perkawinan berjalan(itu seluruhnya terhitung dgn duit yg di minta calon pengantin perempuan, kepada calon pengantin laki-laki).
2.
Pakian Khas
Suku Naulu
Kemajuan zaman
cukup mempengaruhi sikap,
tingkah laku dan
cara berpakaian mereka. Bila
ditelusuri dulu orang
laki-laki dewasa memakai
cidaku yaitu sehelai kain
yang berbentuk empat
persegi panjang (mirip
sepotong selendang) cidaku ini
sebenarnya adalah celana.
Cara memakainya yaitu
melilit aurat dan diikat
pada pinggang. Ujungnya bagian
depan tergantung ke
bawah. Karena termasuk kelompok masyarakat adat patalima maka ujung
cidakunya agak panjang yang membedakannya
dengan cidaku pada
kelompok masyarakat adat patasiwa
yang agak pendek
pada bagian bawah
dari celana/cidaku. pakaian adat
Naulu itu bisa dibedakan menjadi dua,
(1) Pakaian
sehari-hari, Untuk pakaian sehari-harinya masyarakat
suku Nuaulu biasanya memakai
pakaian seperti masyarakat
pada umumnya yang
(2) pakaian
adat yang hanya
digunakan khusuus untuk acara-acara
adat.[4]
E. Interaksi Kepercayaan Suku Naulu dengan
Agama-agama Lain
Suku Naulu
adalah suku yang bermukim di bagian utara pulau Seram di provinsi Maluku
Indonesia. Pulau Seram selama ini lebih dikenal dengan suku Alifuru sebagai
penduduk asli di pulau Seram ini, tapi di
bagian utara pulau ini, terdapat pemukiman suatu suku yang hidupnya
masih terasing dan dikategorikan sebagai suku primitif, yaitu suku Naulu.
Interaksi suku Naulu dengan agama
masyarakat sekitar dapat dikatakan saling menghargai, bahkan saat ada tradisi
mereka yang dilarang karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di
Indonesia, mereka pun rela melepas tradisi mereka. Salah satunya adalah tradisi
yang kontroversial yaitu dimana ada rumah adat yang baru atau memeperbaiki
rumah adat yang lama, maka mereka akan menggunakan kepala manusia dalam ritual
sakral ini.
[1]http://suku-dunia.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-suku-naulu-di-maluku.html?m=1 diakses pd tgl 24 mei 2016.
[2] Diakses pada tanggal 24 Mei 2016, http://suku-dunia.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-suku-nuaulu-di-maluku.html
[3]Ahmad Syafi’I Mufid, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI: 1999), h. 107-108.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar